Kamis, 23 Juli 2009

CINTA

Sandra berlari menuju kelasnya. Badannya menubruk tubuh beberapa temannya yang tanpa sengaja menghalangi jalannya. Begitu sampai dikelas, dia langsung menuju mejanya dan menutup muka dengan kedua telapak tangannya. Dikeheningan kelas saat istirahat membuat suara isak tangisnya kontras. Dinding-dinding kelasnya haru diam terpaku menyerap kesedihan terdalam dari salah satu penghuninya yang cantik itu.
Sesosok tubuh lelaki diam di muka pintu
Lelaki itu diam menatap kekasihnya yang sedang melepaskan kesedihannya, sendirian. Wajahnya kemudian menunduk lesu tanpa ekspresi. Dilihatnya Sandra sedang menangis dan...
Tepat dibelakang Sandra, seorang lelaki sedang membelai rambut kekasihnya. Lelaki yang tidak pernah dikenalnya. Belaian yang sangat halus, menunjukkan kasih terdalam dari seorang lelaki. Sandi bisa merasakannya, terlihat belaian tangan lelaki itu seolah tidak terasa oleh Sandra. Sandra terlihat tak peduli dengan belaian lelaki itu.
Badannya berbalik hendak meninggalkan kelas tersebut. Tak ada lagi alasan baginya untuk mendekati wanita yang sangat disayanginya itu. Tak ada lagi alasan baginya untuk hanya sekedar menyapa, membelai rambut dan mengucapkan rasa sesalnya. Ini bukan untuk dimaafkan, pikirnya.
”Sandi...!” teriak seseorang dari dalam kelas memanggilnya. Jelas itu adalah suara Sandra. Suara yang setahun ini paling dia harapkan untuk dia dengar. Suara yang selalu mengisi handphone-nya setiap saat dengan canda dan suara manjanya. Suara yang selalu menghantuinya tatkala dia merindukannya.
Sandi berhenti. Hatinya ragu, bisakah dia menjelaskan semua itu! Sebuah peristiwa yang tidak akan pernah bisa dimengerti oleh siapapun, termasuk kekasihnya itu.

Sebelumnya...
Di kantin sekolah itu, Sandi melihat seorang wanita dengan pakaian putih panjang dan lebar. Wajahnya yang pucat pasi jelas menarik perhatinnya. Bukan kecantikannya yang membuat Sandi terpana, tapi keyakinan Sandi bahwa hanya dialah yang bisa melihat wanita itu di pojok kantin sendiri. Lalu lalang teman-temannya jelas menunjukkan mereka tidak menyadari kehadiran wanita itu dan wanita itupun seolah tidak terganggu dengan lalu-lalangnya anak-anak sekolah tepat di depan mukanya. Sandi tahu, kini dia yakin, wanita itu jelas bukan wanita biasa.
Sandi melihat sekelilingnya, meyakinkan dirinya bahwa hanya dirinya yang melihat wanita itu. Wanita yang sulit dikenali usianya karena sangat asing bagi dirinya. Badannya lebih besar dari tubuh teman-teman wanitanya namun memiliki wajah yang sangat kekanak-kanakan. Dengan langkah ragu Sandi mendekat ke arah wanita itu. Sejenak tubuhnya menggigil seolah sedang berdiri tepat di depan lemari pendingian dengan hembusan angin yang mampu mendirikan bulu roma-nya. Sandi tahu ini bukan lagi dunianya yang nyata.
”Siapa kamu? Kenapa ada disini? Dan....” Sandi tidak meneruskan pertanyaanya. Wajah wanita itu benar-benar dingin bukan hanya kiasan semata. Pucat karena kedinginan atau karena ketakutan. Beku dan tanpa ekspresi yang bisa menunjukkan apakah dia sedang sedih, takut, marah atau bingung.
”Aku selalu menunggumu Sandi...!” Sandi bisa mendengar suara itu padahal dia tidak melihat bibir wanita itu bergerak. Bagi Sandi, tubuh wanita itu tidak bergerak ketika dia menyadari wanita itu sudah tepat berada di depannya. Dekat, sangat dekat! Tapi Sandi tidak merasakan adanya hembusan nafas wanita itu. Sandi merasa dirinya benar-benar terpesona oleh misteri sosok cantik didepannya.
”Saaandiiii....!” bisik wanita itu. Bibirnya tetap tidak bergerak.
Tubuh Sandi tiba-tiba terpelanting keras kebelakang. Menubruk teman-temannya yang sedang duduk tepat dibelakangnya. Tiba-tiba dunianya menjadi gelap.

