Minggu, 02 Agustus 2009

CHEERS VS BINTALIS


Suasana didalam ruangan benar-benar semakin panas. Perdebatan antara ketua ekstrakurikuler Cheers dan Bintalis semakin seru. Mereka berdua telah mempersiapkan diri untuk acara perdebatan ini dua minggu sebelumnya. Sebuah perdebatan yang akan mengukuhkan keberadaan dua jenis ekstrakurikuler yang paling berpengaruh di sekolah itu.
”Jadi, karena cheers adalah jenis ekstrakurikuler yang mengumbar aurat, maka kami dari ekstrakurikuler Bintalis menuntut kepada sekolah untuk segera mengganti kostum mereka atau kalau bisa sekolah membubarkan ekskul ini!!!” papar Hafidz di depan ruangan aula tersebut. Gemuruh tepuk tangan di ruangan tersebut membahana dan cukup menunjukkan bagaimana ekstrakurikuler ini begitu diperhitungkan dalam setiap kegiatannya.
”Aurat....? Terus pertanyaannya kenapa dengan aurat? Bagi kami, pakaian yang kami pakai tidak lebih dari sekedar kostum seperti kalian memakai baju koko! Memangnya kalau kami memakai rok pendek lantas apa yang ada di dalam benak kalian yang sebenarnya?” sanggah Poppy, sang ketua Cheers tak kalah garang. Sorak-sorai dukungan pun terus bergemuruh sampai pembina OSIS harus maju kedepan untuk menghentikannya supaya perdebatan dapat dilanjutkan.
”Aurat itu mengundang birahi laki-laki tauuuuuu......!!!! Dan kewajiban kami untuk mendakwahkan apa yang kakmi yakini ini. Apabila aurat kalian umbar kepada orang banyak, maka kita khawatirkan itu dapat menyebabkan pikiran jorok diantara rekan-rekan di sekolah ini atau dimana saja yang melihat penampilan kalian!!” jawab Hafidz. Napasnya terlihat tersengal-sengal menahan emosi karena lawan debatnya tak juga paham dengan apa yang telah disampaikannya.
”Aku ga nyangka ya ama kalian...Ternyata anak-anak yang mengaku berakhlak dan banyak ilmu agamanya ini pikirannya kotor juga. Kamu bilang penampilan kami bisa mengundang birahi, lantas pertanyaan saya....yang ngeres itu siapa? Jangan-jangan Cuma kalian aja yang bangkit birahinya karena ngga pernah liat paha ama betis cewek! Iya khan? Udah ngga usah munafik deh...sebenarnya kalian khan lagi ngurusin birahi kalian sendiri karena penampilan kami! Kita ngga pernah kok nerima complain dari ekskul lainnya tentang baju kami karena dua alasan, pertama mereka tau kami bisa bergerak bebas dengan pakaian kami seperti ini dan menyadari bahwa ini hanyalah pakaian ketika kami tampil, bukan seragam yang tiap hari kami pakai. Kedua, dan ini yang paling penting! Mereka tidak punya pikiran ngeres seperti kalian! Mereka biasa melihat kami memakai baju ini! Mereka hanya melihat atraksi kami dari segi seni oleh tubuh dan kreatifitas kami dalam membuat formasi. Tidak seperti kalian yang memandang kami hanya sebatas paha dan betis!!!!” teriak Poppy. Aula kembali bergemuruh. Sorak-sorai dan cemoohan benar-benar membuat kepala menjadi pusing. Guru-guru yang menyaksikan perdebatan ini benar-benar mendapatkan kejutan. Bayangan mereka tentang siswa didiknya berubah drastis. Mereka sudah dewasa sekarang, begitu pikir guru saat itu.
Hafidz kembali berdiri, namun ditahan oleh Andika rekan disebelahnya. Dengan pandangan diarahkan kepada semua audiens, Andika berusaha meminta ijin untuk bicara. Suasana aula tiba-tiba hening. Andika adalah ketua OSIS yang pada saat pemilihan hampir meraih suara mutlak. Dia mendapatkan 90% dari suara yang ikut pemilihan! Benar-benar sebuah prestasi tersendiri bagi Andika, karena itu menujukkan dirinya benar-benar diakui memiliki kharisma sebagai pemimpin di sekolah ini. Badannya sedang dengan berat yang proporsional ditambah dengan pembawaannya yang tenang membuat seluruh temannya segan. Apalagi pada saat berbicara, suaranya yang keras dan tegas membuat kawan-kawannya selalu mengalah untuk mendebatnya lebih lanjut.
