Rabu, 17 Desember 2008

BELUM ADA JUDUL YANG PAS

satu
Malam itu, Tejo benar-benar menikmati angin malam yang menerpa wajahnya. Lembat. Bahkan nyaris tak terasa seandainya hari ini dia tidak mengalami sesuatu yang benar-benar menggoncang mentalnya dengan sangat.
“Hhhhh…mengapa semua ini terjadi kepadaku justru disaat aku sedang mencari Tuhan..?” desahnya sambil menghirup dinginnya malam. “Benarkah Dia ada? Kalau memang ada, tak adakah kemampuan bagi-Nya untuk sejenak saja memberikan kesempatan kepadaku untuk bisa berbagi kebahagian ini dengan orang-orang yang aku cintai.”
Langkahnya gontai menyusuri tanah pekuburan yang basah oleh gerimis sore hari tadi. Malam ini dia baru saja melangkah untuk pulang setelah pemakaman ibunya tercinta. Kematian ibunya yang sangat mendadak ini benar-benar semakin mengaburkan puing-puing keimanannya yang tengah labil. Kematian disaat dia akan menikah setelah setahun resmi bekerja di salah satu perusahaan besar di kotanya.
Kini kakinya yang bersandal jepit basah itu terseok-seok menyusuri besi panjang rel kereta api. Dijam-jam seperti ini, seharusnya kereta api yang menuju timur gemuruh dengan suara tua nya telah lewat. Terlambat? Ah…pantaskah kejadian berulang ini adalah sebuah kebetulan semata? Apakah ada tangan Tuhan dalam setiap keterlambatan kereta api di Indonesia? Karena jangankan keterlambatan, kecelakaan pun selalu diakhiri dengan sebuh kesimpulan “semua sudah takdir. Tak ada yang harus disesali”.
Tejo menatap bintang yang jarang cahayanya. Betapa jauhnya jarak bintang itu, pikirnya. Apalagi singgasana Tuhan, yang kata orang ada di langit ke tujuh.
“Kenapa Tuhan harus jauh-jauh dari makhluk yang telah diciptakannya? Apakah Dia ingin menghindar dari semua konsekuensi yang harus ditanggungnya sebagai Tuhan?” dengusnya.
“Jangan-jangan Tuhan sudah tak mampu lagi mengendalikan alam semesta ini sehingga banyak kejadian diluar kontrolnya. Apakah kekurangajaran dan kebiadaban umat manusia ini memang telah menyimpang jauh dari tujuannya awalnya penciptaan?” lanjutnya.
“Sehingga dia harus sembunyi dari orang-orang sepertiku? Orang yang senantiasa dikendalikan takdir yang penuh keberpihakan ini? Orang yang hanya merasa tidak pernah diharapkan untuk dilahirkan?”.
Dalam kegalauannya, dia membayangkan sebuah kereta api barang menabrak dan melindasnya. Dia membayangkan apakah ada rasa sakit? Samakah sakitnya dengan kematian wajar di tempat tidur kayu jati dengan kasur busa yang seharga 23 juta yang dilihatnya dalam iklan koran tadi pagi?
’Trang…trang…trang.’ Suara besi ditempa besi benar-benar memekakan telinganya. Tejo sengaja berbelok untuk menghindari suara itu. Dia tahu suara itu muncul dari kegiatan orang yang tidak mau ketahuan segala aktivitasnya. Orang-orang yang mengais remeh-temeh kehidupan dengan mengorbankan ratusan jiwa lainnya yang ada di gerbong kereta api. Seolah dunia ini diciptakan hanya untuk diri mereka sendiri dan yang lainnya tak lebih mereka anggap sebagai aksesoris hidupnya. Layak dikorbankan demi seratus atau dua ratus ribu dari hasil penjualan besi itu.
“Mencari mati aku kalau terlihat oleh mereka. Jangankan jiwaku…bahkan ratusan jiwa lainnya pun tidak mereka pedulikan. Lebih baik aku pindah ke trotoar itu.” Bisiknya dalam hati.
