Minggu, 18 Oktober 2009

HAKEKAT CEMBURU BUATMU


“Mama kok dari tadi sore diemin papa…kenapa?”
Wanita setengah baya itu membalikkan badannya dan mendengus keras.
“Mulai lagi deh…” pikir Satrio. Dia sangat hapal dengan kebiasaan isterinya yang satu ini. mendiamkannya dalam satu atau dua malam, tapi tetap melayaninya disetiap pagi sebelum dirinya pergi. Diselingi dengan kesibukan menyiapkan diri sebelum bekerja dan mempersiapkan anak-anaknya sekolah.
“Ada apa dong ma, kan papa ngga tau kesalahan papa kalo mama ngga ngomong!” paksanya.
“Papa pikirin sendiri aja! Emang mama harus selalu ngomong kalo papa salah?” jawab isterinya. Masih juga dengan posisi membelakangi Satrio.
“Ya, khan dalam satu hari papa suka banyak berbuat salah….tapi yang bikin mama sekarang marah itu kesalahan papa yang mama…” jawab satrio. Tangannya berusaha memeluk tubuh isterinya yang membelakangi tubuh kurusnya.
“Papa belajar tuk peka dong ama perasaan mama. Mama khan udah setia selama ini mendampingi papa, tapi papa selalu menyakiti mama. Selalu!” bisik Yanti. Suaranya bergetar. Dan Satrio tahu ini pasti masalah cemburu.