”Baik, waktu satu jam sudah hampir selesai. Semua siswa yang hadir disini maupun yang mendengarkannya di kelas bisa menilai apa yang harus dilakukan. Satu jam lagi, kami akan menyebarkan angket yang berisikan pertanyaan apakah Cheers ini harus ganti kustom atau tetap seperti sekarang! Saya harap semua bisa ikut berpartisipasi sehingga suara yang masuk cukup untuk menunjukkan sikap sekolah secara keseluruhan. Dan kepada siapa saja nanti yang kalah suara untuk tidak mendendam. Kepada pihak Bintalis (Bina Mental Islam) untuk lapang dada bila Cheers ternyata masih mendapatkan dukungan. Usaha sudah kalian lakukan untuk mengemukakan kebenaran menurut versi kalian. Saya rasa apa yang kalian lakukan sudah menujukkan sikap kalian. Dan kepada Cheers juga kami harapkan akan menerima keputusan apapun yang diambil rekan-rekan kalian dengan legowo. Penggantian kustom seyogyanya tidak akan menghambat kalian untuk kreatif karena saya hapal betul prestasi kalian selama ini. Keberadaan kalian setidaknya telah cukup membuat sekolah kita dikenal sampai tingkat nasional” kata-kata Andika cukup membuat suasana di aula sekarang menjadi turun tekanannya. Sebuah tekanan untuk bertahan dan menyerang, sebuah insting abadi manusia!
”Baik, sebelum ditutup, saya kembali persilahkan kepada kedua pihak untuk mengemukakan ’closing statement’. Pada bagian ini kalian tidak boleh lagi menyanggah dan menyerang pihak lainnya. Hanya kata penutup sebelum rekan-rekan kita memberikan suara pada referendum yang akan dilaksanakan satu jam lagi.” tambah Andika.
Hafidz berdiri. Kini nafasnya sudah mulai normal kembali. Ketenangan sudah diraihnya kembali. Satu langkah dia maju kedepan, meraih ’mike’ di depannya dan bersiap untuk bicara.
”Baiklah teman-teman semua, karena waktu yang terbatas saya hanya ingin menyampaikan beberapa kalimat saja. Sekolah kita adalah salah satuu sekolah yang sangat favorit di kota Bandung ini, dan tentunya kita bertanggung jawab untuk mempertahankannya. Bagaimana? salah satunya adalah dengan membenahi segala sesuatu yang bisa membuat nama baik sekolah ini turun dimata masyarakat! Salah satunya adalah ekskul Cheers yang lebih terkenal karena kecantikan fisiknya dan umbar auratnya. Prestasi mereka memang luar biasa, tapi dari mempertontonkan paha dan dada!!! Mari kita kembali ke sejarah, dimana sekolah kita selama ini dikenal masyarakat karena prestasi siswanya dibidang ilmu pengetahuan, science dan karya ilmiah. Kita ikut bertanggung jawab menjaga nama baik sekolah kita sendiri!! Terima kasih” Hafidz mundur dan kembali duduk di tempatnya dengan tenang. Hafidz dikenal sebagai siswa yang pemalu namun sangat cerdas dikelasnya. Bahkan kepintarannya telah membawanya menjadi siswa teladan tingkat provinsi dan akan mewakili Jawa Barat untuk seleksi siswa teladan tingkat nasional.
Aula masih hening, karena Poppy langsung menuju ’mike’ dan berbicara.
