Minggu, 25 Oktober 2009

SIAPA YANG SEBENARNYA MENDUA?

Suasananya gelap dan terasa sangat panas. Aku tidak tahu dan tidak pernah membayangkan tempat seperti ini sebelumnya. Tapi anehnya, aku tidak pernah merasa takut! Yang aku sadari terakhir kali adalah gempa tengah mengguncang tanah kelahiranku dan aku sedang berusaha lari keluar rumah. Tapi setelah itu…semua gelap dan yang aku rasakan adalah kegelapan.
Tiba-tiba…..
“Selamat datang di alam kematian saudaraku…..” sesosok “benda” bercahaya itu tiba-tiba menerangi tempat aku berpijak. Cahaya terang itu sama sekali tidak membuatku silau, malah cenderung membuat aku kagum. Tak ada rasa takut, kecuali kalau benar apa yang aku pikirkan, aku sedang memikirkan sesosok malaikat. Malaikat penunggu kubur.
“Siapa kamu???” teriakku. Aku sangat tersinggung bila ada orang lain yang mengganggu privacy-ku seenaknya. Sosok itu tidak bergeming sama sekali. Badannya. Seluruh badannya diam tapi mendekat kepadaku.
“Aku malaikat penjaga neraka dan sekarang aku akan mengantarkanmu ke sana!” sahutnya lembut. Aku bingung! Selama ini aku membayangkan malaikat neraka itu menyeramkan. Ternyata tidak sama sekali. Aku bingung…aku akan masuk neraka dengan dijemput malaikat sebaik ini. bagaimana malaikat sorga…?
“Ke neraka….? Tunggu, tunggu….! Aku mau banding kepada Tuhan! Bagaimana mungkin aku harus dihukum oleh kesalahan yang aku sendiri tidak tahu kesalahannya!” teriakku.
Sosok cahaya itu berpendar menjadi warna kebiruan. Mungkin dia tengah tersenyum.
“Banyak sekali kesalahanmu…dan salah satu kesalahanmu yang paling fatal adalah…tidak pernah merasakan kesalahanmu sebagai sebuah kesalahan! Itulah yang membuatmu selama ini merasa benar. Paling benar dan cenderung menyalahkan yang lain..” jawabnya.
Dia menyeretku walaupun aku tak ditarik olehnya.

“AKU TIDAK BERSALAH!!!!!”
Aku kini benar-benar merasa dipojokkan! Aku terkejut! Sangat terkejut!
“Bagaimana mungkin istriku yang meninggal di Hotel ketika sedang berdua bersama lelaki lain selain suaminya bisa masuk sorga, sementara aku yang tidak pernah membayangkan untuk mengkhianatinya justru masuk neraka? Ini tidak adil!!!!” mataku gelap karena akalku tidak bisa menerima kenyataan ini.
“Pernah dengar cerita seorang pelacur yang mati dan masuk sorga karena memberikan minumannya kepada seekor anjing yang kehausan?” tanya sosok cahaya itu kepadaku. Aku ingat cerita itu. Malahan cerita itulah yang selama ini membuatku merasa tidak habis pikir memahami agama. Bagaimana mungkin dosa seorang wanita pelacur dan hidup bergelimang dosa besar itu bisa masuk sorga hanya karena memberikan seteguk air kepada anjing, binatang najis itu!
“Jangan kau terima cerita itu hanya sekedar permukaan dan kulitnya saja. Pahami hakekatnya!” bisik suara gema itu menusuk ke gendang telingaku dengan sangat jelas. Aku tidak pernah memahaminya dan aku rasa itu hanyalah cerita semata. Tak lebih!
“Kalau Tuhan memaafkan dosa pelacur itu karena seteguk air yang diberikannya kepada anjing, lantas bagaimana kalau kebaikan itu juga diberikan Tuhan kepada isterimu justru karena dia pernah berbuat kebaikan kepada sesama manusia?” lanjutnya.
“Aku tidak terima! Selama ini aku bekerja siang malam karena cintaku kepadanya. Kepada wanita yang menjadi isteriku, kepada anak-anakku yang selalu menjadi alsan bagiku mengejar uang selama ini. sekarang sebutkan kesalahanku yang lebih besar dari kesalahan isteriku yang teganya menduakan cinta ini?” kembali aku berteriak. Cahaya itu semakin membiru. Aku tahu itu pertanda baik, bukan merah seperti yang aku bayangkan.
“Kesalahanmu adalah, menciptakan suasana dan kondisi yang membuat istrimu melakukan semua kesalahan itu!” sergahnya. Aku mengangkat kepalaku. Aku tatap cahaya itu dengan sikap menantang. Aku tidak pernah tahu, bagaimana mungkin kesalahan istriku dibebankan kepadaku begitu saja. Aku tidak akan pernah mengerti semua itu!
“Baiklah…kamu memang tidak pernah mengingat semua itu! Pejamkan matamu sesaat!” perintahnya. Aku menuruti perkataannya. Aku pejamkan mata dan terasa pikiranku kosong. Tiba-tiba tubuhku serasa terbang berputar menyusuri lorong berwarna cerah yang melingkar, berputar-putar. Tapi aku tak merasakan pusing sama sekali. Dengan posisi terlentang aku terus menutup mata.
Tak terasa, aku mencoba membuka mata. Dan terpampanglah dunia nyata itu kembali! Aku pernah melihat itu. Dulu aku pernah membuka google earth untuk sekedar melihat atap rumahku dari atas. Dan sekarang aku melihatnya kembali, jauh lebih jelas, lebih jernih. Tapi aku melihatnya kini, dengan posisi badan kebawah.
Aku terjun bebas dengan kepala mengarah ke bumi!!!!
Aku terjun bebas menuju sebuah tempat yang aku hapal betul. Itu rumahku!
Aku pejamkan kembali mataku. Aku tak mau merasakan kematian yang kedua kali dengan cara yang sama. Kecelakaan!

