Minggu, 21 Desember 2008

BUDDHA, PENCERAHAN DAN KESADARAN EKSISTENSI

(Setelah membaca biografi Buddha, 26 Januari 2008)

Syukurlah…ajaran Buddha sangat sedikit sekali membahas dewa. Tetapi yang lainnya, seperti reinkarnasi, penderitaan, 8 ajaran kebenaran, filsafat tentang hidup dan kematian, semuanya sangat mudah saya pahami dan cukup memberikan kecerahan bagi kesadaran saya akan makna keberadaan manusia dan dunia ini.
Manusia lahir sebagai suratan takdir dari yang Kuasa adalah suatu kemutlakan dan memang telah terjadi. Kita tidak bias ikut campur dalam hal ini. Juga kematian ! Sama halnya dengan kelahiran alam semesta, tumbuhan dan binatang, manusia tidak mampu berbuat lain di luar takdir yang telah diguratkan. Apa yang terjadi pada kita hakekatnya adalah sama dengan lahir dan matinya alam semesta. Lahir, hidup untuk mati.
Adalah suatu kesombongan yang sia-sia ketika manusia menganggap bahwa manusia merasa lebih unggul dari makhluk lainnya. Manusia tidak lebih dari satu aksesoris alam raya yang diberi kemampuan untuk merasakan keberadaan dirinya, sementara binatang hanya dituntun oleh insting dan naluri ke-ilahi-an dalam menjalani hidup. Tapi apakah kesadaran akan eksistensi ini adalah suatu keunggulan atau justru sebagai awal dari penderitaan dan kelemahan manusia itu sendiri ?
Dengan keberadaan yang penuh kesadaran, manusia dituntut berpikir untuk apa hidup? Mengapa harus mati? Begitu banyak manusia yang justru tidak mengetahui mengapa dia hidup dan untuk apa dia hidup. Begitu banyak manusia yang takut menyongsong tua dan kematian. Ketakutan kematian dan ketidaktahuannya akan alam setelah kematian kemudian melahirkan agama, kepercayaan, ritual dan filsafat yang tidak pernah mampu menjawab dan menghapuskan ketakutan demi ketakutan akan kematian dan konsekuensinya. Bahkan tidak kurang agama, kepercayaan, ritual dan filsafat justru menjadi sumber masalah bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Disadari atau tidak, diakui atau tidak, kelahiran dan kehidupan ini memang suatu penderitaan tersendiri. Mungkin kalau diberi pilihan untuk memilih dilahirkan atau tidak, banyak jiwa yang menolak untuk dilahirkan. Begitu banyak penderitaan dan hukuman yang harus dijalani. Jangankan untuk menghadapi kematian, bahkan menjalani kehidupan nyata pun adalah suatu neraka yang harus dijalani. Kelaparan, peperangan, pengangguran, tua, berpikir tentang kematian,pekerjaan, masalah keluarga, politik, gengsi, status sosial dan lainnya adalah neraka yang sebenarnya.
Hidup harus dijalani. Tugas manusia hidup adalah menjalaninya dengan kebaikan dan kebenaran. Itulah eksistensi manusia yang paling hakiki. Begitu juga hewan yang menjalani kehidupan menurut garis takdirnya sendiri. Bagaimana hewan menjadi buruan manusia dan menjadi bahan makanan makhluk lainnya tanpa berhenti sebagai aksi ketidaksetujuan terhadap takdir Tuhan. Bagaimana tumbuhan terus berkembang untuk menyeimbangkan kehidupan alam tanpa meminta balasan dari makhluk lainnya. Bagaimana sungai terus mengalir tanpa protes kepada Tuhan mengapa dirinya harus mengalir. Bagaimana Kupu-Kupu terus terbang dan menyebarkan kehidupan bagi tumbuhan lainnya tanpa berharap akan menjadi Tuan dari hasil kerjanya.
Sekali lagi…tugas manusia adalah mengisi hidupnya untuk berbuat sama dengan isi alam semesta. Berputar pada porosnya, berotasi pada takdir dan berevolusi pada titik Tuhannya. Memberi adalah salah satu jalan yang harus dan wajib dilaksanakan bagi kelangsungan kehidupan ini. Meminta dan memelas apalagi memaksa kehendak adalah suatu perbuatan yang menyalahi takdir keberadaannya di dunia. Begitu banyak peristiwa, kejadian, bencana dan tragedy lahir dari hasil melawan dan menyalahi takdir. Begitu banyak kehancuran yang dihasilkan manusia yang mencoba keluar dari tuntutan Tuhan.
Ah…begitu banyak dan panjang bicara tentang manusia dan kemanusiaan. Mari kita kembali kepertanyaan awal! Dari mana manusia lahir? Untuk apa? Harus bagaimana? Mau kemana? Dimana tempat Tuhan bagi manusia?

