Senin, 15 Februari 2010

KEMATIAN YANG MERINDUKAN


“Pa…mama hanya ingin bertanya ama papa.  Jangan salah sangka ya….!” Bisik Nadna kepada suaminya.  Rabi.  Disela pelukannya Rabi sudah bisa membaca arah pembicaraan yang akan dikatakan isterinya.  Rabi mencoba diam.  Menghindari untuk berkomentar karena khawatir hal itu akan menyebabkan suasana malam yang indah ini berubah menjadi panas.
“Papa jujur ya….!  Selama ini papa setia kan ama mama?  Papa ngga pernah boongin mama khan?  Soalnya mama mau bilang, kalau papa suka ama cewek lain, lebih baik papa jujur aja deh, biar mama yang mengalah dan meninggalkan papa.  Anak-anak biar mama yang ngurus.  Papa ngga usah mikirin mereka, mama yang akan menanggung semuanya.  Papa silakan pergi dengan cewek yang papa sukai itu….”.  malam semakin dingin diluar sana.  Namun di kamar itu cuaca memang berubah menjadi panas karena aktivitas mereka.  Beberapa menit yang lalu.
Rabi tetap diam.  Rabi merasa salah tingkah.  Apa yang harus dikatakannya, dia sendiri bingung.  Pernah dia menjawab dengan bercanda kalau dia memang sedang mencintai seorang wanita.  Isterinya tiba-tiba semaput dan marah selama tiga hari.  Dan dilain waktu, Rabi pernah menanggapinya dengan seyum, lalu isterinya cemberut dan bertanya, “kenapa senyum?  Bener kan apa yang mama omongin kalau papa suka ama wanita lain?”.  Sekali waktu Rabi menjawab dengan tegas bahwa hanya Nadna yang ada dalam hatinya.  Nadna berkerut dan mengatakan bahwa dia bohong.  Rabi benar-benar dibuat bingung dengan pertanyaan itu.  Ini mungkin pertanyaan dan pernyataan keseribu kali setelah mereka menikah.  15 tahun yang lalu.
Sekarang….?
“kenapa papa diem….?” Tanya Nadna.  Tanganya menyentuh pipi Rabi untuk kemudian menarik wajah suaminya untuk menatap dirinya.  Matanya.  Rabi tatap kembali tatapan Nadna dengan lebih tajam.  Dia khawatir bila menghindari tatapan itu, isterinya menyangka kalau dia tidak jujur.
Tapi….
“kenapa papa menatap mama kaya gitu….? Emang bener ya yang mama katakan?  Kalau bener, papa tinggal bilang.  Mama siap kok mengalah demi wanita itu….”  Lanjut Nadna.  Nadna selama ini selalu khawatir bila suaminya berpaling kepada wanita lain.  Ketika sekolah dulu, Rabi adalah laki-laki yang cukup dikenal disekolahnya.  Dan terlihat dia memang sangat akrab dengan wanita ketimbang teman-teman prianya.  Tapi itu dulu, pikir Nadna.  Sekarang dia adalah suami saya dan dia tidak boleh melakukannya lagi.  Peristiwa beberapa tahun yang lalu tidak boleh terulang.  Saya harus lebih waspada dan bersiap bila ada sesuatu yang tidak diharapkannya terjadi.
“kenapa mama nanya yang gitu melulu….? Tanya Rabi.  Pertanyaan itu pula yang sering dilontarkan ketika dirinya bingung untuk menjawab.  Nadna mendelik.  Sebuah jawaban yang tidak pernah diharapkannya.   Dia selalu ingin mendengar jawaban pasti dari suaminya bahwa dialah satu-satunya wanita yang ada dalam hati suaminya.  Nadna sangat khawatir suaminya akan tergoda oleh wanita lain yang lebih cantik dan genit.
