Rabu, 17 November 2010

Bung Karno dan Islam


Bung Karno lahir dan dibesarkan di sebuah keluarga yang tak membaca Qur’an sebagai bagian kehidupan sehari-hari. Ayahnya seorang priyayi Jawa, pengikut theosofi, ibunya seorang perempuan Hindu Bali. [1]
Seperti dikatakannya di tahun 1962, di hadapan Muktamar ke-32 Muhammadiyah di Jakarta:
Ibu adalah meskipun beragama Islam asal daripada agama lain, orang Bali. Bapak, meskipun beragama Islam, beliau adalah beragama, jikalau boleh dinamakan agama, theosofi. Jadi kedua kedua orangtua saya ini yang saya cintai dengan segenap jiwa saya, sebenarnya tidak dapat memberikan pengajaran kepada saya tentang agama Islam.
Apa yang diajarkan orangtuanya? Ada sebuah detail dalam Sukarno, an Autobiography as told to Cindy Adams, yang sekilas menunjukkan dasar etis yang diajarkan sang ayah, seorang guru, kepadanya. [2] Pada suatu hari si kecil Karno memanjat pohon jambu di pekarangan rumah. Tak sengaja ia membuat sarang burung di dahan itu jatuh. Ayahnya memarahinya: anak itu harus menghargai hidup makhluk apapun.

Father was livid. “I taught you to love animals”, he thundered.
I shook with fright. “Yes, Father, you did.”
“You will please be as good as to explain the meaning of the phrase: ‘Tat Twam Asi, Tat Twam Asi.’”
It means ‘He is I and I am he, you are I and I am you’”.
“And were you not taught this has a special significance?”
“Yes, Father. It means God is in all of us,” I said obediently.
Tidak kita ketahui, tahukah si ayah bahwa ucapan itu, “Tat Twam Asi”, berasal dari Upanishad Chandogya. Sebagai seorang yang mempraktekkan ajaran theosofi, Raden Sukemi Sosrodiharjo tentu tak asing akan kitab-kitab suci Hindu.
Pada masa itu, pengaruh theosofi cukup berarti di Jawa. Perhimpunan Theosofi, yang didirikan di New York di tahun 1875 oleh Helena Blavatsky, Henry Steel Olcott dan William Quan Judge, kemudian berpusat di Madras, India, dan kepemimpinannya diteruskan oleh Annie Besant. Perhimpunan ini mengajarkan semangat pluralis: ingin membentuk satu inti “persaudaraan universal” yang tak memandang ras, keyakinan dan gender. Telaah perbandingan agama digalakkan, juga mengenai daya dalam diri manusia yang selama ini, oleh ilmu modern, tak dapat dijelaskan. [3]
Di Indonesia, di bawah kolonialisme yang dibangun atas pembedaan etnis, latarbelakang sosial dan asal-usul (sebuah rezim yang oleh Ann Laurie Stoller disebut “taxonomic state”) [4], tampaknya theosofi menemukan tempat di mana banyak orang membutuhkannya. Waktu itu di Batavia, ada Taman Blavatsky, di Bandung Taman Olcott dan di Semarang Lapangan Annie Besant. Banyak kalangan priyayi seperti Raden Soekemi Sosrodihardjo yang jadi anggota Perhimpunan. Di antara anggota Volksraad, parlemen bikinan Hindia Belanda waktu itu, tercatat lima orang orang Theosofi, terutama warga yang berdarah Belanda. Di kalangan intelektuil, Moh. Yamin, Sanoesi Pane dan Dr. Amir termasuk pengikut Theosofi yang aktif. [5]
Dalam sajak-sajak Sanusi Pane, kita temukan kekaguman yang jelas kepada warisan India (Hindu dan Budha) dalam khasanah kebudayaan Indonesia; Sanusi sendiri pernah melawat ke India di tahun 1929-30.