DARI MANA MANUSIA?
Mengapa kita menghabiskan hidup kita untuk bertanya dari mana manusia lahir? Dari mana awal kehidupan alam semesta? Pernahkah kupu-kupu bertanya seperti apa kehidupannya ketika menjadi ulat? Kupu-kupu hanya menjalani takdirnya sebagai perantara tumbuhan dalam berkembang. Kupu-kupu begitu menikmati takdirnya dalam tataran dan tuntunan Ilahi.
Seandainya dengan mengetahui asal muasal kehidupan dan manusia menjadi lebih bijaksana, maka itu menjadi sangat penting. Tapi apa yang terjadi dengan agama yang sudah mencoba menjelaskan semua itu? Bagaimana dengan filsafat yang mencoba merenungkan semua itu? Apakah cukup membuat manusia menjadi bijaksana?
Dari mana kita hidp sama konyolnya dengan kemana kita setelah mati. Ada kesia-siaan kita dalam membahasnya. Tak ada manfaatnya kita mempermasalahkan dari mana asal muasal makhluk hidup. Yang pasti kita sekarang telah hidup. Harus menjalani hidup atau…berhenti untuk hidup…
Mati? Bunuh diri? Apakah itu penyelesaian? sementara kita tidak tahu apakah masalah akan selesai dengan mati? Bagaimana bila kehidupan berawal lagi ketika mati menjadi akhir!

MENGAPA HARUS HIDUP?
Landasan awal pandangan Buddha adalah penderitaan. Bagi Sang Buddha, hidup ini, tahapan kehidupan adalah penderitaan. Kelahiran kembali, penyakit, tua dan kematian adalah penderitaan. Oleh karena itu inti ajarannya adalah bagaimana mengatasi penderitaan itu. Salah satu sumber penderitaan adalah keinginan…
Berbagai keinginan dan kepenasaran manusia yang terjadi akibat rangsangan akal, nafsu dan indera telah cukup membuat manusia menderita. Berapa biaya yang banyak dikeluarkan untuk membeli kebahagiaan, berapa banyak waktu kita buang untuk kita gadaikan demi kebahagiaan tapi berapa besar kebahagiaan yang kita dapat sama sekali tidak seimbang dengan pengorbanan yang kita peroleh. Kebahagiaan yang kita cari selama ini adalah semu, materi, fisik dan sementara.
Kalau hidup ini penderitaan, lantas mengapa kita harus hidup? Penderitaan adalah landasan dasar manusia hidup. Rasanya kebahagiaan yang kita raih hanyalah selingan sementara diantara penderitaan berkepanjangan.
Tugas manusia adalah mengatasi penderitaan itu. Itu ajaran Buddha.
Ah…untungnya Islam yang saya anut tidak se-pesimis itu menggambarkan kehidupan. Hidup adalah anugrah. Hidup adalah sesuatu yang harus disyukuri. Itu saja. Dengan apa? Mencari kebahagiaan sejati dan hakiki. Apa itu?
Pernahkah kita berfikir bahwa alam ini diciptakan adalah sejajar dalam keharmonisan dengan saling memberi. Kita mengenal siklus alam, rantai makanan dan pasangan.
Bagi Buddha, kebahagiaan sejati adalah apabila kita hidup sesuai dengan hukum alam, aliran siklus alam, memberi dan tidak berbuat jahat.
UNTUK APA?
Bahagia? Apa itu bahagia? Adakah kebahagiaan itu sekarang. Selama ini kita selalu dininabobokan dengan kebahagiaan nanti, di alam sana, syorga, nirwana, sworgaloka dan lain sebagainya. Padahal sebagai manusia kita ingin bahagia sekarang, disini, selamanya. Bisakah kita bahagia sekarang dalam waktu lama atau selamanya?
Menurut Buddha dengan menekan keinginan yang buas dan serakah lalu mengikuti hukum alam dengan cara saling memberi, maka kita akan bahagia. Bagaimana matahari memberi sinarnya, bagaimana bulan membagi kehangatannya, bagaimana hewan menyerahkan hidupnya bagi manusia, bagaimana tumbuhan memberi keteduhan bagi alam, bagaimana sungai mengalir menurut aturan alam, bagaimana awan senantiasa berubah dan memberi hujan. Itulah kebahagiaan.
Kebahagiaan akan sirna bila kita justru menentang hukum alam untuk saling memberi dengan hasrat untuk meminta bahkan memaksa. Ketika manusia terus menuntut dan meminta maka jiwanya akan terus di dera derita karena sebenarnya, nafsu dan keinginan laksana minum air laut pada saat haus.
Namun…ketika kita memberi, maka hati kita akan tentram. Mengapa? Sebenarnya alam memang diciptakan dengan saling men-transformasi energi kepada pihak lain dengan memberi sesuatu yang kita punya kepada orang lain. Dalam Islam bahkan memberi sesuatu yang kita sukai akan lebih bermanfaat dan berpahala. Mengapa? Karena barang yang kita sukai memiliki getaran energi positif kita yang dapat berpindah kepada orang lain.

HARUS BAGAIMANA?
Terus bagaimana caranya kita membiasakan untuk memberi? Satu cara yaitu menekan keinginan kita yang terus menghantui dan menggerogoti hati kita dengan keserakahan.

MAU KEMANA?

SIAPA, MENGAPA,DIMANA TUHAN BAGI MANUSIA?

Tidak ada komentar:

Laman