”Teman-teman, saya yakin otak dan pikiran kalian masih normal dan wajar sehingga ketika melihat sesuatu, kalian tidak pernah memikirkan ha-hal yang negatif, jorok dan ngeres. Selama ini saya melihat kalian menikmati penampilan kami dengan wajar. Teriakan dan dukungan kalian selama ini sudah sangat membantu kami mencapai prestasi yang tinggi. Saya yakin, prestasi ini sudah ikut mengharumkan sekolah ini yang selalu mendapatkan juara diberbagai lomba pengetahuan dan sekarang ditambah dengan prestasi non akademis. Bukankah itu menujukkan bahwa sekolah ini juga memperhatikan dan mengakomodasi bakat dan minat siswa secara penuh dan tidak membeda-bedakan akademis dan non akademis? Saya merasa ikut juga bertanggung jawab untuk mengangkat nama baik sekolah ini, sesuai dengan minat serta bakat yang kami miliki. Terima kasih!” papar Poppy. Langkahnya tegap dan menujukkan sebuah tegarnya tekad. Wanita yang sangat diperhitungkan oleh lawan jenisnya dalam hal prestasi. Kesantunannya dalam pergaulan sehari-hari cukup membuat siswa lelaki yang iseng dan nakal untuk mencoret namanya dari daftar korban mereka. Bahkan pernah Poppy memperdengarkan kemampuannya mengaji pada acara peringatan Isra Miraj di pendopo Kota Bandung. Ayahnya yang ketua salah satu organisasi Islam besar di Bandung cukup menjadi alasan mengapa dia mampu mengaji dengan sangat baik.
Andika maju kembali ke depan.
”Acara perdebatan ini selesai! Temen-temen dipersilakan kembali ke kelasnya masing-masing dan mengikuti pelajaran selanjutnya. Satu jam pelajaran kemudian, kami, pengurus OSIS akan menyebarkan angket. Jawab dengan jujur dan sesuai hati kalian masing-masing. Terima kasih!” Andika menutup acara tersebut. Kemudian dia menghampiri kedua temannya, menyalami dan mengucapkan selamat atas lancarnya acara perdebatan itu.
”Kalian sudah cukup memberikan kami pelajaran. Terima kasih karena kalian mau kami pertemukan dalam sebuah forum terbuka seperti tadi” kata Andika membuka keheningan.
”Ah...biasa aja lah An. Lagian Hafidz memang hebat sekali mengemukakan argumen-argumennya. Saya juga terpaksa memutar kepala supaya bisa mengimbanginya dalam berdebat. Tapi untungnya, saya pernah sekelas dulu waktu kelas 10 yang Fidz!” jawab Poppy. Hafidz tersenyum, sebuah seyum penuh keikhlasan dari seorang lelaki yang baru saja berdebat dengan seorang wanita.
”Terima kasih Pop...! tapi tadi tuh bener-bener surprise buat saya. Kamu bukan lagi Poppy yang aku kenal dulu waktu kelas 10. kamu inget ngga waktu kamu debat dengan Wahyu tentang materi Pelaku Ekonomi di Indonesia. Kamu menangis saking gemesnya berdebat dengan dia…hahahahahahahaha…inget ngga?” Tanya Hafidz.
Poppy dan Andika tertawa. Poppy ingat sekali peristiwa itu, ketika dia baru kelas 10 dan belum begitu mengenal teman-temannya dengan baik. Dia berdebat dengan temannya dalam diskusi mata pelajaran ekonomi. Hampir satu jam pelajaran diskusi berubah menjadi perdebatan panjang antara dirinya dengan Wahyu. Saking lelahnya, dia menangis dan menghentak-hentakan kakinya karena wahyu terus mendebat semua perkataannya. Sebuah pengalaman yang tidak akan pernah dia lupakan”
“Wah…wah…wah….kalian ternyata memang siswa-siswa yang hebat. Perdebatan kalian bagus dan bisa menjadi pelajaran baik buat kami sebagai guru. Mudah-mudahan kami bisa belajar dari kalian bagaimana debat yang bagus dan tetap saling menghargai satu sama lain. Tapi sayang, teman-teman kalian tidak melihat bagaimana kalian begitu baiknya setelah perdebatan yang panas tadi” Sela Pak Budi, Pembina OSIS sekolah mereka.
“Pan kita juga sudah biasa debat dan diskusi di pelajaran bapak…” Jawab Andika. Sekarang dia telah kelas 12 dan masa jebatannya sebagai ketua OSIS hanya tinggal menghitung hari. Dan sekarang dia tahu siapa yang akan menjadi penerusnya. Dua orang di depannya sekarang.