Malam tetap gelap dan kelam. Tejo melangkah dalam kegalauan malam dan kekelaman hati.

Dua
“Kamu lihat tejo ga? Kata tetangganya dari tadi dia belum kelihatan pulang ke rumahnya…pasti dia masih di kuburan ibunya itu”
“Ngga…gua juga dari tadi nyari dia. Lagian kita kan tadi terlambat mengikuti pemakaman ibunya, jadi gimana nyarinya di pemakaman gede kaya gini. Mana malam lagi…eh…Gi lo bawa HP yang ada lampunya khan?”
“Semprul, HP gue lo anggap patromaks apa!”
“Sori….Yogi Permana Kusuma bin Jamal Tirta Kusuma…gue kan Cuma nanya doang. Manusia kan Cuma bisa berusaha, yang menentukan kan Cuma cahaya lampu kalo ditempat gelap kaya gini”
“Ya udah deh Man…kita pulang trus nunggu dia di rumah. Dia kayanya lagi diperjalanan pulang” bisik Yogi kepada temannya bernama Maman.
“Ya terserah lo aja. Khan lo supirnya” jawab Maman sambil terus menebarkan pandangannya ke sekeliling pemakaman. Walau dia tahu semuanya sia-sia.
Mereka berdua setengah berlari dan terkadang meloncati beberapa makan yang harus dilewati untuk memperpendek jarak menuju mobil Yogi yang terparkir cukup jauh dari pemakaman SIRNARAGA itu.
“Heran gue ama cewek. Penakut banget sih kalo denger kuburan ama pemakaman. Lebih anehnya, mereka ngga takut kalo pergi ama kita, padahal ga pernah ada berita cewek diperkosa hantu laki-laki” keluh Maman.
“Ah…terus kenapa tangan lo megang tangan gue. Keras banget lagi. Cowok juga pada dasarnya takut, Cuma gengsi doang yang bikin lo berani kan? Gue juga sebenarnya takut…Cuma karena ada kamu aja gue berani” timpal Yogi.
“Eh..lepasin dong tangan lo! kan ngga enak keliatan ama hantu. Ntar dikirain kita cowok apaan lagi” tepis yogi. “Yang namanya manusia selalu takut dengan segala sesuatu yang tidak pernah dapat mereka tangkap dengan panca inderanya. Mereka takut dengan bayangan dan khayalannya sendiri. Hantu, perang nuklir, kiamat, kematian bahkan bakteri sekalipun.” Lanjut Yogi.
“Ya…makanya kita percaya pada Tuhan. Mungkin sebagai pelarian atas ketakutan yang ngga bisa lagi kita tanggung. Benar-benar menakutkan!” timpal Maman.
“Ya gitu deh…makanya banyak manusia ketika menyebut nama Tuhan selalu dengan nada ketakutan. Seolah Tuhan itu gimana….gitu….ya…. Jarang kita melihat atau merasakan manusia menyebut nama-Nya dengan kasih sayang dan pengertian!”
Yogi berhenti sejenak. Maman nyaris menubruknya dari belakang.
“kenapa sih lo brenti ngedadak gitu, kaya bajaj aja?” dengus Maman.
“Ngga…ggue baru kepikiran. Kita, manusia takut ama yang bisa diterimanya secara akal atau minimal secara indera, tapi ,mencari perlindungan juga kepada hal-hal yang justru ngga bisa kita rasakan oleh indera, ngga bisa dibayangkan, ngga boleh dipikirkan, oleh sesuatu yang kita ciptakan sebagai Yang Serba Maha. Emang lo percaya kalau sesuatu yang ngga kamu lihat, ngga boleh lo bayangkan, bakal bisa menolong lo kalau lo kena peluru nyasar polisi yang lagi mabok?” Yogi berbicara dalam kesadaran penuh dan tidak berharap jawaban apapun dari Maman.