Ada sesekali Bung Karno memakai acuan ajaran dari India dalam tulisannya, misalnya ketika ia menyebut “Bhagavad Ghita” dan “Cri Krishna” dalam memberi penghormatan kepada Tjipto Mangunkusumo ketika dibuang. [6] Tapi pandangan theosofi tak nampak jejaknya dalam pemikiran Bung Karno, setidaknya dalam pemikiran politiknya. Mungkin karena di Hindia Belanda, Perhimpunan Theosofi yang ingin meniadakan diskriminasi itu pada akhirnya menolak untuk mengambil posisi radikal. [7] Bahkan seorang pemimpinnya, D. Van Hinloopen Labberton, pada tanggal 6 September 1913 menulis dalam Theosofisch Maandblad voor Nederlandsch-Indië sepucuk surat terbuka yang mengritik Tjipto Mangunkoesoemo dan Soewardi Soerjoningrat ketika kedua orang itu, bersama pendiri Indische Partij yang satunya, Douwes Dekker, dibuang oleh pemerintah kolonial.
Kedua orang itu pemberani, kata Hinloopen Labberton, tapi tak paham benar apa arti “kemerdekaan”. Kemerdekaan baginya harus tetap ada ikatan, dan “untuk negeri ini, hanya otoritas Pemerintah yang punya hak mengayunkan godam hukuman.” Dan dengan huruf kapital ia menegaskan: “JAWA DAN NEDERLAND HARUS SATU”.
Dengan pandangan politik seperti itu, para pendukung Theosofi – yang oleh kaum kiri pernah diejek dengan kata “tai sapi” [8] — tak mungkin menarik hati seorang anak muda yang sejak remaja terpikat pemikiran Karl Marx.
II
Pada umur 15, Sukarno meninggalkan Blitar dan bersekolah di sekolah menengah HBS di Surabaya. Di situlah gurunya, C. Hartogh, seorang sosial-demokrat, menjelaskan kepadanya teori-teori Marxisme, dan ia terpesona. Tapi tak hanya itu.
Kita tahu ia indekos di rumah Oemar Said Tjokroaminoto, tokoh besar pergerakan nasional yang kemudian jadi mertuanya itu. Pada masa itu, Tjokroaminoto sudah tiga tahun lamanya memimpin Sarekat Islam (SI). Organisasi ini berubah dari sebuah organisasi dengan tujuan terbatas – perbaikan kaum pedagang yang beragama Islam – menjadi sebuah organisasi yang kian lama kian bersifat politik dan akhirnya menjadi partai, yang jadi tempat bertemu bermacam ragam orang. [9]
Dalam Sarekat Islam terdapat misalnya Semaoen, yang setahun setelah jadi anggota SI, juga jadi anggota Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV), organisasi sosial demokrat Hindia Belanda yang jadi cikal bakal Partai Komunis. Semaoen, seperti halnya Alimin, adalah orang-orang kiri yang lebih tua dan sering Bung Karno temui. Alimin, kata Bung Karno, “adalah orang yang mengajarinya Marxisme”. [10]
Dari yang dikenang kembali oleh Bung Karno dari masa hidupnya bersama Tjokroaminoto dan keluarganya, saya tak mendapatkan kesan di sana ia telah mendalami ajaran Islam. Tjokroaminoto sendiri, keturunan priyayi dari Madiun dan lulusan OSVIA (sekolah untuk para calon pamong praja) ini tampaknya tak bertolak dari pendalaman ilmu agama. Sebagaimana ketika ia dilahirkan, SI, dalam hal ini Tjokroamnioto, lebih “menggunakan simbol Islam, sebagai gerakan kebangsaan”, dan baru kemudian timbul gagasan pada Tjokro untuk mempelajari Islam lebih lanjut. [11] Selain kursus tentang teori politik dan sosiologi, di dalam SI diadakan juga kursus tentang agama, misalnya oleh K.H. Ahmad Dahlan.