Ooooo------ooooooO

“Maaf ya…ternyata temen-temen lebih suka kita pake rok yang sekarang ini” kata Poppy sambil menghampiri Hafidz yang sedang sendiri menikmati minuman botol itu di kantin. Hafidz menggeser tempat duduknya dan memberikan tempat itu untuk Poppy.
“Oh, ya gapapa. Itu kan hasil suara terbanyak dan saya harus menghargai keputusan temen-temen. Lagian apa yang saya lakukan adalah amanat dari pengurus Bintalis tahun kemarin, yang mengagendakan supaya Cheers dibubarkan. Saya sendiri tidak setuju waktu itu kalau Cheers dibubarkan tapi sebagai ketua sekarang, saya harus menjalankan amanat organisasi walaupun menurunkan tuntutan hanya merubah kostum kalian. Karena bagi saya, tingkah laku kalian sekarang sudah baik kok. Jadi ngga ada alasan untuk membubarkannya” jelas Hafidz. Poppy memandang dengan tajam temannya yang satu ini. Sedikit janggut yang ada di dagunya saja yang membedakannya dari Hafidz setahun yang lalu. Hafidz tidak memperhatikannya sama sekali. Poppy agak penasaran untuk menarik perhatian laki-laki yang satu ini. Dia tidak tahu apakah Hafidz juga tertarik padanya atau tidak.
Hafidz sadar bahwa dirinya sekarang menjadi perhatian beberapa teman-temannya. Mungkin mereka heran ada ketua Bintalis yang biasanya terkesan ”alim dan baik” itu bisa juga duduk satu meja dengan ketua Cheers yang terkenal karena ”kecantikan dan kepintarannya”. Bisik-bisik temannya terlihat jelas di sudut mata Hafidz. Mungkinkah mereka tengah membicarakannya. Dia tidak tahu apa yang mereka perbincangkan. Kini dirinya tahu mengapa Rasulullah melarang umatnya untuk berbisik-bisik ketika ada temannya di depan mereka. Mungkin dikhawatirkan temannya berburuk sangka dengan apa yang dibisikkan. Hafidz kemudian mengusir buruk sangka itu dibenaknya.
”Pop, saya salut ama kamu selama ini. Saya juga tau kalo kamu itu pandai mengaji dan saya tahu ilmu agama kamu cukup tinggi. Cuma saya heran, begitu kelas 11 kenapa kamu pindah ke ekskul Cheers dari ekskul KIR?” tanya Hafidz dengan tatapan tetap ke depan, menghindari dirinya untuk terjebak mengagumi temannya yang selama ini dia kagumi itu.
Poppy memandang kembali temannya. Ternyata memang temannya tidak memahami apa yang dilakukannya. Pada awalnya, Poppy menyangka orang lain akan mengerti apa yang menjadi misinya masuk Cheers. Sekarang perkiraannya meleset. Kalau Hafidz saja tidak memahami tindakannya, apalagi teman-temannya yang lain. Dan dia tidak mungkin mengatakannya pada orang lain karena khawatir tujuan dari keberadaannya di Cheers akan diketahui temanya di Cheers dan membuat mereka berubah menjadi antipati.
”Ah...Cuma cari pengalaman aja Fidz. Abis saya khan udah setahun berkutat dengan laboratorium. Sekarang saya pengen tau rasanya berpanas-panas di lapangan. Eh, ternyata menarik juga” jawab Poppy.
”Lagian kenapa sih ya temen-temen kita ada yang suka salah sangka ama cewek-cewek Cheers. Selalu memandang mereka seolah mereka adalah wanita yang tidak punya otak, bodoh dan Cuma mengandalkan fisik semata. Padahal ketika saya masuk ke ekskul ini, ternyata mereka asyik-asyik juga tuh. Mereka juga ngga bodoh seperti perkiraan kita selama ini. Saya bisa bicara dengan mereka dari masalah kosmetik buat tampil sampai masalah terorisme yang lagi rame diobrolin” jelas Poppy kemudian. Hafidz bisa melihat sinar mata bahagia dimata Poppy ketika dia sedang membicarakan teman-temannya di Cheers. Hafidz bisa merasakan apa yang dirasakan Poppy.
Hafidz sudah aktif di komunitas Masjid sejak kelas 6 Sekolah Dasar, ketika dia menjadi murid pengajian di masjid sekitar rumah. Sampai sekarang berarti dia sudah 6 tahun aktif di komunitas yang sama. Hampir tidak ada pengalaman baru dalam hidupnya. Terkadang dirinya ingin juga merasakan ekskul yang beda. Tapi atas saran teman-teman dan orang tuanya, akhirnya dia kembali memilih ekskul dengan lingkungan yang sama.
