Minggu, 19 Juli 2009

BENARKAH AGAMA ITU CANDU...? (2)

2.
Sementara itu, di luar warung kopi. Teman-teman Pak Kardi sedang berbicara satu sama lain. Mereka merasa terganggu dengan kehadiran pak Darma diwarung itu. Selama ini, mereka merasa menjadi saudara di warung itu. Canda, tawa, gila dan ketololan sering mereka tumpahkan ditempat itu. Bagi mereka, warung kopi itu adalah dunia dimana mereka bisa menjadi anak-anak kembali dan ketika keluar warung itu maka kepala mereka kembali pusing dengan kewajiban mereka sebagai kepala keluarga dan bagian dari masyarakat yang sering tidak berpihak kepada mereka.
”Gila..! masa gue harus nunggu disini sampai ustad Darma pergi dari warung itu....” geram Masdi. Seorang buruh bangunan yang sedang menganggur karena gedung yang tengah dibangunnya terhenti dan terkendala perijinan.

”Salah kita ndiri kali, diam aja disini. Mendingan kita pergi kesana dan ikut ngobrol. Tapi jangan kasih kesempatan tuh ustad untuk nasehatin kita. Gimana?” jawab Jajang, buruh pabrik yang tengah merumahkan hampir seluruh pegawainya karena kendala krisis ekonomi global. Jajang tak pernah mengerti mengapa Kekacauan di Amerika yang dia tidak pernah injak itu berdampak langsung kepada dirinya.
Akhirnya, Masdi, Jajang dan keempat temannya setuju untuk masuk ke warung itu dan nimbrung. Kekacauan terjadi sesaat ketika mereka masuk ke warung kopi itu. Ustad Darma langsung merasa gerah. Pembicaraan dan kelakuan rekan-rekan Kardi benar-benar jauh dari tuntunan keyakinannya. Dia beranjak, merapihkan baju kokonya dan pergi.
”Hebaaaaaaaaaaa....t, Si Kardi memang hebat!” Teriak Kasmin, pemilik warung itu. Kardi tidak peduli dan mulai berhenti mengambil gorengan. Kini pemilik warung itu sudah aktif lagi memasang CCTV di matanya untuk mengawasi kegiatannya mencomot makanan.
”Udah ambil aja Kardi! Aku salut ama keberanian kamu membantah semua omongan ustad itu. Kena batunya dia. Hahahhahahaha....hari ini buat kamu gratis...“ timpal Kasmin. Kardi sempat terbengong-bengong dengan perkataan Kasmin. Tidak pernah dalam sejarah hidupnya dia mengatakan hal tadi. Gratis?!
Tanpa membuang waktu lagi dia kemudian bermaksud untuk mengambil makanan sebanyak-banyaknya, namun dia merasakan kekenyangan yang amat sangat. Ternyata dia baru menyadari bahwa dirinya terlalu banyak makan ketika ngobrol dengan Ustad Darma tadi.