Tapi yang diteruskan Bung Karno dari Tjokro (di samping kemampuan berpidato) adalah sikap eklektiknya. Bagi Tjokroaminto, persatuan antara kalangan yang berbeda adalah jalan dan sekaligus tujuan. Dalam Kongres Ketiga SI di Bandung di tahun 1916, Tjokroaminoto menegaskan: “Kita bermaksud bahwa SI menuju arah persatuan yang utuh dari semua golongan bangsa Indonesia yang harus dibawa setinggi-tingginya ke tingkat natie.” [12]
Dengan sikap seperti itu, seperti disebut di atas, Tjokro bersedia menerima unsur-unsur komunis dalam partainya. Bahkan baginya, Marx dan Engels tak membawa paham yang tercela. Ia sendiri memberikan kursus tentang sosialisme, dan seperti dikenang oleh Hamka, Tjokro “tidak mencela Marx dan Engels, bahkan berterima kasih kepada keduanya”. Teori Historis Materialisme, kata Tjokro menurut Hamka, “telah menambah jelasnya bagaimana kesatuan sosialisme yang dibawa Nabi Muhammad.” [13] Di tahun 1924, Tjokroaminoto menerbitkan bukunya, Islam dan Sosialisme.
Dua tahun setelah Islam dan Sosialisme terbit, Bung Karno menulis risalahnya yang terkenal, “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” – yang kelak jadi dasar gagasan NASAKOM yang dipegangnya sampai ia wafat. Motif eklektikisme yang sama seperti Tjokro kelihatan di sini.
Ada yang menganggap bahwa dorongan dalam diri Bung Karno untuk persatuan seperti yang tampak dalam risalah itu bermula dari “sinkretisme Jawa tradisional” yang ada dalam dirinya, seperti dikatakan Bernard Dahm dalam Sukarno and struggle for Indonesian Independence. [14] Kesimpulan “orientalistis” seperti ini tak melihat sejarah.
Dalam masyarakat kolonial, ketidak-puasan meliputi hampir semua lapisan sosial. Kelompok dengan aliran yang berbeda-beda, atau bertentangan, mengacu ke sesuatu yang secara universal dirasakan tak adil. Masing-masing kelompok dengan demikian tak membentuk perbedaan yang murni. Identitas masing-masing (komunis, Islam, Jawa, nasionalis, Sumatra) tak ditentukan oleh adanya sifat-sifat dasar dalam diri masing-masing, dan tak didukung dan dikukuhkan oleh perbenturan kepentingan sosial-ekonomi yang bertahan. Perpaduan pelbagai aliran pikiran yang dikemukakan Bung Karno terjadi karena masih cairnya hubungan antara “isme-isme” itu dengan kondisi sosial para penganutnya – hingga misalnya tokoh seperti Haji Misbach menjadi seorang Marxis-Leninis yang aktif. Antikolonialisme atau cita-cita kemerdekaan mengatasi semua aliran, dan masing-masing aliran, dalam satu untaian chain of equivalence (dalam pengertian Laclau), mencoba merebut dukungan seluas-luasnya bagi dirinya; sebab itu, mereka membuka diri ke pihak yang berbeda-beda.
Itulah yang agaknya tercermin dalam eklektisisme Bung Karno.
Dahm tak melihat hal itu. Kesimpulannya bahwa Sukarno “manusia Jawa” bertolak dari salah paham: seakan-akan pengertian “Jawa” dapat meniadakan perbedaan antara seorang yang dibesarkan di Jawa Timur dengan pendidikan Belanda (dan terlibat dalam pergerakan nasionalis) dan seorang Mangkunegara IV dari sebuah kraton di Surakarta. Bung Karno memang menyukai wayang kulit, dan tak jarang menggunakan ekspresi dari ungkapan Dalang (“cakrawati”, “rawe-rawe rantas, malang-malang putung”). Tapi ia menampik kontinuitas tradisi, bahkan dengan yang sering disebut “Jawa”.
Dalam teks bertuliskan tangan dalam Di Bawah Bendera Revolusi, ia menganjurkan orang semasanya untuk meninggalkan apa yang disebutnya “oude-cultuur-maniak” yang “pikiran dan angan-angannya hanya merindui candi-candi, negarakertagama, empu Tantular dan Panuluh, dan lain-lain barang kuno”. Zaman dulu zaman indah, kata Bung Karno, “tetapi ia sudah mati!” [15]
Dengan kata lain, Bung Karno memang bukan pemikir Islam dalam arti seperti Moh. Natsir, bukan pula pemikir “Jawa”, melainkan lebih dari semuanya, ia seorang penerus semangat modernitas – yang dalam hal ini dibentuk oleh Marxisme. “Saya adalah murid dari Historische School van Marx,” kata Bung Karno dalam wawancara dengan koresponden “Antara” yang kemudian dimuat dalam Pandji Islam di tahun 1939.