Wanita itu jelas adalah isteriku. Jelas sebelum meninggal. Sedang menangis didepan meja riasnya. Air mata itu menggenang di pinggiran kelopak matanya yang baru aku sadari, sangat indah! Indah sekali! Aku heran, mengapa semua itu baru aku sadari kini.
“Dimana kamu suamiku….!” Desah suara itu jelas sampai ketelingaku. Aku memalingkan mukaku, khawatir suara itu berasal dari orang yang melihatku berada dibalik jendela kamarku sendiri. Tapi tidak ada siapa-siapa. Hanya aku dan isteriku saja. Tapi jelas kulihat dia tidak sedang berbicara. Selain karena memang tidak ada lawan bicara, juga karena aku tidak melihat bibirnya bergerak.
“Tahukah engkau suamiku…aku kini merasa tidak pernah merasakan kehadiran barang sejenak. Aku merasa hidup sendiri karena kamu terlalu sibuk. Aku ingin bicara, tapi aku tahu kamu sibuk dan aku takut kamu akan bilang aku terlalu sentimentil san cengeng. Bukankah kamu pernah bilang dahulu bahwa kemanjaanku kepadamu yang mampu meluluhkan hatimu dan kemudian berani untuk menikahiku?”
Aku terkejut! Itu benar suara isteriku! Dan aku kini paham bahwa yang aku dengan adalah suara hati. Suara hati seorang isteri yang pernah sangat aku cintai. Kini sendiri. Terpekur di depan cermin yang hampir 20 tahun tak pernah dia ganti. Alasannya tak mau mengganti cermin karena dia ingin cermin itu menjadi saksi dari segala perubahan yang dia alami. Dia mengatakan itu didalam pelukanku. Sambil melenguh kegelian karena aku ciumi lehernya, dia terus berbicara tentang cermin itu. Cermin yang berhasil dia beli dari uang arisan yang telah diikutinya selama 10 bulan. Sebuah penantian panjang bagi seorang wanita yang senang berdandan.
“Semenjak engkau menjadi kepala bagian di kantormu, semua sirna seiring waktu. Kelembutan itu menjadi hambar dan terus hilang. Suamiku, kerasnya persaingan di kantormu mungkin sudah mengikis rasa lembut dalam hatimu….”
Saat itu aku ingin menyentuhnya. Tak ada penghalang yang bisa menahan tubuhku masuk ke kamar itu. Tapi tiba-tiba….tubuhku seakan tersedot kekuatan lain yang membuat tubuhku terangkat kembali dan kembali berguling dalam pusaran warna nan indah.

Di taman itu aku melihat isteriku tengah bermain bersama kedua anakku. Mereka bermain ayunan dan terbang kesana kemari sambil terus berkicau riang. Suara-suara itu begitu lembut dan akrab aku dengarkan. Hatiku kembali teringat bagaimana suara pertama mereka memecah keheningan ruang rumah sakit. Kini mereka sudah besar.
“Mama…coba papa ada disini ya…kan bisa main pasir itu sama kakak….ma…kalau papa lagi kerja ya…? Emang kerja apa sih ma…?” “Ma, papanya Selvy juga kan sekantor ama papa, tapi kok sering maen sama Selvy…Papa kok kerja terus ya ma…”
Istriku terlihat tersenyum hambar. Kulihat benar gurat diwajahnya menunjukkan kekecewaan yang paling dalam. Aku benar-benar kaget! Setiap perkataan, garis wajah, detak jantung, suara hati semua sangat terdengar jelas tanpa terasa menyakitkan dan tidak menimbulkan kebisingan. Aku tinggal fokus terhadap apa yang ingin aku dengar, maka terdengarlah semua dan suara lain eolah menghilang begitu saja.
Isteriku memalingkan mukanya dari hadapan anak-anak. Sedikit mengusap sudut matanya yang digenangi air mata. Aku mencoba menahannya!
Tapi kembali…..tubuhku terangkat tinggiiii….kepusaran warna itu lagi.
(bersambung….)

Tidak ada komentar:

Laman