Senin, 26 Oktober 2009

SIAPA YANG SEBENARNYA MENDUA? (2)

Kini aku berada di ruang serba putih. Semerbak bau zat kimia menyeruak bulu-bulu hidungku. Aku yakin ini rumah sakit, tapi apa hubungannya dengan diriku? Aku terus menggerakkan tubuhku sekehendak hatiku. Aku sendiri tidak menyadari sedang kemana aku “melayang”.
Tapi itu sesaat. Kini aku terkejut. Sangat terkejut. Disana ada sesosok tubuh yang kembali sangat aku kenal. Isteriku berbaring dengan slang infus menggantung disampingnya. Disisi isteriku, tertidur ibu mertuaku yang tengah menunggunya. Kulihat dari pakaiannya mereka sama sekali tidak mempersiapkan hal ini terlebih dahulu.
“Dimana aku saat itu?” pikirku. Aku tidak pernah menerima kabar kalau isteriku pernah sakit dan terbaring di rumah sakit. Siapa suami yang akan tega meninggalkan isterinya kalau benar dia sakit? Aku terus berusaha mengingatnya. Ketika aku hampir mengingatnya, aku mendengar suara rintihan anak kecil yang mengerang karena kesakitan. Aku menengok kesebelah kanan, kulihat seorang anak yang aku yakin itu adalah anakku. Terbaring pasrah dengan tangan terbalut perban putih keras dan kaku.
“Tidak mungkin….! Ini semua pasti rekayasa!” jeritku. Tidak mungkin ini terjadi.
Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka. Kulihat bapak mertua bergerak perlahan dan perlahan membangunkan ibu mertua. Berbisik sebentar lalu mereka berdua keluar. Kudengar jelas perbincangan mereka.
“Suaminya sedang mengajar dan langsung akan ke Cianjur untuk menjadi pembicara disana. Katanya, dia nitip isterinya kepada kita.”
“Kok bapak ngga bilang kalau ini sangat darurat?”
“Aduh bu…susah. Biarkan dia tenang bekerja. Toh dia bekerja juga buat isteri dan anak-anaknya”
“Tapi….khan kalau ada apa-apa kita yang nanati disalahkan pak…!”
Kulihat air muka bapak mertua sangat khawatir namun berusaha tenang.
“Ah…yakin lah Tuhan akan menolong anak kita bu…” jawabnya dengan tenang.
“Ya, tapi yang namanya pendarahan kan bahaya atuh pak”
Bapak mertuaku pergi masuk ke kamar itu. Melihat anaknya. Isteriku yang terbaring pasrah. Kesabaran bapak mertuaku jelas tengah diuji disini. Dan aku tengah lantang berbicara di tempat yang jauh untuk membuat orang lalin lebih pintar. Sementara isteri dan anakku terbaring disini!

“Bagaimana sekarang? Apa kau sudah mengingat semuanya?” tanya sosok cahaya biru itu. Aku terdiam dan ingin menangis. Tapi egoku masih terus mencoba untuk membela diri.
“Apa yang salah dengan semua itu wahai malaikat? Aku bekerja untuk isteri dan anak-anakku dengan mengorbankan waktuku sendiri. Bahkan untuk sekedar beristirahatpun aku tak sempat!” teriakku. Sosok cahaya itu tetap diam. Mungkin dia memang memberikan kesempatan kepadaku untuk membela diri.
“Lalu sekarang isteriku meninggal ketika dia sedang asyik masyuk dengan lelaki lain. Dimana kebenaran dan keadilan itu?”
“Isterimu memang melakukan kesalahan. Tapi tahukah kamu, semua itu disebabkan karena dirimu sendiri? Siapa bilang kau tidak berselingkuh? Kalau saja pekerjaanmu itu berwujud seorang perempuan, mungkin kau sebenarnya tengah memeluk dan bercinta dengannya. Hampir seluruh jiwa dan ragamu kau persembahkan untuk pekerjaanmu. ‘demi anak isterimu selalu kau jadikan senjata kepada mereka seandainya mereka menutut waktu lebih darimu. Sekarang aku tanya, apa bedanya isterimu yang tengah memeluk lelaki lain karena tak menemukan citanya pada dirimu sementara dirimu yang bercinta dengan pekerjaanmu itu karena ego dan nafsumu sehingga melupakan kewajibanmu terhadap mereka?”
Aku terdiam. Otak hendak menyangkal tapi jiwaku menolaknya. “APA BEDANYA AKU DENGAN ISTERIKU? KALAU DIA SELINGKUH DENGAN LELAKI LAIN SEBAGAI PELARIAN ATAS KE-EGOISAN-KU, MAKA AKU BERSELINGKUH DENGAN PEKERJAAN DAN KESIBUKAN MERAIH AMBISI DAN NAFSUKU. KALAU PEKERJAANKU BERWUJUD SEORANG WANITA, MAKA BISA JADI SELAMA INI AKU TELAH MENGKHIANATI ISTERIKU!”

Sedikit demi sedikit aku mampu membuka mataku. Tak ada anakku, tak ada isteriku.

Setahun setelah aku berhasil disembuhkan dari kecelakaan akibat gempa itu, kini aku kembali menjalani hidup. Mati suri yang aku alami benar-benar membuatku semakin mengerti, untuk apa aku hidup. Tapi sayang, isteri dan anak-anakku tidak terselamatkan dalam bencana itu.
Tamat

Tidak ada komentar:

Laman