Jumat, 10 Juli 2009

Sang Penulis (2)

BAB I

MOYANGKU….?

Malam semakin gelap dan dingin, sementara Patah masih terjaga. Bayangan masa depannya benar-benar suram. Sejumput cita dan asa pernah dia ukir didalam hatinya. Menjadi guru, gumamnya ketika ditanya kedua orang tuanya tentang cita-cita.
Kelebatan hitam sekilas pergi secepat pandangan sadar Patah pada sosok itu. Sejak kematian bapaknya, Seno merasa selalu dihantui bayangan hitam itu setiap malam. Keimanan dan keyakinannya pada sang penulis naskah benar-benar membuatnya tidak merasa takut sedikitpun. Dia tahu dan percaya bahwa tidak mustahil sang penulis cerita ini membuat apa yang diinginkannya. Kalaupun sang penulis mau, mungkin cerita ini akan mudah dibuatnya hancur. Rumah, tanah, angkasa dan cerita raya ini musnah seketika.
Patah mencoba menyusuri jejak bayangan hitam itu. Berkelebat ke samping rumah. Sekali. Hanya sekali. Selalu sekali. Sekarang Patah tidak sedang mengerjakan apapun sehingga dia berniat mengejar bayangan itu. Dibuka pagar rumahnya, meihat sekeliling dan dia yakin tidak ada siapapun. Dia tatap langit, terkadang bayangan kelelawar yang sedang bercanda dengan malam dan hidupnya melintas. Dia mendesah. Mungkin bayangan kelelawar yang selalu menghantuinya selama ini.
”Walau aku melihatnya di kamar tidur?”gumamnya. Berusaha mencari penjelasan tentang sosok hitam itu. Kemudian dia masuk kembali ke halaman rumahnya dan berjalan menyusuri pinggir rumahnya yang masih tersisa dua meter dari tembok rumah ke tembok rumah tetangga terdekatnya. Dia berharap bisa melihat sosok itu. Hantu sekalipun. Bahkan dia berharap bisa melihat arwah kedua orang tuanya. Walau dalam bentuk yang tidak pernah dibayangkannya.
Dalam penelusuran sosok hitam itu, kini Patah benar-benar menikmati langkah demi langkahnya di rumah tempat dia lahir dan besar sampai seperti sekarang. Kenangan demi kenangan melintas bekelebatan dalam benaknya. Bagaimana dia dijewer ibunya ketika diam-diam mengambil kepala ikan yang seharusnya menjadi jatah bapaknya makan malam. Tepat dibelakang dapur ini! Juga ketika dia bersama ayahnya bermain layangan hasil buatan dirinya dan bapaknya. Dengan peralatan seadanya, jadilan sebuah layangan yang menurutnya sangat indah. Namun karena tidak diukur dan dibuat dengan perhitungan, layangan itu susah terbang. Bapak marah dan kahirnya merobek-robek layangan itu di depan dirinya yang tengah mengagumi. Dalam benaknya waktu itu, layangan itu tidak mau terbang bukan karena jelek tapi karena sedang tidak ada angin. Seminggu dia marah kepada bapaknya. Sampai akhirnya sang bapak membelikannya sebuah layangan yang sangat besar! Disana, dibelakang rumah yang sepetak itu! Patah selalu ingin tertawa mengingat peristiwa itu.
”Grusakkkkk....! Blug..!”
Patah terkejut! Jantungnya serasa copot dan matanya terbelalak dengan mulut menganga. Dihadapannya...tepat di depan dirinya. Berjarak hanya satu meter. Berdiri sesosok hitam besar. Kegelapan membuatnya tak mampu melihat jelas sosok itu. Dan beruntunglah Patah, karena kalau siang mungkin sosok itu akan sangat menyeramkan lagi.
Dengan badan hampir dua meter, seluruh badannya ditumbuhi bulu lebat dan mungkin sangat kasar. Matanya merah hampir menutupi seluruh bagian matanya. Menyipit dan terlihat urat matanya. Telinga...Patah tidak yakin itu telinga. Keras dan melengkung. Tanduk!
Ayat-ayat suci yang selama ini diyakini mampu mengusir berbagai makhluk halus hilang dari ingatannya. Keterkejutannya telah membuat dia tak mampu mengingat apapun. Kini dia merasakan sepasang tangan panas meraih lehernya. Menekannya pelan sampai dia merasakan sesak nafas.
Disela ketersiksaannya, Patah menutup matanya.
”Akkkkkkkuuuuuu....adddddalaaaaaah mooooooyaaaaaaang kalian....!!!”

