Senin, 06 Juli 2009

DUA WANITA BEDA DUNIA

“Mama…mama…papa Ayang dimana ma…?”

”Ooooo...papa Ayang sedang jalan-jalan di sorga sayang” jawab Ningsih. Pandangannya sengaja tidak diarahkan kearah mata anaknya. Khawatir anaknya bisa menangkap kebohongan dirinya.

”Disana ma...? Diatas sana....?”

”Iya sayang....ayo pulang udah sore”

“Berarti ma, sekarang ayah lagi liat ayang ya…?”

”Iya sayang...”

Ayang langsung menunduk.

”Papa jahat, masa jalan-jalan ke awan ngga ngajak Ayang ya ma....!” langkahnya gontai. Tidak lagi matanya kagum leihat awan putih yang terselimuti mega merah kekuningan.

Ningsih menjerit.....!

Tuhan, inilah yang aku khawatirkan.

”Mengapa kau cepat sekali menjemput dia. Lelaki yang sangat aku sayangi?”

Ningsih sekarang sudah tak lagi berjilbab. Semenjak suami yang dicintainya pergi meninggalkan dia dan semata wayang putrinya, Ayang yang sekarang berumur 3 tahun. Kematian mendadak suaminya benar-benar mengguncangkan tidak saja akalnya namun juga keimanannya. Suaminya tidak meninggalkan gelagat dan tanda apapun sebelum kepergiannya.

”Mama...liat ma....papa liat Ayang di awan...ma liat”

”Iya Ayang, mama tahu papa selalu melihat kamu dimana dan kapanpun. Papa sayang Ayang...” jawabnya dengan air mata yang menggenangi pelupuk.

”Bohong...Ayang...!” Teriaknya dalam hati. Papa telah lebur menjadi tanah dan arwahnya menghilang bersama Ether alam raya.

”Mama...mama...kata Nulin, papa ayang dipanggil Tuhan ya ma...? memangnya ayah salah apa ma?”

”Ooooo...karena Tuhan sayang papa Ayang, jadi papa dipanggil Tuhan”

”Papa sekarang bobonya dimana ma...disorga ya...”

”Iya sayang...ayo cepet dong jalannya!” Ningsih menarik tangan Ayang dan langsung mengangkatnya untuk digendong. Kepedihannya telah membuatnya tidak sabat untuk segera pulang. Tiduran untuk menangis sekeras-kerasnya. Tapi tidak di depan Ayang.

Dikamar itu, Ningsih menumpahkan segala kerinduannya kepada suami dan kebenciannya kepada Tuhan yang telah mengambil lelaki itu dari sampingnya. Bagaimana tidak, suaminya meninggalkan sesaat ketika mereka baru saja bercinta. Menabur kasih yang selama ini mereka pupuk di hati mereka berdua. Malam itu, semuanya sangat menyenangkan. Panas dan penuh gairah dan tidak pernah mereka rasakan selama setahun mereka menikah. Suaminya yang pilot itu memang jarang berada di rumah dalam waktu lama, sehingga detik-detik kebersamaannya mereka lalui dengan kegiatan penuh cinta.

Tapi malam itu juga, ketika dirinya menyangka suaminya tertidur....semuanya berakhir! Dokter mengatakan bahwa suaminya yang sangat tampan itu terkena serangan jantung. Kelelahan luar biasa malam itu bisa jadi penyebab kematian suaminya.

Dan sampai kini, Ningsih selalu mengumbar hasrat kepada siapa saja yang berusaha mendekat dan menrik baginya. Tanpa cinta dan kasih sayang lagi. Pekerjaan dan kasih sayangnya kepada Ayang dia jadikan kegiatan lain yang mampu melupakan suaminya sejenak. Hanya sejenak. Sejenak nama Herman Susanto hilang dari pikirannya.

Ningsih kemudian mengambil keputusan untuk membuka jilbab, berpakaian semenarik mungkin untuk lawan jenisnya. Tidak lagi beribadah dan selalu mengepalkan tangannya menghadap langit. Dan menghabiskan seluruh pendapatannya untuk membiayai Ayang dan memuaskan hasrat jasmaniahnya

”Ini untuk-Mu!” teriaknya dengan kepalan tangan engarah ke langit.

Sementara itu di tempat seberang pulau sana...

Seorang wanita tengah berbicara dengan ketiga putranya.