“Ya gimana lagi…kalau gua nanya-nanya masalah itu ntar ditimpukin orang sekampung. Dulu, gue nanya ama bapak gue tentang siapa yang menciptakan Tuhan, bapak mendamprat gue abis-abisan. Bilangin gue anak durhaka lagi” timpal Maman.
“lo mending didamprat. Gue sampai sekarang ga tahu siapa Tuhan gue. Orang tua gue bilang, lo cari Tuhan kalau lo udah gede. Tentuin agama lo sendiri. PKI kali dia dulunya ya…eh tapi mana mungkin mantan PKI bisa jadi pegawai negeri ya…”
“lho emang banyak orang komunis di jajaran pemerintahan sekarang. Mereka bilang, mengaku atau bersumpah beragama sebagai syarat administrasi doang tapi kelakukannya malah lebih parah dari PKI dulu.” Sergah Maman. Kakinya terus mengibaskan sepatunya supaya bersih dari tanah kuburan.
“kenapa sih kaki lo, kesemutan?” tanya Yogi.
“bukan…gue takut ada hantu keberatan kalau tanahnya gue ambil. Ntar dia protes karena tanahnya gue serobot” jawab Maman.
“bego lo…ngga ada ceritanya hantu ngejar manusia yang merebut tanah orang lain. Mereka udah di jaga raja iblis, jadi usahanya lancar-lancar aja tuh”
Sesampainya di mobil Kijang Inova keluaran tahun 2000 itu, Yogi langsung menyenderkan kepalanya. Diam sejenak.
“Nggak ada Nen. Kayanya dia dah pulang” bisik Yogi kepada dua perempuan yang duduk di bangku belakang.
Maman menimpali di pintu mobil sambil membersihkan sepatunya dari tanah kuburan yang menempel di sisi-sisi sepatunya. “ Iyalah…lagian dirumahnya kan masih ada tamu. Kita temanin mereka sambil nunggu Yogi”.
Dengan wajah khawatir Neni menjawab,”Tapi…Yogi kan baru aja ditinggal meninggal ibunya. Dia pasti sedih, jadi harus ditemenin, ntar nyasar lagi karena pikirannya lagi error”
“Ngga lah…kita kenal dia udah 10 tahun. Dulu waktu bapaknya meninggal juga dia kelihatan tegar. Padahal bapaknya mati tepat dipangkuan dia kan?” Timpal wanita satunya yang berbaju merah dan mata tanpa lipatan. Keturunan Tionghoa tulen.
“Iya..Mei, tapi kan dulu masih ada Ibu ama adik-adiknya. Sekarang? Dia sendirian.” Jawab Neni.
“Ya udah…sambil pulang kita cari dia. Mudah-mudahan kita berhasil menemukannya di jalan ntar. Si Neni khawatir banget ama Tejo” Yogi mengakhiri pembicaraan mereka sambil langsung menginjak gas mobilnya. Neni langsung cemberut. Mei membantingkan tubuhnya ke jok mobil itu dan langsung menutup matanya. Pedih.
Sekian lama dirinya mengharapkan Tejo dapat merasakan perhatiannya selama ini. Tapi jangankan Tejo, bahkan sahabatnya pun tidak pernah mengetahui perasaannya kepada Tejo.

Tiga
Sesampainya di rumah, Tejo langsung merebahkan diri di bale-bale teras rumahnya. Pikirannya masih kacau balau. Bukan kematian Ibu dan adik-adiknya yang menjadi massalah buat dia, tapi waktu dan cara mereka meninggal yang membuat jiwanya terguncang.
Mengapa harus melalui pembunuhan? Mengapa pembunuhan itu harus bersamaan dengan kedatangannya dari kota? Mengapa mereka dibunuh padahal tak ada barang berharga dirumahnya? Mengapa harus keluarganya, padahal ada 250 juta jiwa di Indonesia yang lebih layak dulu mati ketimbang orang tua dan adik-adiknya!
