Minggu, 15 Februari 2009

VALENTINE, MENGAPA DITOLAK?

Ah...masyarakat Indonesia memang selalu latah budaya dan gagap pendapat. Ketika televisi merebak dan menayangkan gegar budaya barat, maka kemudian masyarakat Indonesia pun meniru, dengan mentah dan tanpa saringan yang memadai. Kita tidak pernah sesaat untuk merenungkan setiap nilai dari budaya yang datang ke negeri ini. Makanan, pakaian, sistem sosial, perayaan dan lainnya begitu kentara dilakukan tanpa mampu melakukan penyesuaian dengan nilai dan budaya yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia. Misalnya dalam meniru gaya pakaian, tidak semua pakaian yang cocok dikenakan orang Amerika atau Eropa dapat cocok dipakai orang Indonesia, tapi dengan kecerdasan perancang busana, pakaian barat menjadi enak dipandang ketika dipakai di Indonesia. Tapi masih ada juga yang secara mentah meniru dan memaksakan dipakai di tengah masyarakat yang masih lekat dengan tata nilai kesopanan leluhur, sehingga terkesan jauh dan terpisah dalam tata pergaulan masyarakat.
Ada hal yang penting ketika berbicara masalah penetrasi dan hegemoni budaya barat ke Indonesia. Pertama adalah tidak semua budaya barat itu jelek dan buruk, itu jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Kedua, budaya bangsa Indonesia yang mana yang selalu disanjung memiliki nilai tinggi? pakaian, kepercayaan, tata kesopanan atau korupsi? Ketiga, yang dimaksud dengan menyaring budaya memilikidua unsur, yaitu kesadaran akan tindakan meniru dan pengetahuan tentang budaya baru tersebut, sehingga ketika kita meniru dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari, benar-benar atas kesadaran dan pengetahuan yang lengkap sehingga mampu melakukan penyesuaian dan tidak menjadi dan merasa terasing di dalam masyarakatnya sendiri.
Hal ini perlu dipaparkan mengingat, Valentine menjadi suatu "budaya" baru yang cukup menarik perhatian baik bagi yang merayakannya maupun yang menolaknya. sayangnya, semua itu hanya berlaku sesaat dan kemudian hilang lagi. Wacana dan langkah konkret melakukan perenungan bersama ini penting sehingga kita bisa lebih cerdas menyikapi perbedaan pendapat yang pro dan kontra tentang Valentine day ini.
Ketika menerima valentine day, masyarakat kita menerima dengan mentah dan begitu pula dengan sikap menolaknya. Beramai-ramai berbagai kalangan secara demonstratif menolak perayaan ini, tapi hanya sebatas menolak dengan alasan bukan budaya Indonesia. padahal kalau mau jujur sebetulnya, budaya mana yang benar-benar budaya bangsa ini? lalu ada yang beralasan karena dengan hari kasih sayang ini sering dijadikan kesempatan untuk mengumbar sex atas nama cinta. ada juga yang berpendapat bahwa budaya ini tidak Islami dan lebih bernuansa Kristiani.
Pakaian dengan dasi dan jas, dangdut, Maulid nabi dan hari Ibu juga bernuansa budaya barat. Bahkan Maulid Nabi pun merupakan peniruan dari perayaan Natal nya kaum Nasrani dengan maksud menanamkan dan mendakwahkan keteladanan Nabi Muhammad yang pada saat perang salib diperlukan untuk menumbuhkan semangat dan rasa solidaritas antara umat Islam. Lantas mengapa Valentine day ditolak karena semata-mata tidak Indonesia dan Islam? Free sex sebagai efek yang dikhawatirkan dari perayaan itupun hanyalah sebuah phobia. Karena tata pergaulan remaja dan orang dewasa saat ini benar-benar telah sedemikian permisif dengan tata pergaulan bebas akibat gempuran budaya dan ketidaktahanan budaya bangsa ini dalam mengantisipasinya. bukan semata-mata karena Valentine day. karena juga masih ada seorang anak yang menunjukkan kasih sayangnya kepada Ibu, seorang anak kepada sahabatnya, atau menggaungkan perdamaian dan kasih sayang justru di tanggal 14 Februari ini.
Tulisan ini bukan untuk membela atau menyatakan pro terhadap perayaan hari kasih sayang itu. itu tidaklah penting bagi penulis! yang terpenting adalah, menanamkan kesadaran yang utuh kepada siapapun yang merayakannya, untuk lebih memaknai hari itu dengan jernih dan memanfaatkannya secara cerdas dan sesuai dengan tata nilai yang berlaku di suatu masyarakat. Bagi yang menentangnya, semoga tulisan ini dapat merangsang untuk secara jeli dan cerdas mengajukan alasan yang dapat diakui sebagai pendapat logis dan argumentatif tanpa membawa sentimen-sentimen yang tidak laku di masyarakat.

SOLUSI
Siapapun yang memulai dan darimanapun suatu budaya itu muncul, pasti lahir dari sebuah kebutuhan. Indonesia memang menjadi pasar empuk bagi para kapitalis barat untuk menjual barang yang berhubungan dengan valentine tersebut. Kita menjadi tidak menyadari bahwa barang yang kita beli untuk perayaan itu adalah produk atau hanyalah hasil dari sebuah iklan para produsen di negara jauh sana. Kita hanya membeli tanpa mampu berkreasi untuk memanfaatkannya bagi bangsa ini.
Oleh karena itu, perlu kerjasama yang baik antar berbagai elemen untuk lebih cerdas menyaring dan menyesuaikan suatu budaya yang masuk sehingga dapat lebih mudah diterima tanpa ada penolakan yang berbau sentimen. Perayaan, pakaian, makanan atau apapun hasil budaya lain yang datang ke Indonesia dapat dijadikan momentum untuk memperkaya khazanah bangsa.
Misalnya dimulai dengan mensosialisasikan bagaimana seharusnya masyarakat Indonesia dalam menunjukkan rasa kasih sayangnya. buatlah sebuah tanggal dan waktu yang berbeda, warna dan ciri yang berbeda. akan lebih efektif melalui media massa ditumbuhkan sebuah budaya baru tersebut. sinteron atau acara musik dapat menghaluskan pesan yang disampaikan namun dapat diterima sebagai bagian dari budaya bangsa. tokoh agama menyaring dan menentukan rambu dari perayaan tersebut, psikolog dapat bersinergi dengan membuat sebuah sebuah landasan teori tentang perlunya sebuah momentum untuk menyatakan perasaan kasih sayang, sama halnya dengan orang yang meminta maaf disaat lebaran. Stasiun televisi lalu memulai sebuah kesadaran baru untuk tidak lagi menggembar-gemborkan 14februari sebagai hari valentine, tapi pada tatanan baru, bentuk dan simbol baru yang telah kita sesuaikan dengan khazanah bangsa.
sulit ya? bisa jadi, tapi itu jauh lebih bermanfaat ketimbang dua pihak hanya bisa berdemo tanpa memaknai peristiwa dari momentum, lalu melupakannya untuk kembali dipermasalahkan setiap tahun. dan yang penting hal ini tidak hanya berlaku untuk hari valentine saja tapi juga setiap perayaan lainnya, seperti Hallowen.
Semoga tulisan ini memberikan solusi dan tidak menjadi polemik baru.

Tidak ada komentar:

Laman