”Tapi, terlepas dari motivasi kamu ke ekskul Cheers, saya ngeliat ada perubahan semenjak kamu masuk Cheers lho. Saya lihat di Cheers ga ada lagi perpeloncoan bodoh itu, ngga ada lagi geng-gengan yang ngga jelas itu, bahkan saya melihat mereka sekarang lebih terkesan rendah hati ketimbang tahun kemarin. Padahal dulu katanya mereka itu sombong-sombong dan merasa paling cantik di sekolah ini. Makanya kakak kelas kita dulu berusaha untuk membubarkan Cheers. Sekarang semoga pandangan itu berubah ya...!” papar Hafidz kembali.
Poppy tersenyum girang, akhirnya ada juga yang merasakan perubahan itu. Dia senang, Hafidz ternyata menyadari bahwa keberadaannya di Cheers telah mampu merubah ekskul ini yang dulunya terkesan hura-hura menjadi ekskul yang dipertimbangkan dan diperhitungkan dalam percaturan akskul sekolah ini.
Poppy bangkit dari tempat duduknya dan pindah duduk ke depan Hafidz. Dia tidak peduli dengan tatapan temen-teman Cheers-nya yang tertawa kecil melihat apa yang dilakukannya kepada Hafidz. ”Dan kamu...kenapa begitu ngotot sih pengen kita ngerubah kostum dan ngga sekalian aja minta Cheers dibubarkan kaya keinginan teen-temen kamu yang dulu?”.
Hafidz tidak terpengaruh dengan apa yang dilakukan Poppy. Dia tetap terlihat tenang dan tersenyum. Dia tahu Poppy bukan wanita yang berselera dan bertingkah kekanak-kanakan. Poppy bukan wanita yang hanya mampu menggoda dan mempermainkan laki-laki. Selama ini dia tidak pernah mendengar kalau Poopy memiliki pacar. Padahal untuk memiliki pacar 5 pun dia mampu.
”Saya melakukannya untuk melaksanakan amanat Bintalis terdahulu, itu yang pertama. Yang kedua, aku mencintai kamu!!!”
Poppy terkejut dan hampir terjatuh dari tempat duduknya. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa Hafidz akan mengatakan itu sekarang walaupun dia merasa Hafidz memang mencintainya. Mulutnya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Seorang Bintalis sejati mengatakan cintanya di depan umum, disaat istirahat dan tanpa tendeng aling-aling.
”A..eeee...mmmm...apa?” tanya Poppy. Dirinya takut dia salah dengar dan merasa GR untuk ditembak seperti itu. Jantungnya seolah berhenti berdetak ketika dia melihat kini Hafidz memandangnya tajam.
”Aku mencintai kamu! Dan saya ingin mengatakannya sekarang. Saya tahu akan menerima resiko ditolak oleh kamu, wanita paling cantik di sekolah ini. Tapi saya menyukai kamu bukan karena hanya cantik saja, tapi saya tau kamu juga pintar dan banyak tahu tentang agama. Sayang kan kalau wanita seperti itu dimiliki orang lain”
Poppy kembali terkejut.
”Benar-benar gila nih anak. Gimana ngga, udah nembak di tempat umum kaya gini terus pake acara ngerayu lagi...” pikir Poppy.
”Saya tunggu jawaban kamu nanti pas pulang sekolah ya! Aku nunggu di tempat parkir. Kalau kamu masuk mobil saya berarti kamu terima cinta saya. Dan kalau kamu menolak cinta saya, kamu boleh melewati mobil saya dan pergi kemana kamu suka.Oke?” tanya Hafidz.
Bel sekolah berbunyi dan Hafidz langsung meninggalkan bangku makannya menuju tempat pembayaran. Poppy sendiri memandang punggung Hafidz, jelas terlihat lelaki itu sekilas memandang kepadanya dan tersenyum manis sekali.
Poppy terdiam. Kakinya seolah tak mampu berdiri. Senangkah hatinya, terkejut atau kecewa? Dirinya benar-benar dibuat pusing oleh lelaki yang satu ini.

---------0000000--------

”Makasih ya udah nganter saya pulang”
”Ooo, sama-sama. Makasih juga udah mau dianterin pulang”
Poppy berjalan ke arah pintu rumahnya. Membalikan badan dan tersenyum kepada laki-laki di mobil itu. Poppy kembali berjalan ke arah lelaki di dalam mobil itu.Senyum yang paling indah yang dia berikan untuk laki-laki di dalam mobil itu.
"Terima kasih juga udah ngajarin aku berdebat sehingga bisa mengimbangi kehebatan Hafidz" bisiknya. Telunjuknya dia tempelkan dibibirnya, kemudian menempelkannya ke pipi lelaki yang baru menjadi pacarnya sekarang. Cinta pertamanya.
Andika membalasnya dengan senyum terindah pula. Menyalakan mobil dan kemudian menjalankan kendaraannya. Tenang dan senang.

Bandung, 2 Agustus 2009

Tidak ada komentar:

Laman