Tejo mendengar deru mobil. Dia bangun dan langsung menuju pintu pagar bambunya yang terlihat masih tegak. Agak persis dengan 5 tahun yang lalu ketika dia membuatnya bersama keempat sahabatnya disaat liburan sekolah.
“Sori Jo, gue terlambat. Ngumpulin mereka agak sulit dihari kerja kaya gini” kata Yogi sambil menepuk pundak sahabatnya. Tejo berusaha tersenyum semanis mungkin. Dia teringat kebaikan semua sahabatnya. Tak ada alasan kedukaannya membuat dia tidak bahagia atas kedatangan keempat sahabatnya itu.
“gua ikut berduka cita” Neni menyalaminya, diikuti Mei Lan dan Maman. Tejo kembali tersenyum. Kemudian mereka duduk di bale-bale itu. Terdiam sesaat. Khawatir mengganggu perasaan tejo.
“lo udah makan Jo?” tanya Mei Lan. Tejo mengangguk pelan sambil tersenyum.
“tadi di jalan, sambil pulang” Tejo menjawab dengan sunggingan senyum yang selama ini di benci Mei. Senyuman yang selama ini membuat dia enggan berpaling pada lelaki lain. Senyum yang senantiasa membuat dia menyangka kalau Tejo mengetahui perasaannya.
“semoga arwah keluarga lo diterima disisi-Nya ya Jo. Seperti kepercayaan mereka selama ini”. Yogi mengatakannya dengan penuh kehati-hatian.
“ya…mereka beruntung mungkin. Karena meninggal dengan membawa keyakinan. Kita butuh kepastian dalam hal apapun” jawab Tejo.
Tejo menyambung. “hidup ini benar-benar membingungkan. Banyak hal yang semakin membuktikan kalau sebenarnya kita sangat-sangat bodoh. Tidak tahu apa-apa tapi seolah tahu segalanya. Bahkan untuk mengetahui kapan dirinya meninggal atau untuk sekedar tahu darimana kita berasal, untuk apa kita terciptakan dan apa yang terjadi setelah kematian ssaja sudah memakan waktu beribu-ribu tahun. Hasilnya? Nihil!!” gumam Tejo.
“kita memang butuh keyakinan” Mei mencoba terlibat dalam pembicaraan itu. Dia sebenarnya kurang tertarik pada pembicaraan ketiga teman lelakinya. Selalu membicarakan Tuhan yang mereka sendiri tidak pernah mengenalnya. Tuhan yang buat mereka begitu enak dibicarakan tapi berakhir dengan ketidakpastian, apakah mereka percaya Tuhan atau tidak, sudah menemukan Tuhan atau belum. Karena setelah mereka membicarakan-Nya, mereka selalu tidur. Tidak pernah pergi ke tempat ibadah atau menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang mereka anut.
“mungkin kebebalan kita saja selama ini yang membuat kita terus membicarakan hidup. Sebelum kita selesai membahasnya…mati! ”
“ya…Man, bayangkan…usia kita terlalu singkat untuk memikul kemampuan otak yang serba tak terbatas ini. Kesadaran kita akan eksistensi kita di dunia ini hanya kesia-siaan karena kita tidak pernah bisa merasakan keberhasilan dari kesadaran itu sendiri. Usia kita tidak bisa memaksimalkan hasil pikiran kita sebagai bukti keberadaan kita“
Mereka telah terjebak kembali pada obrolan seperti biasanya. Kesibukan dan kepenatan dari kesibukan kerja mereka seolah hilang ketika berbicara masalah Tuhan, jiwa dan kematian.
