Senin, 12 Oktober 2009

MENJALIN ASMARA TANPA CINTA

Dalam tidurnya, Amanda menangis perlahan.
Kedua anaknya sedag tidur nyenyak. Dan dia tak ingin menganggu mereka dengan isak dan segukan dari tangisnya. Baginya, keresahan dan kegelisahannya ini hanya untuk dirinya. Lampu kamar tidur yang remang sengaja tidak dia nyalakan.
Hampir setahun dirinya tidur bersama kedua anak-anaknya. Sementara suaminya tidur dikamar sebelah. Kamar kerja, kamar semedhi atau meditasi. Setahun pula dia hanya tiga kali menerima nafkah bathin sebagai seorang isteri. Kepedihannya benar-benar sangat menusuk perasaannya sebagai seorang isteri. Setiap malam, air matanya setia menemani kesendiriannya. Malam baginya adalah kemuraman dan siang baginya adalah kepedihan. Setiap detik dan menit tak mampu dia hitung lagi karena hanya takut, gelisah dan ketidakjelasan statusnya benar-benar telah membuatnya hangus dalam api dan panasnya kemarahan.
Malam itu…dilewatinya sendiri dalam sepi. Seperti sebelas bulan sebelumnya.
“Chika…ayo dong cepet pake bajunya. Nanti terlambat masuk sekolah lho. Ini khan hari pertama kamu sekolah setelah libur lebaran. Nanti ngga kebagian salaman ama bapak ibu guru lho….!” Rentetan kalimat yang senantiasa keluar hampir dalam susunan yang sama. Sembilan tahun tepatnya. Sambil bergegas memilih pakaian yang akan dipakainya, Amanda pun sibuk memakaikan pakaian Aldo, anak lelakinya yang masih berusia 4 tahun. Dia sering berpikir, mengapa Tuhan hanya menciptakan sepasang tangan kepada wanita padahal pekerjaannya sangat banyak.
Sementara di sana, suaminya masih tertidur pulas karena semalam tidur jam 4 pagi untuk menyelesaikan novel terbarunya. “100 cara menjaga keutuhan Rumah Tangga”. Ironi hidup, pikir Amanda.
Sambil mengancingkan bajunya, Amanda masih mengejar Aldo yang tetap tidak mau mengganti pakaian tidurnya dengan pakaian sekolah play group yang telah diikutinya tiga bulan terakhir.
Selesai sudah, pikirnya!
Dalam perjalanan mengantar anak-anaknya, Amanda merasakan getaran hatinya yang berkecamuk. Makian dan hinaan verbal dari suaminya yang mengatakan bahwa dirinya frigid, tak taat, tak tahu diri dan berakhir dengan umpatan “mungkin kamu memang lesbi…!” sudah benar-benar diluar batas kesabarannya. Dan sekarang, dia harus bersikap.
Setelah mengantarkan kedua anaknya, Amanda kemudian berjalan menuju motornya. Dipandangi motor itu. Satu-satunya harta yang selalu menemaninya kemana-mana. Sebentar lagi dia akan berpisah dengan benda kesayangannya itu. Dibelai sejenak. Naik. Maju.
Sesampainya di rumah, dia meletakkan motornya dengan penuh tenaga. Sebuah perjuangan baginya untuk bisa menyimpan motor itu dengan rapi. Kalau tidak menyenggol pot, menyenggol pintu atau tebok. Entah berapa kali tangan atau kakinya berurusan dengan badan motor itu. Tapi dia mencintainya!
Setelah itu, dia pergi. Entah kemana. Tak ada yang pernah tahu sampai setahun kemudian. Bersama kedua anaknya.

Bandung 3 Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Laman