Satrio mencoba merunut kejadian hari ini. apakah ada tingkah lakunya yang membuat Yanti cemburu. Pulang kerja, dia cepat pulang karena ada acara syukuran khitanan anak lelakinya, Gagah. Dia mencoba mengingat kembali tamu-tamunya yang datang. Tak ada yang menarik perhatiannya karena yang datang memang sanak saudara dekat dan rekan-rekan kerjanya.
“Tuh kan papa mah….ngga tau kesalahannya sendiri. Masa sih mama yang selalu harus ngomong?” kembali bisikan penuh getaran itu mengisi sisa-sisa ruang kamar tidur mereka.
Satrio kemudian mengambil inisiatif untuk diam. Dia khawatir pembicaraan yang terus berlanjut akan membuat udara kamar dan suasana menjadi semakin panas. Suasana hening menyelimuti ruang kamar kecil itu. 5 menit. Sepuluh menit. Pikiran Satrio terus mengingat kejadian demi kejadian hari ini. hanya hari ini karena kemarin isterinya sangat mesra dan bertingkah seperti biasanya.
“Siapa sih pa…wanita yang berjilbab putih tadi?” tiba-tiba suara Yanti membunuh sepi itu.
“Yang mana, kan banyak wanita yang pake jilbab putih tadi sore” jawab satrio. Kini otaknya diperas sedemikian rupa untuk mengingat beberapa wanita berjilbab putih. Kerabatnya, banyak yang mengenakan jilbab. Tapi yang sore tadi mengenakan jilbab putih? Dia ingat satu-satu kerabatnya dari yang terdekat dengannya sampai saudara jauh. 3 orang, gumamnya.
“Pah…masa sih ngga inget? Kayanya dia spesial deh buat papa” sebuah nada pujian yang mengejek. Tapi kini dia menjadi lebih paham penyebab kemarahan isterinya.
“Buat papa, khan Cuma mama yang paling istimewa”. Sebuah usaha yang sudah diperkirakan Satrio tidak akan membawa dampak apapun, tapi dia harus coba. Menurut beberapa ahli, wanita sangat menyukai pujian. Segombakl apapun itu.
“Gombal! Udah pokoknya ada hubungan papa ama dia?” desak Yanti. Sebuah justifikasi yang menutup perdebatan. “Ada hubungan apa papa dengan dia?”. Mengapa hampir semua wanita selalu berpikir pada tingkat akhir atau kesimpulan? Sebuah misteri kecil yang sangat menarik untuk terus dia amati dan carikan jawabannya. Dan jarang bisa berpikir lebih luas dari sekedar menyimpulkan.
“Yang mana ma…papa bener-bener ngga ngerti. Pan banyak yang berkerudung putih. Mama juga khan berkerudung putih” Tembak Satrio. Yanti merengut dengan menarik selimut tidurnya dan tidak menyisakan untuk suaminya. Yanti sangat tahu dengan sifat suaminya yang memang sangat mudah akrab dengan orang lain, khususnya wanita. Dan selama dia bersuamikan Satrio, hal yang paling ditakutinya adalah ketika ada wanita lain yang juga mengagumi suaminya. Dan ini bukan untuk pertama kalinya dia merasakan hal seperti ini.
Sebagai mantan aktivis mahasiswa, suaminya luas membuat jaringan personal dan itu semua membawa dampak pada cara pergaulannya dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa wanita terlihat sangat akrab dengan Satrio karena kedekatannya di organisasi. Tapi mengapa dirinya tak begitu peduli saat itu. Kecemburuannya tidak sebesar saat ini. cemburu ini benar-benar sering menyesakkan dadanya.
“Pokoknya papa harus menjelaskan ada hubungan apa dengan wanita berjilbab putih dan salam sun tangan sama papa?” papar Yanti dengan nada lebih keras.
Mengerucut! Pikir Satrio. Kini ingatannya merangkai kejadian demi kejadian pada acara syukuran tadi sore. Siapa wanita berkerudung putih yang mencium tangannya ketika bersalaman. Yang dia ingat adalah beberapa orang sepupu yang masih sekolah.
Dia sering tersenyum kecut bila isterinya selalu mempermasalahkan tingkahnya yang “kecentilan” dimata Yanti. Sebuah sikap yang selalu membaca perilaku dirinya bila sedang berkomunikasi dengan wanita lain. Entahlah, apakah itu sebagai tanda pujian dari seorang isteri atau ejekan bagi sikapnya yang selalu ingin menarik perhatian?
“Ooooooooo…..itu mah Nina mungkin ma. Yang sun tangan ke ayah mah. Dia karyawan baru 1 tahun bekerja di kantor papa. Bagian administrasi yang papa langsung ajarkan seluk beluk administrasi di kantor papa. Ya mungkin dia menganggap papa ini gurunya sehingga harus sun tangan….”
“Jadi papa manggil dia juga ‘NINA’, tanpa panggilan ibu? Kok kayanya akrab banget sih? Emang di kantor papa ngga ada yang manggil ibu atau bapak?” rentetan pertanyaan itu semakin memojokkan Satrio pada posisi yang sangat sulit untuk menjelaskan. Dia pun tidak pernah tahu persis motivasi rekan kerjanya itu mengapa setiap bertemu dengannya harus sun tangan. Dia tidak pernah menyuruh Nina melakukan itu. Dan walaupun Ninan melakukannya setiap hari dipagi hari ketika pertama bertemu, Satrio tidak pernah menanyakannya kepada Nina. Atau bahkan dia tidak pernah memperdulikannya sama sekali.