Sorot sinar matahari yang mulai panas membangunkan Patah. Sambil memicingkan matanya, Patah mencoba untuk mengumpulkan ingatannya.
”Dimana saya....?”
”Uggghhh....” dengan susah payah Patah mencoba untuk berdiri. Tak ada yang mampu membuatnya merasa sakit. Namun kesadarannya terus menggugat akal. Kenapa dia tertidur dibelakang rumahnya.
”Tinggal 6 hari lagi aku bisa tinggal disini...!” gumamnya. Beranjak pergi dari halaman belakang rumah untuk membaringkan badannya kembali di teras rumahnya yang berlantai tanah keras. Dingin menyusupi seluruh tubuhnya.
”Ahh...mungkin aku berjalan dalam tidur”


SHITA DAN ELIS
”Kamu jangan menuduh aku begitu dong Shita....! Aku juga tidak mau Patah pergi dari kampung ini”
”Kenapa..? kenapa aku harus percaya kalau kamu memang tidak pernah berharap Patah pergi. Apa artinya dia buat kamu hah....! Elis....kamu tahu khan kalau aku sangat mencintainya.”
”Aku tahu....sejak lama aku tahu. Tapi apa yang bisa aku lakukan sekarang. Bapakku saja tidak mampu menolak perintah Tuan Kamil. Apalagi aku!”
”Huh...bilang saja karena kau senang dia akan pergi dan kau puas karena sekarang aku tidak lagi memiliki orang yang aku sayangi...”
Shita menangis!
Elis terdiam dengan dada menggemuruh. Marah dan cemburu terus memacu detak jantungnya. Kedekatan Shita dan Patah memang telah membuat hari-harinya semakin tertekan dengan rasa cemburu. Diam-diam hatinya pernah berharap agar Shita cepat mati. Kini dia memandang punggung teman sekolahnya itu.
”Kenapa kamu mencintai Patah Shita....?”
Shita tetap tenggelam dalam tangisannya.
”Kamu adalah anak kepala desa sementara Patah bukan siapa-siapa. Mengapa kau begitu mencintainya. Bukankah Seno juga menyayangi kamu....”
Shita perlahan mengangkat kepalanya. Menatap tajam Elis.
Shita tak menyangka kalau Elis ternyata memperhatikan kehidupannya. Bagaimana dia tahu kalau Seno mencintainya padahal selama ini dia pun hanya menduga-duga. Perlakuan manis Seno selama ini benar-benar hampir meluluhkan hatinya.
Shita kemudian menopangkan dagu pada kedua lututnya. Memandang kosong ke depan dengan air mata tetap menetes di kedua pipinya. Sudah dua minggu Patah pergi ke Kota. Masih satu pulau, masih satu provinsi. Tapi kepergian Patah yang tiba-tiba dan tanpa pesan benar-benar membuatnya galau. Bahkan Seno pun tidak tahu kenapa Patah pergi tanpa bertemu dulu dengan dirinya.
”Bagimu mungkin kamu bisa mencintai Patah hanya karena kamu menginginkan sesuatu yang berbeda dalam hidupmu yang aku lihat sangat-sangat menyenangkan. Kamu hidup berkecukupan, di sekolah kau berprestasi tinggi dan populer. Sementara Patah memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda. Itukah maksudmu dengan cinta...” cecar Elis. Kesendiriannya selama ini tertumpah.
”Apa hak-mu untuk menilai aku dan hidupku Lis...? Kamu bahkan tidak pernah mengenal siapa aku khan?” potong Shita. Namun hati kecilnya mengakui bahwa selama bersama Patah, dia merasakan warna lain dalam hidupnya. Kemiskinan Patah telah membuat lelaki itu benar-benar menjadi laki-laki. Dan itu yang tidak ditemuinya pada laki-laki lain. Termasuk Seno.
”Dan aku minta kau jujur kepadaku....dari mana datangnya kesimpulan yang membuat kamu berani mengatakan bahwa aku mencintai Patah karena untuk mewarnai hidupku yang monoton..hah?”
”Shita...aku hanya menyimpulkan sendiri. Aku juga tidak tahu mengapa aku berani mengatakan ini. Mungkin aku harus mengakui bahwa aku sangat mencintai Patah lebih besar dari cinta kamu kepadanya” aku Elis. Shita kembali menatap temannya itu. Keterkejutannya bukan karena Elis ternyata mencintai Patah, dia sudah menduga itu. Yang membuatnya terkejut adalah, keberanian Elis untuk mengatakannya. Sejak SD dia selalu satu sekolah dengan Elis. Tapi Shita harus mengakui, selama ini dia tidak pernah menganggap Elis ada. Bagi dirinya, Elis tidak lebih dari figuran yang sang penulis ciptakan hanya untuk menjadi aksesoris hidupnya yang menyenangkan. Kini, dia sadar telah terlalu meremehkan pemain figuran ini. Ketokohan dalam cerita ini akan tergeser oleh seorang pendiam. Elis.
”Elis......saya mau tanya, pernahkah Patah mengatakan kalau dia menyukai kamu?”
”Kalau padamu?”
Keduanya terdiam. Keduanya sadar bahwa mereka selama ini mencintai orang yang belum tentu mencintai mereka.