Wawancara itu dilakukan setelah diberitakan, Bung Karno meninggalkan sebuah rapat umum Muhammadiyah sebagai protes. Dalam rapat umum ini ada tabir yang memisahkan pengunjung perempuan dari lelaki. Bagi Bung Karno, “tabir adalah simbol dari perbudakan perempuan”. Tetapi ia melihat penggunaan tabir itu secara “historisch” – dan di situlah Bung Karno menunjukkan pandangan dasarnya tentang Islam. Ia, sebagaimana galibnya seorang Marxis, memandang tafsir agama sebagai sesuatu yang contingent terhadap sejarah sosial di mana tafsir itu dikemukakan.
Pertautan tafsir dengan sejarah itu berarti juga pertautan tafsir dengan perubahan. Sebab dalam sejarah, seperti kata Bung Karno, ada “garis dinamis” yang makin lama makin meningkat ke arah terang. [16]
Sejarah bergerak. Zaman bergerak. Tak pernah akan berhenti. [17]
III
Pandangan tentang sejarah itu mencerminkan hasrat yang dominan di antara inteligensia Indonesia di tahun 1930-an. Di dalam pemikiran mereka berkait tiga hal: (1) antikolonial, (2), keyakinan akan modernitas, (3) dinamis atau optimistis. Marxisme sangat cocok untuk memenuhi hasrat itu, seperti tercermin dalam pemikiran Tan Malaka, Bung Karno, Sjahrir, bahkan dalam derajat tertentu, Hatta. Tapi Marxisme bukan satu-satunya. Ada pemikiran S. Takdir Alisjahbana, misalnya, yang dengan jelas bisa diikuti dalam polemik di majalah Poedjangga Baroe yang kemudian dikenal sebagai “Polemik Kebudayaan.”
Kalangan inteligensia Islam mau tak mau harus merespons apa yang agaknya bisa disebut sebagai “imperatif modernitas” itu. Dengan cara mereka sendiri, mereka melakukannya.
Tjokroaminoto dan H. Agus Salim sudah tentu merupakan pelopornya, terutama melalui SI. Kemudian lahir Muhammadiyah di tahun 1912, di Yogya, dipimpin K.H. Ahmad Dahlan. Seperti umum diketahui, organisasi ini membawa pengaruh pemikiran Muhammad Abduh di Mesir dan menyebut diri sebagai “gerakan tadjid” yang hendak menghalau “takhayul, bid’ah dan khurafat”.
Tak hanya Muhammadiyah. Dalam pelbagai variasinya, munculnya pelbagai organisasi Islam langsung atau tak langsung bersentuhan dengan “zaman bergerak” itu. Di tahun 1913 lahir Al-Irsyad, kemudian di tahun 1923 di Bandung Pesatuan Islam (Persis) didirikan oleh H. Zamzam, dengan tokoh yang lebih terkenal, A. Hassan, dengan siapa Bung Karno berkorespondensi selama ia dibuang di Ende, Flores. Muncul juga Ahmadiyah, sejak 1925, yang buku-bukunya dikagumi Bung Karno. Di tahun 1926, Nahdhatul Ulama didirikan K.H. Hasjim Asj’ari.
Dengan keyakinan yang besar akan modernitas, tak mengherankan bila Bung Karno lebih merasa dekat dengan gerakan reformis Islam di masa itu. Mula-mula dengan SI, tapi kemudian dengan Muhammadiyah. Ia mengenal K.H. Ahmad Dahlan sejak umur 15 tahun, ketika pendiri Muhammadiyah itu berceremah di kalangan SI. ”Sejak umur 15 tahun, saat saya berdiam di rumah Tjokroaminoto,” cerita Bung Karno, “saya telah terpukau dengan K.H. Ahmad Dahlan…. Saya sudah menjadi anggota resmi Muhammadiyah dalam tahun 1938”.
Bahkan dalam uraiannya di depan Muktamar Muhammadiyah di tahun 1962, ia berdoa, agar bisa “dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafan”-nya.