”Sandi...Sandi...kamu kenapa?” teriak Sandra.
”Helen...Heleeeeen...jangan pergi Helen!” ceracau Sandi. Didepan mata Sandi yang terlihat bukanlah Sandra. Tapi sosok wanita di kantin itu. Sandi ingin meraih wajah itu, tapi wajah itu semakin menjauh, menjauh dan melebur dengan wajah-wajah temannya yang sedang berusaha menyadarkannya.
Sandra tertegun. Suaranya tercekat di kerongkongan mendengar Sandi mengucapkan sebuah nama yang asing bagi dirinya. Sandra bangkit perlahan, hatinya hancur mendengar lelaki yang telah mengisi waktu bahagianya selama ini telah mengucapkan nama seorang wanita lain justru ketika dirinya tidak sadar. Sandra tahu, kejujuran hanya bisa ditemukan ketika manusia dalam kondisi sedang tidak berada ”didunianya”. Dia berlari ke kelas dan ingin segera menumpahkan kesedihannya. Sebuah pengkhianatan yang selama ini dia takutkan dari seorang laki-laki kini benar-benar dia alami.
Hatinya berkecamuk antara ragu dan yakin. Ragu dengan pengkhianatan Sandi namun yakin dengan suara hatinya. Atau dia sebenarnya yakin dengan pengkhianatan Sandi namun ragu dengan suara hatinya sendiri.
Di kelas, Sandra menumpahkan kegalauan hatinya sendiri. Namun insting cintanya mengetahui kalau dirinya tidak sendiri. Dia merasakan belaian dikepalanya. Dia benci Sandi tapi menikmati belaiannya kali ini. Mungkin ini belaian Sandi yang terakhir sebelum dia akan memarahinya dengan sejuta cacian kebencian sebentar lagi. Dalam tangisnya dia meresapi setiap belaian tangan Sandi.
Tiba-tiba Sandra berdiri dan hendak memarahi Sandi. Tapi, Sandi tidak disampingnya. Sandra mencari Sandi dan dilhatnya Sandi sudah berada di depan Pintu. Sandi sudah di depan pintu dan membelakanginya padahal baru saja dia merasakan belaian Sandi, bagaimana mungkin pikirnya. Sandra memanggil Sandi.

Setelahnya...
Sandi dan Sandra sudah tidak lagi menjalin kasih. Keduanya saling meyakini bahwa cintanya telah ternodai dan dikhianati oleh pasangannya masing-masing.

Sementara itu...10 tahun yang lalu,
Sepasang kekasih bernama cinta dan raga melaju dengan motornya melintas jalan raya di depan sekolahnya. Tanpa mereka sadari sebuah mobil angkutan pun melintasi di depan sekolahnya dengan kecepatan yang sangat tinggi, akhirnya....
Motor Raga berhenti dan membiarkan angkutan kota tersebut melintas terlebih dahulu. Setelah itu lalu Raga pun kembali menjalankan motornya perlahan. Menuju jembatan tinggi yang membelah kota. Raga pun menghentikan motornya dan turun dengan memegang tangan Cinta. Mereka berdua kemudian berjalan menuju sisi jembatan.
Cintanya Cinta terlarang terhadap Raga. Dan kini mereka sepakat untuk hidup bersama selamanya. Dengan langkah tenang kedua sejoli yang tengah dimabuk asmara itu berdiri sambil berpegangan tangan. Saling tatap dan tersenyum.
”Kita akan hidup bersama kan Cinta...?” Tanya Raga. Cinta tersenyum.
”Kalau begitu, bagaimana kalau kita sekarang turun berdua dari jembatan ini, menyongsong hidup kita berdua selamanya?” tanya Raga kemudian. Kembali Cinta tersenyum. Lalu...
Mereka pun meloncat dari jembatan itu. Lalu berjalan menyusuri pinggir jembatan. Menuju jalan raya, menyetop sebuah bis antar kota. Dan mereka tak pernah kembali.

Bandung, 23 Juli 2009
-Imam Wibawa Mukti-

Tidak ada komentar:

Laman