DIKOTA
Badannya jauh lebih hitam lagi. Panas terik matahari telah membuat kulit tubuhnya terbakar. Kedua tangannya yang terlihat lebih kurus namun lebih kekar itu, mengusap muka dari keringat yang menetes hampir diseluruh wajahnya. Namun itu hanya sesaat karena teriakan mandor bangunan itu telah menyentakkannya dari lamunan.
Kembali dia membawa badannya turun dari dan hendak membersihakan diri sebelum melakukan ibadah.
”Hey...Patah, mau kemana kamu ayo kerja lagi....!” teriak seseorang di bawah. Perwakannya yang tinggi besar cukup membuat Patah sangat mudah menebaknya.
”Mau membersihkan diri dulu bang. Aku mau ibadah dulu ya, 5 menit saja!” teriak Patah. Sebuah ucapan yang tak diyakininya mampu dimengerti oleh mandornya yang terkesan sangat-sangat kasar dan garang. Sejenak Patah memberanikan diri menatap mata atasannya yang tengah berada di bawahnya.
”Ah kamu tuh ya....oke, lima menit, kalau kamu terlambat aku potong upah kamu ya.....!”
”Terima kasih bos.....” Patah bergegas turun dan kemudian menjalankan ibadahnya.

”Hebat kau Patah, mandor kita sebelumnya tidak pernah mengijinkan seorang pun untuk istirahat sebelum waktunya” kata seseorang yang berperawakan pendek dan setengah baya itu.
”Aku tidak istirahat pak, aku ibadah!”
”Hah...buat dia, apapun alasannya selain bekerja adalah istirahat. Dan itu adalah sesuatu yang sangat mahal disini” lanjut lelaki itu.
”Ya syukurlah kalau ternyata tadi saya diijinkan. Tentunya sang penulis telah menentukan sesuatu yang berbeda untuk pak mandor itu”. Lelaki setengah baya itu tersenyum.
”Eh...ngomong-ngomong, tadi malam bagaimana tidur kau? Aku rasa beberapa malam ini cuaca menjadi sangat panas. Aku heran, sudah 20 tahun aku hidup di kota ini, baru hari-hari ini aku merasakan cuaca yang panas seperti sekarang ini”
”Eh...saya nyenyak pak. Mungkin kelelahan membuat badan saya tidak begitu peduli dengan cuaca....”
”Ya....kau datang tepat ketika cuaca sangat panas sehingga kau tidak bisa membandingkannya dengan cuaca sebelumnya”
”Eh ngomong-ngomong...kenapa bir yang aku sediakan buat kau tidak kau habiskan? Aku harus menyisihkan uang makan untuk beli minuman sorga itu”
”Ooo...saya sudah terlalu mengantuk pak. Tapi terima kasih” jawab Patah. Tangannya tidak berhenti mengayunkan alat-alat aduk pasir dan semen yang ada di ember itu.
Sudah sebulan ini dirinya membakar kulit hitamnya di proyek pembangunan sebuah gedung pencakar langit. Setelah 15 hari dirinya tiba di kota ini, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tidak ada siapa-siapa yang bisa dijadikannya sandaran selama berada di kota. 10 hari dirinya terlunta dan tidur dimanapun yang baginya mungkin untuk ditiduri. Bekalnya dari penjualan barang peninggalan orang tuanya tak memungkinkan dirinya untuk bisa tidur di hotel melati sekalipun.
Sampai dia kemudian bertemu dengan orang tua ini. Yang sedang berbicara saat ini dengannya. Sebuah kemukjizatan, ketika orang tua itu sejenak menatapnya, berbicara dengannya di sebuah tempat ibadah dan berbicara seputar masa lalu Patah kemudian mengajaknya tidur dirumahnya. Atau lebih pantas disebut gubuk.
Sampai saat ini dia sudah sebulan tinggal di tempat lelaki setengah baya ini. Namanya Prihatin Sasongko. Sebuah nama yang sebenarnya cukup panjang untuk orang yang berprofesi sebagai kuli bangunan. Tapi tentunya, orang tuanya dulu tidak pernah membayangkan kalau anaknya akan menjadi kuli bangunan.
”Pak, terima kasih ya sudah menampung saya selama ini. Bukannya saya yang membayar sewa ke bapak, malah bapak selama ini yang menyediakan makanan dan minuman buat saya....!”
”Hehehehe....sudah berjuta kali kau mengatakannya. Aku sampai bosan mendengarnya! Sudahlah....aku akan menagihnya lalin kali, kalau kau sudah mampu membayarnya”

