Minggu, 28 Februari 2010

KUHAPUS DOSAKU DENGAN MENGEMBALIKANNYA


Segepok uang sebesar Rp. 20.000.000,00 itu kini ada diatas meja Pak Roni.  Hamdan meletakkan uang itu dimeja atas nama Pak Danu yang tidak bisa hadir dalam pertemuan itu dengan alasan sakit dan tengah berobat ke kota.  Semua terdiam dan saling tatap.  Bingung untuk memulai pembicaraan.  Guru yang ada pada saat itu tidak lebih dari 9 orang.  Tak ada yang beraksi sama sekali.
Uang itu untuk apa? Kegiatan sudah berakhir dan pertanggungjawaban sudah dilakukan.  Siapa yang lantas harus bertanggungjawab atas uang itu.  Uang itu adalah uang panas.  Uang yang dikembalikan oleh orang yang dituduh telah menggelapkan uang tersebut. 
Pak Roni merasa ruangan menjadi panas.  Sebagai seorang guru, dia tentunya sangat paham kalau uang tersebut adalah uang yang bisa menjadi ular panas yang akan melilit dan menggigitnya.  Pak Roni adalah guru yang paling gigih memperjuangkan membongkar penyelewengan yang terjadi di sekolahnya.  Dan peristiwa ini bukanlah yang pertama.
Tapi kini berbeda dengan perjuangannya dulu.  Dulu dia bekerja bersama dengan rekan-rekannya mengungkap penyelewengan yang dilakukan kepala sekolah dengan nilai nominal yang jauh lebih besar.  Tapi sekarang dia merasa sendiri.  Teman-temannya menjauhi karena kasus yang dungkapnya adalah justru yang dilakukan temannya sendiri.  Teman yang berjuang bersama untuk mengungkap kasus Kepala Sekolah terdahulu.
Ketika temannya yang lain merasa “ewuh pakewuh” dengan kasus ini, tapi Pak Roni justru berteriak lantang.  Kasus ini terlalu telanjang dan kasar, kata Pak Roni.  Hanya orang yang bodoh dan guru yang goblog saja yang tidak mengakui bahwa terjadi penyelewengan.  Pengaturan dan pembagian tugas yang serampangan serta pengeluaran yang tidak masuk akal.
Awalnya Pak Toni merasa tidak yakin untuk bisa mengungkap kasus ini, bukan hanya karena merasa sendirian namun juga karena rekan lainnya memilih untuk bungkam, diam dan menunggu.  Mereka hanya bisa membicarakannya di tempat-tempat non formal seperti di warung kopi, ruang piket dan koridor sekolah.  Bahkan ada guru yang mengatakan akan menjadi pembela rekannya itu hanya karena merasa kasihan atas tertekannya rekannya itu menghadapi kasus ini.
Pak Danu bukan bukan guru kemarin sore yang tidak tahu masalah administrasi di sekolah.  Dia adalah guru senior yang cukup dikagumi Pak Roni.  Pak Danu selalu tampil bijak di depan forum saat rapat.   Jadi bagi Pak Roni, Pak Danu pasti memiliki alasan kuat mengapa dia melakukan kesalahan yang fatal.  Dan Pak Hamdan adalah guru yang siap menjadi pembela Pak Danu dalam kasus ini.

Namun ternyata sejarah kembali berulang.  Perang opini, sms dan surat gelap berseliweran di atas kepala Pak Roni melalui banyak orang.  Dan entah bagaimana awalnya, ada seorang wartawan koran lokal yang mendatanginya untuk menanyakan masalah itu.
Pak Roni kecewa.
“Kenapa orang suka banget ngirim sms ngga jelas sih?  Kita kemarin sudah melakukan rapat pertanggungjawaban dan hasilnya clear.  Tidak ada pertanyaan yang menggugat laporan keuangan bukan.  Yang ada hanya bertanya pada tataran normatif” kata Pak Roni kepada Pak Hamdan. 
Pak Hamdan hanya mengangkat bahunya.  Dia menyadari hampir semua kasus yang terjadi disekolah ini selalu berakhir dengan sms dan surat gelap.  Melalui Pengurus dewan sekolah dia sering menerima sms forward yang berisi tentang informasi penting.  Namun bagi Pak Hamdan, yang sudah hampir 5 tahun menjadi Kepala sekolah, validitas informasi seperti itu sangat diragukannya.
“saya juga heran Pak Roni…saya bahkan kecewa ada orang yang berani mengirimkan surat ke koran untuk mebeberkan masalah di sekolah ini.  Apa mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan justru mencoreng nama sekolahnya sendiri…?”  lanjut Pak Hamdan.
“terlepas dari semua ini pak…apakah uang ini akan kembali seandainya tidak ada wartawan yang datang kemari?” tanya Pak Roni.
Bahu Pak Hamdan kembali terangkat.
Guru yang lain tetap pada posisinya masing-masing.
“tapi sekarang mau diapain ini uang….?” Sela Ibu Prihatin.  Seorang guru yang terkenal diam dilingkungan rekan-rekannya.  Namun sering disaat dia tampil bicara, semua guru menghormatinya dengan diam dan mendengarkannya bicara.  Usianya masih sangat muda.
“Pak Roni…?” tanya Pak Hamdan.
Pak Roni menatap rekan-rekannya yang lain.  Dia kemudian berdiri dan mengambil uang itu. Dan menyerahkannya kepada Pak Hamdan.
“mungkin untuk kas sekolah pak…?”
“ya itu mudah…tapi langkah kita selanjutnya adalah menindaklanjuti kasus ini.  Apakah dilanjutkan dengan membuat berita acara dan melaporkan kepada pihak yang lebih berwenang atau menghentikan kasus ini karena uangnya dikembalikan…?” tanya Pak Hamdan.
Tiba-tiba Handphone Pak Roni berbunyi.   Dia berbicara perlahan.  Mukanya tiba-tiba memerah.  Kurang lebih 30 detik dia mendengarkan seseorang yang berbicara diseberang sana.  Lalu Pak Roni menutup kembali HP-nya.
“mungkin kita harus menutup kasus ini pak…”
“tunggu dulu….ini tidak adil.  Dulu Pak Roni paling lantang ingin membongkar kasus ini sampai tuntas!  Tapi mengapa sekarang bapak justru ingin menghentikan kasus ini….?”  Tanya Ibu Prihatin.  Teman-temannya yang lain mengengguk.
“bapak sudah tidak konsisten dalam bertindak.  Ingat pak…tujuan yang halal tidak akan merubah hukum perbuatan yang haram.  Walaupun uang itu sudah dikembalikan, bukan berarti kesalahannya menjadi hilang…khan?” lanjut Pak Junot menimpali.
“benar pak….saatnya sekarang kita mengambil sikap.  Lanjutkan…!”  teriak seseorang di barisan paling belakang.

Pak Roni kembali duduk.
“begini bapak dan ibu yang saya hormati.  Bagaimana kasus ini bisa berlanjut kalau orang yang paling bertanggungjawab justru telah meninggal…”
“barusa saya terima kabar dari keluarga Pak Danu…beliau meninggal 15 menit yang lalu di rumah sakit karena terlambat mendapatkan pengobatan.  Kata anaknya, uang 20 juta yang sudah diperlihatkan kepada mereka ternyata sudah tidak ada dilemari ayahnya….”  Papar Pak Roni.  Matanya menatap uang yang tengah dipegang Pak Hamdan.
Ruang itu hening kembali.
Bandung, Kamis 19 Februari 2010!

Tidak ada komentar:

Laman