Dengan hasrat ke modernitas pula Bung Karno menghargai gerakan Ahmadiyah. Bung Karno, yang selama ia dibuang di Ende pernah didesas-desuskan mendirikan cabang Ahmadiyah, membantah. “Saya tidak percaya bahwa Mirza Gulam Ahmad seorang nabi”, tulisnya dalam sepucuk surat di tahun 1936, “dan belum percaya pula bahwa ia seorang mujaddid”. Tapi ia menyatakan mendapatkan “banyak faedah” dari buku-buku yang dikeluarkan Ahmadiyah, misalnya Mohammad the Prophet karya Mohammad Ali dan Het Evangelie van den daad karya Chawadja Kamaloedin. Majalah Ahmadiyah, Islamic Review, kata Bung Karno, “banyak memuat artikel yang bagus.”
…mengenai Ahmadiyah, walaupun beberapa fatsal di dalam mereka punya visi saya yolak dengan yakin, toch pada umumnya ada mereka punya ‘features’ yang saya setujui: mereka punya rationalisme, mereka punya kelebaran penglihatan (broadmindedness), mereka punya modernisme, mereka punya hati-hati kepada hadits, mereka punya striven Qur’an sahaja dulu, mereka punya systematise, aannemelijk, making van den Islam. [18]
Pada waktu itu Bung Karno tentu sadar akan sikap negatif kalangan Islam, terutama Muhammadiyah, terhadap Ahmadiyah, yang terungkap sejak tahun 1929. Tapi ia tak menutup pintu bagi ide-ide yang ia anggap baik dari kalangan ini – “baik” dalam perspektif seorang penganjur modernitas. “Ahmadiyah adalah salah satu faktor penting di dalam pembaharuan pengertian Islam di India”, kata Bung Karno dalam tulisannya, “Me-‘Muda’-kan Pengertian Islam”. [19]
Dalam hal ini Bung Karno tidak sendirian. Seperti dia, sebelumnya, Tjokroaminoto, juga mendapatkan Qur’an dari terjemahan dan tafsir oleh seorang ulama Ahmadiyah, Muhammad ‘Ali, The Holy Qur’an. Organisasi pemuda Islam yang berpengaruh, Jong Islamiten Bond, yang didirikan oleh para pemuda terpelajar di tahun 1924, juga pernah mengundang seorang mubaligh Ahmadiyah Lahore, Wali Ahmad Baig, sebagai salah seorang pengajar di organisasi itu – sebagaimana halnya tokoh Islam “reformis” lain, misalnya A. Fachruddin dari Muhammadiyah. [20]
Meskipun demikian, ada hal yang tak akan mendekatkan Bung Karno ke kalangan Ahmadiyah: selain kultus mereka terhadap Mirza Gulam Ahmad, adalah apa yang dikatakan Bung Karno sebagai “kecintaan” para pelopor Ahmadiyah “kepada imperialisme Inggris”. Sebab semangat antikolonial, bertaut dengan keyakinan akan modernitas dan pandangan sejarah yang Marxistis – itulah yang mewarnai cara Bung Karno memandang Islam. [21]
IV
Apakah “Islam” bagi Bung Karno? Jawab yang mendekati tepat agaknya: pada awalnya, Islam adalah sebuah enersi politik pembebasan.
Di tahun 1917, ketika Bung Karno berusia 16, Sarekat Islam yang dipimpin Tjokroamnioto berkembang jadi sebuah partai dengan anggota mencapai 800.000 dan tersebar lebih dari 80 cabang – dan dengan sikap yang lebih keras terhadap pemerintahan kolonial ketimbang ketika didirikan. Memang kemudian terjadi perpecahan dalam organisasi yang telah berkembang jadi partai politik itu, namun sisa-sisa pertautan pendapat tentang kolonialisme masih tampak jelas di antara faksi-faksi yang memisahkan diri. Tak mengherankan bila Bung Karno, meskipun melihat perpecahan itu sebagai hal yang menyedihkan, tetap memandang “Islam” lebih sebagai satu elemen dalam perjuangan antikolonial. Tapi tidak sebagai sumber gagasan.