“Ye…di kantor mah ya manggil ibu atuh….tapi kan tadi mama nanyain nama, bukan sebutannya di kantor…” ucap Satrio mencoba menggiring isterinya untuk berhenti berprasangka. Satrio tidak pernah menyangka hal seperti itu bisa menjadi masalah baginya. Dan isterinya.
“Ahhh. Alasan aja. Terus kenapa sun tangan. Mama aja ngga pernah sun tangan sama papa. Kok dia mau-maunya sun tangan laki orang?” cecar Yanti. Kini posisi badannya menghadap dirinya. Matanya tajam menatap mata satrio seolah tidak mau kehilangan moment sekecil apapun dari mimik muka Satrio, Yanti tahu bahwa dari mata, dia bisa menilai dan menentukan apakah Satrio itu jujur atau bohong kepadanya.
Tatapan itu sangat dikenal Satrio. Tatapan penuh dengan kecermatan. Pandangan yang hampir tanpa kedipan itu selalu memebuatnya serba salah. Pengetahuannya tentang tanda-tanda kebohongan akan diuji disini. Ini paling menyiksa! Bagaimana tidak, dia dan Yanti sudah sama-sama tahu ilmunya karena satu sumber bahan bacaan. Yanti sering menatapnya ketika dia menanyakan segala sesuatu yang berhubungan dengan sejumlah wanita dilingkungannya. Ah……ini sering dialaminya.
“Kalau mama memang tidak sun tangan bukan berarti sun tangan itu salah khan ma…?” sergah Satrio dengan suara terkesan sesantai mungkin. Dia tidak mau terlihat ada perubahan dalam segala hal, termasuk suaranya. Yanti berkerut mendengar perkataan itu.
“Papa tau kan kalau sun tangan itu artinya apa? Mama tahu karena papa pernah bilang setiap ciuman memiliki artinya sendiri! Dan papa tahu mengapa dia harus sun tangan sama papa?” cecar Yanti. Dia sangat sulit membayangkan hubungan seperti apa antara suaminya dengan wanita bernama Nina itu sehingga begitu berani untuk mencium tangan pria selain suaminya.
Kini satrio terdiam. Dia sendiri tidak pernah membayangkan hal itu bakal menjadi masalah bagi dirinya sehingga tidak pernah mempersiapkan jawaban untuk pertanyaan itu. Satrio terdiam. Lebih baik diam, karena untuk saat-saat seperti ini, diam itu emas!
Yanti masih dengan tatapan elang-nya mengamati setiap perubahan mimik wajah Satrio.
“Kenapa ngga jawab?” tegur Yanti. Hatinya berdebar keras karena takut suaminya menjawab jujur, dan itu sangat menakutkan. Terkadang dia takut suaminya berkata jujur tentang dirinya, kekurangannya dan impiannya. Walaupun dia sering mengatakan kepada suaminya untuk jujur dalam segala hal, namun hatinya terkadang berharap suaminya tidak jujur dalam beberapa hal. Dirinya takut tidak bisa menerima kebenaran itu.
Berbohonglah untukku! Bahwa kau tidak memiliki hubungan apapun dengan wanita itu. Katakanlah bahwa hanya aku seorang yang kau cintai dan kau sayangi. Katakanlah hanya aku wanita yang akan mendampingimu seumur hidup. Berbohonglah!!!
“Gini ma…papa ngga tau kenapa Nina melakukan hal tersebut. Yang papa tau dia melakukannya sejak dia menjadi pegawai di kantor papa. Mama tau dia masuk menjadi staf di kantor menjadi bagian dari bagian yang papa pimpin. Mungkin dia sun tangan karena menganggap papa yang mengajarinya segala hal tentang pekerjaannya. Dan kemudian dia menganggap papa adalah bapaknya” Papar Satrio. Dia tidak tahu apakah semua perkataannya aka meluluhkan hati Yanti.
Yanti mendengus lagi dan kemudian membalikkan badannya. Membelakangi kembali suami yang sangat-sangat dicintainya namun juga selalu membuatya sulit tidur. Ketidakberdayaannya menghadapi kenyataan hidup tanpa lelaki itu membuat dirinya sering berbuat tidak adil kepada suaminya. Kecamuk hati tidak mampu melawan rasa kantuknya. Energinya habis untuk memikirkan ketakutan akan ditinggal suaminya. Tidur adalah satu tindakan yang tidak pernah dia sadari. Datang begitu cepat. Meninggalkan suaminya yang tengah bingung memikirkan apa yang akan isterinya lakukan. Mendiamkannya kembali atau mengungkit kembali masalah ini kelak?

“Pa bangun…udah siang. Cuci pakaian ya biar mama nanti siang jemur!”
“Hmmmmm…..” cepat Satrio bangun. Dia khawatir petasan itu meledak lagi. Tanpa banyak bicara dia kemudian mencuci pakaian dan langsung mandi untuk menghindari kesiangan. Semua siap untuk berangkat.
“Tuh sarapan ama kopinya udah mama siapkan. Terus jangan lupa nanti print kerjaan mama buat diserahkan besok kekantor ya…!”
Satrio tersenyum. Semuannya lewat. Pembicaraannya kemarin seolah tidak pernah ada. Kini dia tahu bahwa pembicaraan semalam hanyalah pertanda bahwa isterinya tengah cemburu dan dia hanya ingin mengungkapkan perasaannya saja. Saat itu pertengkaran atau tindakannya hanya untuk menunjukkan rasa cemburu. Tidak lebih.
Satrio mengantarkan isterinya sampai depan kantornya. Isterinya turun dan kembali mencium tangan Satrio penuh khidmat. Satrio pergi bekerja dengan ketenangan dan harapan. Bahwa semua itu hanyalah bumbu.

Bandung, 18 Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Laman