”Ngapain sih mama selalu mendoakan lelaki kaya papa...? Udah mengkhianati dan menyakiti mama”

”Iya ma...lupakan papa! Papa tidak seperti yang mama katakan waktu kita kecil. Mama selalu mengatakan papa adalah lelaki yang paling baik. Lelaki yang paling bertanggung jawab dan lelaki impian mama. Bahkan mama bilang papa sekarang pasti sedang ada di sorga.”

”Yang jelas sekarang papa ada di neraka ma....! Dia sudah berbohong selama satu tahun ma! Belum lagi dia ternyata sudah punya anak dari wanita simpanannya itu”

”Wah...anak-anakku sedang mensidang mama nih ceritanya” jawab Ayu sambil membuka mukenanya. Melipat kemudian meletakannya di meja ruang keluarga itu.

”Mama tahu siapapapamu melebihi kalian” Ayu ikut duduk diantara anak-anaknya.

”Sebenci apapun kalian kepada papamu, dia tetap yang membuat mama bisa melahirkan kalian. Ada darah papa kalian di dalam tubuh kalian dan itu takdir yang tidak bisa kalian pungkiri. Kalau papa pernah bersalah karena dia juga adalah manusia. Dan tahukah kalian, karena itulah mama mencintainya”

Ketiga anaknya saling pandang. Ada sesuatu yang tidak mereka pahami tentang mamanya. Bagaimana mungkin mamanya tidak pernah mengeluarkan kata-kata benci pada papa mereka yang jelas-jelas telah mengkhianati dia dengan menikahi wanita lain. Sampai punya anak.

Keromantisan bagai seoarng suami dan kasih sayangnya sebagai ayah selama ini membuat mereka tidak pernah menyangka papanya setega itu. Mereka bersumpah untuk tidak akan menyebut nama itu lagi.

”Kalian tidak bisa terus menerus membencinya. Tuhan mungkin ingin ada orang lain yang berbahagia seperti mama. Selama ini mama selalu egois karena ingin berbahagia sendiri dengan kalian. Padahal mungkin di sana masih ada wanita yang ingin berbahagia juga. Kebaikan papa kalian akhirnya Tuhan berikan juga kepada wanita itu. Bisa jadi wanita isteri baru papa kalian adalah wanita yang shaleh sehingga doanya untuk mendapatkan lelaki terbaik di dunia ini dikabulkan Tuhan. Dan itu adalah papa kalian”

”Tapi papa udah bohongin mama! Setahun lebih...! teriak anaknya yang pertama.

”Apakah kalian tidak pernah berpikir kalau papa tidak menceritakannya karena tidak mau menyakiti mama? selama mama hidup bersama papa tidak pernah menyakiti mama. Kalian bisa bayangkan kalau tiba-tiba dia mengaku bahwa dia menikah lagi. Mungkin mama akan sakit hati dan itu paling papa kalian takutkan”

”Kalau memang ngga mau nyakitin mama, ya jangan khianati mama dong!”

Sanggah anaknya yang kedua. Wajahnya jelas menunjukkan kemarahan pada mamanya. Sekaligus mengaguminya.

”Sudah ah....mama jadi salah terus dimata kalian. Suatu nanti kalian akan mengerti. Sekarang mama mau tidur dulu”

Di tengah malam, wanita itu bangun. Mengambil wudhu dan langsung mengenakan mukenanya. Shalat malam dan diakhir dengan sebuah permohonan.

“Kalau ini yang kau takdirkan kepadaku…aku terima ya Allah…. Engkau telah ambil suamiku yang terkutuk itu, yang telah mengkhianatiku selama ini, yang telah mencampakkan aku selama ini. Terima kasih Engkau kabulkan permintaanku padamu selama ini untuk memberikannya hukuman yang setimpal apabila dia menyakiti aku. Dan untuk pengkhianatannya, aku rela dia mati. Semoga dia tahu bagaimana rasanya dikhianati. Jangan Kau berikan dia tempat di sorga-mu, aku tak mau melihatnya lagi seandainya aku nanti masuk sorga ya Allah” lalu tangannya mengusap wajah hitam manis itu. Mengusap air mata yang senantiasa dia teteskan hanya ketika dia sedang berbicara dengan Tuhannya.

Dia harus segera tidur kembali sejenak karena besok dia harus mengunjungi makam suaminya di seberang pulau. Hanya sekedar untuk melihat pusaranya yang tidak sempat dia lihat saat pemakaman itu. Keterkejutannya melihat seorang wanita yang tengah hamil di makam suaminya telah mengurungkan niatnya untuk menabur bunga. Yang dia lihat hanya sebaris nama pada nisan itu.

Namanya.....

Joko Susilo....

Bandung, 7 Juli 2009

Tidak ada komentar:

Laman