Selasa, 16 Februari 2010

CINTA EMPAT KALI


Kucium bibir tipisnya.  Dingin menjalari sekujur tubuhku.  Tak ada kata dari bibirnya setelah itu.  Kami berdua terdiam.  Bahkan untuk saling memandang sekalipun, kami tak sanggup.  Kupalingkan mukaku ke arah kanan.  Kupandang jajaran gunung yang tinggi menjulang tepat diatas kami.  Hutan itu menjadi saksi bagaimana aku telah berani kurang ajar mencium bibir wanita yang aku sangat cintai.
Cuaca sudah tak cerah lagi.  Gumpalan-gumpalan awan seolah bersedih karena wanita yang mereka sayangi telah ternoda.  Sebuah pelanggaran besar dari janjiku untuk tidak pernah menciumnya sebelum dia menjadi isteriku.  Sebuah janji yang senantiasa aku ucapkan tatkala dia menangis.  Menangis semua hal yang membuatnya tidak nyaman.  Sebuah janji kosong karena aku tak sanggup menyanggupinya.
Isteriku sekarang sedang menyuapi kedua anak kami, dalam bayanganku.
Aku pejamkan mata ini untuk sekedar melupakan jerit manja kedua anakku itu.  Tak mampu.
Pandanganku kini beradu tepat ditengah kegundahanku. 
Sudahlah Mas…aku ngerti kamu pasti merasa berdosa kepada mereka.  Kepada isterimu.  Aku pun tidak menuntut Mas terlalu jauh.  Kalaupun aku merajuk untuk dinikahi hanya sekedar ingin merasakan ada seorang lelaki yang memang mencintaiku dan berniat menikahiku”.  Rambutnya dia kibaskan.  Rambut hitam itu yang pertama aku sentuh, belai dan kurasakan setiap helainya.  Dua tahun yang lalu.
Aku hanya terdiam. 
Dia kembali tersenyum.
Membalikan tubuhnya untuk kemudian pergi menjauh dariku.  Sesaat kemudian dia berbalik.
Pergilah Mas!  Kembali kepada mereka.  Jangan pernah lagi menyentuhku atau mengatakan apapun padaku.  Semakin Mas sering mengatakan akan menikahiku, aku semakin sadar semakin jauh hal itu dari kenyataan.  Aku sekarang harus mencari lelaki lain yang bisa benar-benar menikahiku” .  lalu pergi dan tak lagi membalikan tubuhnya untuk sekedar melepas senyum.
Aku tetap diam.  Tak berusaha mencegahnya pergi meninggalkanku.  Tak terasa dadaku bergemuruh.  Ini kali ketiga aku jatuh cinta lagi.  Selepasnya diriku dari belenggu cinta ini, aku takut jatuh cinta untuk yang keempat kali.  Cinta atau nafsu aku tak peduli.  Rasa itu datang dan pergi sekehendak hati.
Aku kemudian berjalan menuju mobilku.  Aku nyalakan mesin kendaraanku dan melaju melewati dia yang tetap berjalan.  Mobilku melaju pelan melewatinya berjalan sendiri.  Sesaat kutatap dia dari kaca spion mobilku yang kotor.  Kecantikannya tidak memudar walaupun kulihat jelas dia sedang menangis.
Dua tahun menjalin cinta terlarang telah membuat kami merasa seperti anak muda yang dilarang untuk menjalin cinta oleh orang tua.  Sensasi demi sensasi telah kami lewati bersama walaupun semua berjalan dengan wajar.
Aku tidak berusaha untuk berhenti dan mengajaknya untuk pulang bersama.  Aku mencintainya sehingga aku harus menghargai permintaan terakhirnya untuk tidak menyentuh dan mengajaknya berbicara.
Cinta.  Cinta adalah Tuhan.  Karena cinta, Tuhan menciptakan manusia.  Karena cinta pula Manusia melupakan-Nya.  Dan aku telah melupakan Tuhan ketika mencintainya. 
Didepan rumahku yang kecil itu, berhamburan dua makhluk kecil memburuku.
Ayah pulaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa……….ng!!” teriak mereka.  Bukan menciumku.  Mereka berebut meraih oleh-oleh dari tanganku.  Lalu keluar sesosok bidadari dari pintu rumah itu.  Dengan senyumnya yang khas dia menyambutku.  Mengambil tas gunungku kemudian masuk kembali.
Aku terduduk melihat dua makhluk mungil itu berceloteh tentang segala hal yang aku lewati dua hari ini.  Aku diam mendengarkan symphoni musik hidup yang aku tak dengar dua hari ini.  Isteriku kemudian keluar dari dapur dengan membawa secangkir kopi dan goreng pisang.
Gimana petualangannya pa…bisa membuat papa sedikit meredakan ketegangan kerja?” tanyanya dengan lembut.  Aku jawab dengan senyum kembali.  Dia tidak tahu kalau aku baru saja melepaskan cinta disana dan menggenggam cinta yang lain disini.  Aku kemudian mencium pipinya yang halus.
“I love you beb…”
Pada saat pulang tadi.  Aku mengenal seorang wanita muda.  Kuajak naik mobilku karena dia sendiri berdiri dipinggir jalan menunggu angkutan kota yang tak kunjung datang.  Aku sempat meraih  tangannya.  Dia bukan orang baru bagiku.  Dia adalah teman SMA ku yang pernah ku cium bibir tipisnya di kantin sekolah pas jam sekolah bubaran. 
Dia pergi meninggalkanku karena dia tahu aku sudah memiliki pacar.  Dia menyadari, rasa sukanya padaku dan sukaku padanya adalah sebuah kesalahan.  Dia tidak menuntut lebih dariku untuk menjadikannya kekasihku.  Dia pergi meninggalkanku sesaat sebelum aku menemui pacarku yang sedang menungguku di pintu gerbang sekolah.
Kini kami kembali bertemu.  Dia tetap belum menikah.  Dia tersenyum getir ketika tahu aku telah memiliki dua dewa dan satu bidadari.  Dalam hidupku.
Untuk yang kedua kali aku menjadi orang yang terlambat meraih cintamu…”
Tapi kali ini aku tak akan pernah melepaskannya lagi, apapun resikonya”  katanya ketika dia keluar dari mobilku.  Kuraih tangannya lalu kucium dengan lembut tangannya yang masih halus itu.

Tidak ada komentar:

Laman