Ketakutan itu pun terjadi ketika malam ini mereka baru saja melaksanakan rutinitas dan hak serta kewajiban sebagai sepasang suami isteri.   Malam ini Nadna kembali menanyakan hal itu.  Untuk yang kesekian kalinya.  Ketika suasana sedang romantis, Nadna sengaja melontarkan pertanyaan itu hanya untuk sekedar mendengar jawaban pasti dari suaminya.  Jawaban yang pasti itu tidak pernah bosan dia dengar.  Nadna hanya ingin mendengar suaminya menegaskan diri bahwa hanya dialah.  Hanya dia yang ada dalam hati suaminya.
Nadna sadar suaminya bisa mengatakan apa yang tidak sesuai dengan hatinya.  Nadna sadar mulut bisa berbohong.  Sekarang suaminya bisa mengatakan mencintai dirinya.  Tapi siapa tahu dibelakangnya, Rabi memiliki wanita lain.  Nadna sadar akan hal itu.  Nadna sadar dirinya bisa saja dibohongi suaminya kapan pun.  Dia tidak peduli.  Dia hanya ingin malam itu dan malam-malam sebelumnya serta seterusnya, suaminya mengatakan, “aku mencintaimu sepenuh hati.  Hanya kamu wanita yang menjadi pelabuhan akhir cintaku!!”
Sementara Rabi mencoba melonggarkan pelukannya.  Dia merasa jengah dengan pertanyaan itu namun tak berani mengatakan kepada isterinya.  Rabi merasa selama ini sangat mencintai isterinya.  Memang wanita lain sering berkelebat dalam hari-harinya.  Datang dan pergi.  Tapi sampai detik ini dia tetap menjadi suami dari Nadna.  Rabi tidak pernah habis berpikir, apakah semua wanita selalu menanyakan hal tersebut. 
“Nadna…isteriku…apakah kamu akan percaya kalau papa sekarang mengatakan bahwa kamu lah wanita yang ada dalam bayanganku selama ini?  Apakah ketika aku membayangkan wanita lain lalu kamu bisa mengetahuinya hanya melalui pertanyaan kamu seperti tadi?”  Rabi mencoba untuk menghindar memberikan jawaban.
“Kenapa kamu ngga mencoba menikmati detik-detik  kebersamaan kita seperti sekarang ini tanpa dibumbui rasa takut.  Ketakutan yang sering membuat kita menjadi tidak pernah bisa merasakan kenikmatan yang seharusnya kita rasakan” papar Rabi lebih lanjut.  Nadna bergeser kemudian memandang suaminya.  Cara bicara Rabi tidak seperti biasanya.  Rabi menyadari bahwa apa yang dibicarakannya bisa membuat Nadna semakin khawatir dan curiga.  Kemudian Rabi diam.

Pagi hari itu.  Ketika Nadna sedang menjemur pakaian di loteng rumahnya.  Handphonenya berbunyi.  Kabar dari rumah sakit dikotanya.  Mengabarkan bahwa suaminya meninggal karena tertabrak mobil yang sedang melaju kencang di jalan raya kota.
Nadna sejenak terpekur.  Apa artinya pertanyaan tadi malam.  Apa manfaatnya senantiasa meragukan kesetiaan suaminya selama ini, ketika suaminya sekarang sudah tidak ada lagi.  Mengapa keraguannya selama ini telah melupakan dirinya untuk sekedar bersyukur bahwa kemarin suaminya masih ada disisinya.
Nadna kini merasakan, kehadiran suaminya jauh lebih bermakna ketimbang kesetiaannya.  Sehari, semenit menunggu dan merasakan kehadirannya, jauh lebih bermakna dari sekedar mempertanyaan sesuatu yang dia sendiri ragu dengan jawabannya.
Nadna terduduk lemas.  Mengapa dia tidak mensyukuri kebersamaan mereka selama 15 tahun ini dengan merenda, merasakan, menikmati dan mensyukuri cinta mereka dan anak-anaknya.
Nadna terjatuh.

Tidak ada komentar:

Laman