Rabu, 17 Desember 2008

CURAHAN HATI SUAMI PENCARI TUHAN

Istriku…di dunia ini tidak akan ada orang yang bisa mengerti aku kecuali kamu seorang. Malas, ceroboh, pelupa dan seabrek kebiasaan lainnya sudah begitu sabar engkau pahami. Hampir sembilan tahun kita berumah tangga dan tujuh tahun kita pacaran. Berarti hampir 16 tahun kita bersama dan mengenal satu sama lain. Itu sama dengan setengah hidup kita!
Tapi ada yang kamu tidak pernah tahu. Aku adalah orang yang tengah bimbang dan sibuk mencari Tuhan. Tuhan yang kamu selalu bilang tempat kita mengadu dan bergantung. Tempat dari segala awal dan akhir hidup alam semesta ini.
Tapi istriku…aku tak pernah menyangsikan adanya Tuhan. Tapi siapa Tuhanku. Kamu tidak akan pernah mengerti aku, aku paham. Karena kita semua sejak lahir didik untuk percaya pada Tuhannya orang tua kita. Adalah sebuah kesalahan dan dosa besar bila kita mencoba mempertanyakan keberadaan Tuhan pada kedua orang tua kita. Kita tidak pernah diperkenalkan dengan agama lain. Jangankan diperkenalkan dengan ajarannya, mempelajarinya saja sudah cukup membuat orang tua kita blangsatan tak karuan.
Agama pun begitu adanya.
Katanya, agama menghalalkan darah orang yang murtad. Neraka tempat orang yang pindah agama. Kafir adalah musuh. Dan hanya agama kita saja yang paling benar dan satu-satunya yang akan membawa kita masuk sorga. Tak ada celah kita mempelajari agama lain.
Lantas, dimana kebenaran itu bisa dicari ketika semua pintu pemahaman kita ditutup. Bagaimana kita menyadari dan meyakini kalau agama kita paling benar kalau tidak bisa membandingkannya dengan agama lain?
Istriku…otakku mungkin ada yang salah. Hatiku ada yang rusak. Atau mungkin keyakinanku tidak seteguh orang lain, yang sangat yakin seyakin-yakinnya dengan agama orang tuanya. Mempelahari agama yang satu untuk kemudian hanya mempercayai yang satu itu. Aku tidak begitu. Otakku terus berputar mencari jawaban siapa Dia. Mengapa Dia harus ada? Dan apa tujuan-Nya menciptakan kita? Apa guna dan manfaatnya kita untuk-Nya? Apa pengaruhnya keberadaan kita untuk Dia? Apakah kelahiran kita adalah sebuah kutukan dibandingkan kita tidak dilahirkan sama sekali? Alangkah lebih baik dan lebih asyiknya kita kalaupun kita dilahirkan hanyalah untuk tinggal di Syorga dan bercengrama di sana dengan_nya ketimbang kita lahir di dunia yang katanya karena kesalahan Adam yang kita tidak kenal sama sekali.
Sejuta pertanyaan lainnya berkecamuk di dalam otak dan pikiran saya. Semua itu telah menganggu saya sejak saya, suamimu ini di SMA. Dan sekarang pencarian itu terus berlanjut.
Tak ada yang mau mendengarkan. Yang ada hanyalah kecurigaan dan ketakutan kalau-kalau saya pindah agama. Istriku, mungkin kamupun merasakan hal yang sama. Takut suamimu ini berpaling dari-Nya.
Istriku…aku tidak pernah kemana-mana. Bagaimana aku pindah agama kalau sekarang pun aku sedang mencarinya. Jangankan kamu, kedua orang tuaku pun belum tentu bisa menerima pertanyaan dan keraguanku ini. Aku sendiri. Sama seperti dulu.
Istriku, kamu seringkali melihat ada orang yang begitu yakin dengan agamanya lalu menyalahkan dan menganggap agama lain hanyalah calon penghuni neraka yang sudah Tuhan sediakan untuknya. Perang dan kekacauan atas nama agama sering terjadi. Orang yang paham agama malah melakukan kesalahan dan kemaksiatan.
Kamu akan bilang itu kan oknum. Itukan gimana orangnya. Kalau memang begitu, mengapa harus ada agama?
Ah…sudahlah…aku bingung menjelaskannya. Yang jelas aku terus mencarinya. Tolong pahami aku.

Bandung, 5 Desember 2008

Tidak ada komentar:

Laman