Ketika ia berbicara tentang “Islamisme” dalam risalahnya “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, yang diuraikannya terutama bukan pandangan yang ditakik dari Qur’an dan Hadith. Ia lebih banyak menunjukkan semangat dan pemikiran Jamaluddin al-Afghani, yang, menurut dia, “pertama-tama membangunkan rasa-perlawanan di hati sanubari rakyat-rakyat Muslim terhadap bahaya imperialisme Barat”. [22]
Yang menarik, karena agak kontradiktif, Bung Karno melihat dalam pandangan Jamaluddin al-Afghani — yang ia gambarkan sebagai “harimau Pan-Islamisme yang gagah berani” — bersumber “benih nasionalisme”. Al-Afghani, kata Bung Karno, “di mana-mana telah mengkhotbahkan nasionalisme dan patriotisme”. [23]
Di sini tampak bahwa Bung Karno tak hendak menunjukkan adanya ketegangan antara “Pan-Islamisme” sebagai cita-cita yang menafikan pentingnya nation-state dengan “nasionalisme”. Dalam hal ini ia punya pandangan yang sama dengan Tan Malaka, yang empat tahun sebelumnya, dalam Kongres ke-IV Komunisme Internasional (Komintern) di Kremlin, mengemukakan hal ini. Bagi Tan Malaka, “Pan-Islamisme” bukan lagi sebagaimana makna asalnya. Kata itu menandai “perjuangan pembebasan nasional” dan sekaligus solidaritas rakyat yang terjajah imperialii mana-mana.
Tak kurang penting, dalam pandangan Al-Afghani Bung Karno menemukan anjuran modernisasi yang berani. Pendekar Pan-Islamisme itu, kata Bung Karno, menanamkan keyakinan bahwa untuk melawan imperialisme Barat, “kaum Islam ‘harus mengambil tekniknya kemajuan Barat, dan mempelajari rahasia-rahasianya kekuasaan Barat’.” [24]
Dengan demikian Islam, sebagai energi pembebasan, harus menengok ke Barat. Jika dilihat bahwa dalam percakapan ide-ide di Indonesia, setiap kata “Barat” ditanggapi dengan waspada (juga kemudian oleh Bung Karno sendiri, terutama di masa “Demokrasi Terpimpin”, 1959-1966), anjuran demikian cukup kontroversial. Tapi dalam sebuah artikel panjang untuk Pandji Islam di tahun 1940, Bung Karno memajang kutipan dari kata-kata Zia Keuk Alp, seorang penulis Turki (1976-1924): “Kita datang dari Timur. Kita berjalan menuju ke Barat.”
Dalam tulisan itu, sebuah pembelaan yang berapi-api terhadap Revolusi Kemal di Turki yang memisahkan agama dari Negara, tampaknya Bung Karno secara implisit memujikan “Barat” sebagai daya dinamis yang merupakan antitesis dari kemandegan yang merundung dunia Islam, sebagaimana tampak di Turki di bawah Sultan-Sultan Usmani terakhir. Dengan kata lain, “Barat” itu adalah sebuah peradaban yang rasional, ke mana bangsa Indonesia mesti datang, bukan “Barat” sebagai kekuatan yang kapitalistis dan imperialistis yang harus ditentang.
Di sini Bung Karno, meskipun kadang-kadang menunjukkan pandangan yang paralel dengan anjuran “kembali ke Qur’an dan Hadith”, dan dengan kedekatan hati kepada Muhammadiyah, lebih menekankan perlunya “rasionalisme” ketimbang “pemurnian”. Uraiannya tentang gerakan Wahabi di Arab Saudi — diwarnai dengan gaya bahasa yang memikat – mengandung pujian dan sekaligus kritik, tetapi dengan sikap sebagai seorang pengamat sejarah yang berjarak.
Jasa Wahabisme yang terbesar, menurut Bung Karno, adalah “kemurnian”-nya, “keaslian”-nya. Artinya Wahabisme menggerakkan umat untuk “kembali ke asal, kembali kepada Allah dan Nabi, kembali kepada Islam sebagai di zamannya Muhammad!”