3.
Ustad Darma berjalan dengan penuh kemarahan. Selama ini tidak pernah ada umatnya yang berani membantah hampir semua ucapannya, pikirnya. Tapi kali ini dia merasa dirinya masih memiliki kekurangan, khususnya dalam berdebat dengan orang bodoh. Pikirannya terus berputar mengapa dirinya bisa kehabisan kata-kata ketika berdebat dengan buruh bangunan sekaligus pemulung itu.
Di depan rumahnya nampak seorang wanita yang cantik dan berkerudung. Tubuhnya yang semampai menunjukkan bahwa wanita itu pandai merawat badannya. Halusnya wajah benar-benar membuat pakaian jilbabnya sangat terlihat indah menghiasi wajah dan tubuhnya. Darma seharusnya bersyukur mendapatkan isteri yang sangat cantik. Seharusnya!
Tapi akhir-akhir ini Darma tak merasakan itu. Dinginnya sang isteri ketika melayani dirinya benar-benar membuatnya cemburu. Sebulan, ya sebulan ini Darma merasakan ketakutan yang sangat besar. Ketakutan yang tak pernah dia rasakan selama hidupnya. Ketakutan akan ditinggalkan isterinya yang sangat cantik. Bunga kampusnya ketika dia kuliah di perguruan tinggi agama.
”Sedang apa umi di depan rumah begini, khan malu diliat tetangga ada isteri ustad berdiri begitu di depan rumah?” tanya Darma kepada isterinya. Isterinya berpaling tersenyum dan hanya memandangnya sekilas. Sebuah hujaman yang sangat perih menohok hati Darma. Namun dia berusaha untuk menanggapinya dengan santai.
”Nunggu Abi ya... kangen sama Abi?” sambungnya. Dia berusaha untuk menenangkan hatinya yang kacau balau. Benar-benar hari yang berat pikirnya. Setelah kalah berdebat dengan Kardi, kini dia harus kalah lagi terhadap isterinya yang sangat mempesona jiwwa raganya. Yang dia cintai sepenuh hati.
Kemudian dia duduk di kursi beranda rumah, dua kursi dengan satu meja kecil yang biasanya dia pakai untuk menyimpan air kopi panas setiap pagi. Pandangannya berusaha mengikuti tatapan sang isteri. Arah yang dia tak mengerti. Lurus ke depan! Hanya sebuah rumah kecil yang diisi oleh sepasang pengantin baru, namun sudah memilikii anak.
”Anak haram!” Pernah dia bentak isterinya ketika terlihat sedang memangku dan bercanda dengan anak tetangganya itu. Isterinya lalu pergi sambiil menangis dan sampai sekarang perilakunya berubah. Sebulan yang lalu.
Kemarahan dirinya kepada Nadia sore itu bukan semata karena isterinya telah menggendong anak itu. Ustad darma sangat tahu anak itu suci adanya. Kecemburuannya kepada tetangganya itulah yang menyebabkan dirinya memarahi isterinya, di depan tetangganya bernama Aisah. Seorang wanita muda dengan umur kurang lebih 19 tahun dan bersuamikan teman sekolahnya. Kecemburuan yang senantiasa datang ketika melihat seorang wanita sedang bercanda atau bermain dengan anaknya. Sebuah kecemburuan yang tidak pernah dia mengerti.
Dengan isterinya dia telah menikah 4 tahun lamanya. Belum ada tanda-tanda isterinya akan hamil. Sebuah penantian yang sangat lama baginya untuk bisa merasakan menimang seorang anak. Bayangannya untuk bisa melihat seperti siapa anaknya kelak benar-benar sering membuatnya tidak pernah bisa tidur nyenyak. Malam-malam yang dia lewati selalu diisinya dengan doa. Semua macam doa dan permohonan dia panjatkan kepada Tuhan. Sebuah permintaan yang sangat mudah bagi Tuhan untuk mengabulkannya bila Dia berkehendak, pikir Darma. Tapi mengapa Tuhan belum juga mengabulkannya. Padahal diantara berbagai doanya, hampir semua dikabulkan Tuhan. Isteri yang cantik, rumah yang bagus dan kekayaan yang cukup telah dikabulkan Sang Pencipta. Tinggal satu lagi!
Tapi kini masalahnya bertambah. Nadia sudah tidak bergairah lagi. Entah mengapa kemarahannya sebulan yang lalu tidak juga mampu dilupakan oleh isterinya, padahal beribu maaf sudah dia ucapkan kepada isterinya.
Bahkan keesokan harinya, pasangan pengantin muda itu dia undang untuk makan malam di rumahnya. Kedua orang itu datang dengan anaknya yang baru berumur 8 bulan itu. Mereka semua berbicara berbagai hal, kecuali tentang anak. Tamunya cukup tahu etika dengan tidak membahas masalah yang sangat sensitif bagi dirinya. Namun sayang, dirinya saat itu harus segera pergi memenuhi undangan Kepala Desa yang membutuhkan nasehatnya tentang keluarga berencana. Dan dia meninggalkan isterinya dengan pasangan pengantin baru itu cukup lama karena ketika dia pulang isterinya sedang lelap tertidur.
Pernah terbersit pikiran, apakah isterinya membicarakan hal yang membuatnya sakit hati dengan kedua tamu itu. Tapi kalau benar begitu, mengapa isterinya marah kepadanya. Atau...ah dia harus menyingkirkan segala prasangka dalam hatinya.

Tidak ada komentar:

Laman