SENO DAN SHITA
”Elis mencintainya...? Hmmmm...” gumam Seno. Entah kekaguman atau rasa cemburu yang menyelimuti hati Seno. Pandangannya terbang ke awan. Shita yang tengah berada di depannya kini sudah tidak lagi menjadi fokus pandangannya. Pikirannya kini tertumpu pada sosok hitam, kurus namun kekar. Patah.
Dirinya selama ini merasa bahwa diri dan keluarganya adalah sentral dari cerita ini. Kekayaan dan keluarganya yang sangat harmonis selalu menjadi modal rasa percaya diri bahwa cerita ini hanyalah untuk dia. Dia pernah merasakan bahwa seluruh cerita yang ada disekelilingnya tidak lebih dari ornamen panggung yang disediakan oleh sang penulis untuk ikut mewarnai hidupnya yang menjadi pelaku utama. Tapi kini pikirannya berubah.
Pikirannya terus menggali kehidupan dirinya, membandingkannya dengan kehidupan Patah.
”Ternyata selama ini aku yang hanya menjadi figuran dari kehidupan pemain utama yang sebenarnya, Patah” gumamnya.
”Hah...apa Sen....?”
”Eee...aaa....ngga kok....aku Cuma merasa kehilangan sosok sahabat yang selama ini selalu menjadi teman bicara. Aku ngga pernah menyangka bahwa selama ini aku sangat tergantung sekali kepadanya! Dulu aku kurang menghargai keberadaannya karena merasa dia yang tergantung kepadaku. Ternyata selama ini aku justru yang bergantung padany...!”
”Maksud kamu...?”
”Aku merasa menjadi Seno yang sebenarnya ketika aku menyangka Patah sangat membutuhkan aku. Aku sangat senang dan merasa menjadi penting baginya kalau aku bisa membantu Patah. Semakin aku banyak membantunya, aku semakin merasa berarti dalam hidup ini. Sekarang setelah Patah pergi, aku merasa tidak ada lagi yang membutuhkanku....terus untuk apa aku diciptakan di cerita ini?”
”Ah....Seno....Seno.....!” desah Shita. “Dulu kamu selalu mengatakan hidup ini hanyalah sebuah kebetulan. Sekarang kamu membalikannya. Kamu salahkan cerita dan sang penulis.”
“Ya…”
“Eeeee….Sen, boleh ngga aku bertanya?”
“Boleh, apa aja?” jawab Seno, dengan pandangan berbinar. Selama pertemanannya dengan Shita, dia tidak pernah berbicara khusus tentang mereka berdua. Selama ini yang mereka bicarakan tidak lebih dari Patah, kehidupan Patah, cinta Patah dan bagaimana cara membantu Patah.
“Kamu mencintai aku….?” Tanya Shita. Mantap dan tegas. Wajahnya jelas menghadap Seno dan tatapan lurus menohok tengah alis Seno seolah tidak ingin kehilangan bahasa tubuh Seno. Karena apapun yang dibicarakan Seno menjadi tidak ada artinya dibandingkan dengan bahasa tubuhnya.
Seno terperanjat. Jantungnya serasa digedor palu besar penghancur batu. Dirinya gemetar sesaat. Seno berdehem untuk mencoba mengembalikan kesadarannya pada titik optimum.
”Ehhhhmmmmm...ehhm”
”Cerita apa ini” pikir Seno. Selama ini tidak pernah dia mendengar dan mengalami langsung seorang perempuan menanyakan sesuatu yang tabu bagi dirinya...cinta! bahkan dirinya pun enggan untuk menyatakan rasa suka atau cintanya kepada siapapun.
Dirinya terdiam selama ditatap Shita seperti itu. Kegalauan hatinya tak mampu menggerakkan bibir dan pita suaranya. Shita terlihat menjadi salah tingkah. Keberaniannya untuk menanyakan hal itu telah membuatnya merasa risi.
”Maaf kalau kamu merasa ngga enak menjawabnya”Shita melepaskan tatapannya karena merasa tak mampu menyimpulkan bahasa tubuh Seno.
”Ehhh maaf....maaf...ngga maksud apa-apa kok. Saya Cuma terkejut aja ditembak kaya gitu. Kirain kita masih membicarakan Patah” timpal Seno gelagapan. Bidadari yang selama ini menjadi pujaan hatinya tiba-tiba meraih hatinya. Tapi disisi lain dia khawatir pertanyaan ini hanyalah jebakan. Dia khawatir kalau dia menjawab iya maka Shita memiliki alasan untuk menolaknya. Kalau dia mengatakan tidak, dia jelas mencintai wanita dihadapannya.