Sementara itu, desa Segara Makmur telah benar-benar sepi. Kematian keluarga Tejo yang dibunuh perampok tadi malam, benar-benar membuat malam menjadi lebih menakutkan. Tejo tak bisa masuk kerumahnya karena pintu dan jendela telah di halangi oleh pita bertuliskan “Do Not Enter. Police Line”
“Benar…kenapa sih kita diberi kesadarn itu. Kalau Tuhan adalah perencana yang hebat. Dia pasti memberikan akal dan pikiran ini kepada Malaikat atau Iblis yang akan hidup selamanya atau berumur panjang. Ratusan bahkan ribuan tahun. Jadi mereka bisa benar-benar menyingkap rahasia alam ini. Kecuali kalau kesadaran kita atas penciptaan ini hanyalah sebuah kebetulan saja! Kebetulan yang benar-benar salah kaprah. Alam benar-benar salah memilih kita menjadi makhluk yang berkesadaran. Padahal mungkin alangkah lebih baik kalau kita tidak pernah menyadari atau berpikir bahwa kita ada. Seperti cicak itu!” Sambil menerawang, Maman menghirup penuh rokoknya. Membuangnya. Kesia-siaan kata orang.
5 Oktober 2008
Empat
Seminggu setelah kematian ibu dan kedua adiknya, Tejo justru mendapatkan kenaikan pangkat dikantornya menjadi Wakil Direktur Bagian Marketing di perusahaannya. Nama TEJO SUMANTRI terpampang besar di pintu masuk ruangannya yang ber AC dan dilapisi karpet merah disemua bagian lantainya. Kenaikan pangkat ini tak lepas dari kepintaran dan kreatifitasnya selama 5 tahun dia bekerja di perusahaan itu.
Sementara, keempat sahabatnya yang bekerja di bagian lain berencana untuk mengadakan acara perayaan “kemenangan” sahabatnya dalam kancah persaingan hidup. Bahkan Tejo membuktikan bahwa dia tidak hanya sekedar bertahan hidup, tapi juga menjadi sang pemenang.
“Jadi acaranya mau apa?” tanya Mei. Tatapannya benar-benar menyiratkan sebuah kebahagian yang tak terhingga. Lelaki pujaannya akhirnya telah menapak kesuksesan setahap demi setahap, melejit malah. Harapannya berbinar dan disandarkan kepada ketiga sahabatnya itu.
“Yang jelas…Tejo tidak akan suka dengan perayaan yang penuh hura-hura, apalagi dia baru saja berkabung atas kematian keluarganya” jawab Maman sambil membenahi dasinya yang longgar. Kegerahan yang sangat aneh untuk ruangan sedingin itu. Kegerahan itu dirasakannya ketika mendengar sahabatnya dipromosikan menjadi wakil direktur.
“Ya, kita kenal dia dari dulu sangat menghindari acara yang berbau duniawi. Padahal diapun sangat jarang mengikuti acara kerohanian” timpal Yogi. “Bahkan ketika kita mengadakan acara tahlilan untuk keluarganyapun, kita tidak melihat dia ada dimana” Tambahnya.
“Ya udah, kita adain acara makan bersama di rumah lo Yog! Kita bikin acara ini tidak kelihatan seperti acara perayaan. Kita ikuti apa yang dibicarakannya, khan kalian memang sangat cocok dan tidak tahu waktu kalau sudah berbicara masalah hidup” usul Neni. Rok pendeknya agak mengganggu ketika dia mencoba duduk diatas meja kerja Yogi. Kedua pahanya yang putih itu seolah tidak dipedulikannya menyemburatkan cahaya Ken Dedes di dalam ruangan dingin itu. Dan inilah yang sebenarnya disukai kedua teman lelakinya. Tentunya tanpa Neni tahu. Mei sering mengingatkan tentang penampilan Neni, tapi Neni selalu menawab kalau itu hanya alasan kenyaman saja, padahal justru kenyataannya dia malah lebih sering kerepotan dengan gaya berbusananya sendiri. Entahlah, dalam hati Neni kadang sering muncul kebanggaan tersembunyi ketika melihat kedua sahabat lelakinya mengagumi keindahan tubuhnya.

Tidak ada komentar:

Laman