Minggu, 15 Februari 2009

GOLPUT HARAM? Cape...deh....!

Maaf, pengetahuan saya tentang agama memang tidak semendalam orang lain, namun sandaran saya keyakinan akan logisnya Islam sebagai agama. Oleh karena itu maka, hanya dengan melandaskan pada logika, saya yakin pandangan saya tidak menyimpang dari Islam.
Golongan putih dalam pemilu di Indonesia terbagi menjadi dua kelompok besar, pertama yaitu golput atas ketidaktahuan dan ketidaksadaran , kedua golput atas kesadaran dan pengatahuan. Mungkin golongan pertama inila yang merupakan golongan terbesar.
Golongan putih atas ketidaktahuan dan ketidaksadaran adalah mereka yang tidak terlibat pemilu karena alasan tidak tahu dan tidak mau tahu. Pasivitas mereka lebih didasarkan pada ketidakmauan untuk terlibat karena ada yang lebih penting untuk dikerjakan, misalnya berdagang atau menjadi sopir angkot. Bagi golongan ini, pemilu bukanlah sebuah peristiwa yang menjadi penentu keberlanjutan hidup mereka, pemilu hanyalah peristiwa kenegaraan biasa seperti halnya peringatan hari kemerdekaan. Inilah target utama sosialisasi penyelenggara pemilu dan fatwa haram. Dalam Islam mencari ilmu adalah wajib, begitu juga dengan ilmu tentang pemilu. Begitu juga dengan ketidakpeduliannya dengan manfaat pemilu bagi kehidupan berbangsa, bermasyarakat, khususnya dalam menjaga keberlangsungan akan kebebasan menjalankan agama masing-masing.
Golput kedua adalah golongan yang memilih untuk tidak memilih karena kesadaran dan pengetahuannya. Golongan ini bukan tidak menyetujui adanya pemilu, bahkan mungkin menjadi orang yang gencar mensosialisasikan pentingnya pemilu. Yang menjadi masalah adalah ketidakpercayaannya kepada system atau figure yang terlibat dalam pemilu. Mahasiswa, eksekutif, aktivis LSM dan lainnya melakukan gerakan golput ini karena alasan-alasan diatas. Mereka khawatir kalau dipaksakan memilih akan lebih mempeburuk keadaan. Salah memilih dalam pemilu, baik partai atau figure akan berdampakbesar pada nasib bangsa. Kekhawatiran ini kemudian diapresiasikan dalam bentuk pipihan untuk tidak memilih.
Fatwa MUI yang mengharamkan golput ini perlu dipertanyakan, karena tidak semua orang golput karena ketidakpedulian terhadap nasib bangsa, tapi justru sebagai bentuk kehati-hatian dalam menentukan sikap dan pilihan.
Adapun alasan MUI yang mengatakan golput haram selama masih ada calon pemimpin yang baik, sangatlah rancu dan subyektif. Kata “baik” sangat luas dan bisa berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Baik menurut anda belum tentu baik menurut kami!
Dan yang paling penting adalah bahwa memilih adalah hak, bukan kewajiban, sehingga hak bisa di”ambil” atau tidak. Selama golput dilandasi oleh kesadaran dan pengetahuan maka itu menjadi sebuah pillihan.
Dengan semakin banyaknya masyarakat yang golput, maka penyelenggara pemilu dapat melakukan evaluasi dan introspeksi untuk memperbaiki system pemilu menjadi lebih baik, accountable dan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.
Toh seberapa besarnya angka golput tidak akan mempengaruhi legalitas formal sebagai anggota legislative maupun presiden. Hanya legalitas pemilu dan figure yang akan dipertanyakan secara moral. Oleh karena itu, rasanya fatwa MUI yang mengharamkan golput terasa kontraproduktif dalam system demokrasi yang sedang kita bangun.
Mari kita sukseskan pemilu sebagai media dan sarana memilih pemimpin yang baik untuk bangsa ini. Cari tahu figure dan visi dari semua pihak yang terlibat. Jangan ragu menetukan pilihan, memilih atau tidak memilih.

Tidak ada komentar:

Laman