DOSA DAN RASA
“Ayo…minum dong masa Cuma segelas….!”
“Pak, berapa uang bapak keluarkan untuk hanya membeli sebotol bir ini?”
“Hahahaha…untuk yang satu ini aku janji tidak akan menagihnya kepadamu kelak. Jadi nikmati saja lah….”
“srrrrrruuuuupp….akhhhhhhhhhhhhhhh”
“Maaf pak, apa bapak tidak takut dengan dosa ketika bapak meminum minuman seperti ini?”
Pak Prihatin menatap minuman di gelas yang tengah dipegangnya. Menyimpannya kembali kemudian menatap Patah.
“Lebih dosa mana dengan menanyakan sesuatu yang mengganggu seseorang yang tengah menikmati anugrah sang penulis?” Sergah Pak Pri.
“Aku ada di cerita ini, disini dan menjadi apa aku selama ini adalah tak lebih dari kehendak sang penulis. Aku dulu rajin beribadah sepertimu. Selama itu pula aku hidup begini-begini saja. Sang penulis ternyata lebih berkuasa menentukan nasibku ketimbang diriku sendiri. Kalau sang penulis cerita ini mau, dia bisa memberikan aku uang sekarung dan membuatku kaya sehingga aku bisa menjadi orang yang percaya akan kekuasaannya” urai pak Pri dengan nada bergetar seolah enggan untuk mengeluarkannya.
“Tapi apa yang aku dapatkan…? Selama sang penulis itu tetap tak bergeming dengan menempatkan aku sebagai kuli bangunan dan aku tidak pernah merasakan kekuasaannya langsung di depan mataku, aku tidak akan pernah lagi mengakui keberadaannya. Jangan-jangan sebenarnya sang penulis yang sering diucapkan dengan teriakan oleh yang mengaku umatnya itu tidak ada. Jangan-jangan itu hanya rekaan manusia yang tidak pernah mau mengakui kelemahan dirinya!” getarannya semakin kuat. Menyimpan kekecewaan yang amat dalam. Luka terdalam telah tertancap dalam di hatinya.
”Tapi pak, bukankah apa yang kita sangkakan sebagai pelaku cerita yang tanpa kuasa apa-apa ini hanya bisa dan sampai pada taraf menduga-duga atau mengira-ngira saja. Mungkin penulis memiliki tujuan tertentu untuk diri bapak...dengan segala sesuatu yang bapak alami selama ini, kemiskinan dan kepedihan merupakan alat bagi sang penulis untuk mengukur kadar keyakinan bapak pada-nya?”
Pak Pri terdiam.
”Untuk apa dia menguji, mencoba dan menghukum pelaku-pelaku dalam ceritanya sendiri, sementara kita tidak pernah meminta untuk ada dalam cerita ini?” sergah pak Pri. Patah benar-benar kehabisan kata-kata. Orang didepannya benar-benar memiliki tingkat kewaskitaan yang tidak pernah diduganya. Dengan hidup dilingkungan kumuh dengan atap jembatan layang dan lantai tanah, bagi Patah benar-benar sangat istimewa. Ternyata di desa dulu dia lebih beruntung karena rumahnya masih memiliki ruang tidur dan sedikit halaman.
”Siapa orang ini sebenarnya...?”
Seteguk minuman beralkohol itu mampu membuatnya sedikit mencapai relaksasi yang tak pernah dirasakannya. Patah kemudian berdiri, membalikan badannya menghadap pak Pri,
”Ajak saya jalan-jalan yu pak!”
”Kemana malam-malam begini Patah...? lagian kan kamu besok harus kerja”
”Kemana aja pak, saya perlu sedikit waktu untuk berpikir....”
”Ayo, saya akan bawa kamu ketempat paling di cari di dunia ini”

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Laman