Kembali kepada kemurnian, tatkala Islam belum dihinggapi kekotorannya seribu-satu takhayul dan seribu-satu bid’ah. Lemparkanlah jauh-jauh takhayul dan bid’ah itu, nyahkanlah segala barang sesuatu yang membawa kepada kemusyrikan! Murni dan asli sebagai hawa padang-pasir, begitulah Islam musti menjadi. Dan bukan murni dan asli sahaja!
Udara padang-pasir juga angker, juga kering, juga tak kenal ampun, juga membakar, juga tak kenal puisi. Tidakkah Wahabisme begitu juga. Ia pun angker, tak mau mengetahui kompromi dan rekonsiliasi. Ia pun tak kenal ampun – leher manusia ia tebang kalau leher itu memikul kepala yang otaknya penuh dengan fikiran bid’ah dan kemusyrikan dan kemaksiatan.
“Allah berdiam di dalam pedang…”, begitulah Ibnu Saud berkata…
Allah di dalam pedang! Keangkeran dan kekerasan bukit-bukit-batu padang-pasirlah yang terbayang-bayang, kalau orang mendengar perkataan Wahabisme. Padang-pasir yang juga kering…tak kenal tiupannya hawa-hawa-sejuk yang datang dari lapisan-lapisan udara negeri lain: tiap-tiap kemodernan, Wahabi curigai, tiap-tiap ajakan zaman kepada kemajuan ia terima dengan keangkuhan… [25]
Pada akhirnya, Ibnu Saud sendiri yang harus berhadapan dengan ulama-ulamanya. Tiang antene dan lampu listrik dilarang masuk ke Mekkah dan Madinah, karena hal-hal itu tak ada di zaman Nabi. Tapi zaman terus mendesakkan perubahan. Akhirnya benda-benda modern itu dihalalkan juga. “Wahabisme tahun 1940 bukanlah lagi Wahabisme tahun 1920”, tulis Bung Karno.
Dari uraian Bung Karno itu kita menemukan pandangannya: meskipun pemurnian bermula sebagai sebuah kekuatan progresif – menghalau takhayul dan bid’ah – pada perkembangannya kemudian jadi sebuah kekuatan konservatif, bahkan reaksioner. Kembali kepada “Allah dan Nabi” dapat juga berarti mengingkari “garis dinamis” sejarah. Walhasil, pemurnian bukan sebuah pilihan untuk membebaskan umat Islam dari keadaan “sebagai badan yang pingsan, mati tidak mati, hidup tidak hidup”. [26]
V
Sebab itu pilihan yang dianjurkan Bung Karno adalah “rasionalisme”. “Rasionalisme”, tulis Bung Karno, “kini diminta kembali lagi duduk di atas singgasana Islam”.
Kata “kembali lagi” di dalam kalimat itu tidak mengacu ke Qur’an dan Hadith, melainkan ke sebuah zaman ketika “pahlawan-pahlawan akal” hidup bebas. Itulah “zamannya kaum mu’tazillah”, zaman al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Baja, Ibnu Tufail, Ibnu Rushd atau zaman kekhalifatan di Baghdad abad ke-9 sampai dengan di Spanyol abad ke-12. Bung Karno tentunya tahu, di masa itulah orang-orang Islam membuka diri kepada filsafat Yunani, matematika Hindi, dan sumber-sumber keilmuan lain – dan pada gilirannya melahirkan filsafat, teori aljabar, logaritma, ilmu-ilmu kimia dan kedokteran, ilmu bumi dan tentu saja astronomi, yang kemudian dipungut dan berkembang di Eropa.
Tapi, kata Bung Karno, arus pasang pemikiran dan keilmuan itu habis. Dari bacaan yang didapat Bung Karno, penyebabnya adalah menguatnya “haluan sifatiyah” yang dipelopori Abu’l Hasan al-Ash’ari. Sejak berkembangnya Ash’arisme, dan itu berarti di abad ke-9, “akal menjadi terkutuklah di ingatan umat”. Paham inilah “pokok-pangkalnya taqlidisme di dalam Islam” dan “kependetaan” di dalam Islam.
Sejak itu, “Islam bukan lagi satu agama yang boleh difikirkan secara merdeka, tetapi menjadi monopolinya kaum faqih dan tarikat”. [27]
Kita dapat mempersoalkan konklusi Bung Karno di sini: ia tak menyertainya dengan penjelasan bagaimana sebuah “haluan” pemikiran dapat demikian berkuasa, hingga “akal, fikiran, rede, reason, dienyahkan”. Bung Karno – seorang Marxis yang menafsirkan sejarah — seharusnya tak percaya bahwa Ash’arisme dengan begitu saja telah menghentikan “rasionalisme” berkembang di dunia Islam, hingga akal “hampir seribu tahun dikungkung.” Seorang Marxis tak seharusnya percaya, satu paham, satu “haluan”, dapat menciptakan sebuah kondisi yang bertahan lama. Apalagi dalam catatan sejarah, keadaan “terkungkung” itu tak benar berlangsung “hampir seribu tahun”, dan juga tak pernah secara mutlak. Dunia Islam terus melanjutkan vitalitasnya di abad ke-12 di Spanyol, di abad ke-15 Turki Usmani meluaskan kekuasannya ke Balkan dan merebut Konstantinopel. Bahkan mengepung Wina untuk kedua kalinya di abad ke-17. Di India, raja-raja Moghul menghasilkan sastra, teater dan arsitektur yang dikagumi sampai sekarang, misalnya Tadj Mahal. Di Iran, filosof Mulla Sadra membangun Mazhab Ishfahan. Baru setelah Negara-negara Eropa menguasai samudra – termasuk menemukan Amerika — dan perdagangan antar benua mereka kuasai, bagian dunia di luar mereka, tak hanya Dunia Islam, mundur dan terpuruk.
Tapi agaknya kita harus memaklumi satu hal yang pokok: tulisan-tulisan Bung Karno tentang Islam lebih merupakan suara advokasi seorang jurubicara modernisasi ketimbang hasil sebuah telaah. Bung Karno sepenuhnya terkait dengan sebuah agenda: menumbangkan kolonialisme bersama kaum Muslimin. Tapi untuk itu kaum ini harus merupakan energi yang sesuai dengan tantangan zaman.
VI
“Islam is progress. Islam itu kemajuan”, tulis Bung Karno dalam salah satu “Surat-Surat Islam dari Endeh”, korespondensinya dengan T.A. Hasan, tokoh “Persatuan Islam” di Bandung. [28]
Dengan itu, kita tahu, Bung Karno lebih berbicara preskriptif, berbicara tentang Islam-yang-seharusnya. Pada saat yang sama, dengan semangat yang bergelora, ia cenderung untuk mengemukakan bahwa “Islam-yang-seharusnya” itu adalah hakikat Islam itu sendiri.
Dalam rumusannya tentang hakikat Islam itu Bung Karno dengan demikian menyisihkan apa yang berulang kali disebutnya sendiri tentang keadaan Islam selama berabad-abad, Islam yang hanya “abu”, berupa “Islam-mulut dan Islam-ibadat”, [29] yang tak hidup tak juga mati, Islam yang dirundung takhayul dan “taqlidisme”, [30] dihambat “hadramautisme yang jumud-maha-jumud.” [31]
Ia tak melihat Islam-sebagaimana-adanya-sekarang itu sebagai “Islam”. Bung Karno dengan segenap daya verbalnya meyakinkan adanya “Roh Islam yang sejati”, atau “api Islam”.
Tampaklah di sini ia, seorang Marxis, mengabaikan historisitas dari “Roh” dan “api” itu: Bung Karno tak pernah menjelaskan dari mana kedua hal itu terjadi, dan tidakkah keduanya hanya tafsir tentang “esensi” Islam – sebuah tafsir yang tergantung pada suatu masa, suatu tempat.
Mungkin karena Bung Karno sendiri tak pernah jelas, apa sebenarnya yang dimaksudkannya dengan “Roh” dan “api” Islam itu. Sering yang mengemuka ketika ia menyebut “Roh” itu adalah semacam tenaga yang dimatikan dari diri manusia oleh hukum yang sudah usang; dalam hal umat Islam, oleh fiqh:
“Ya, kalau dipikirkan dalam-dalam, maka kitab fiqh itulah yang seakan-akan ikut menjadi algojo ‘Roh’ dan “Semangat’ Islam. ..dunia Islam sekarang ini setengah mati, tiada Roh, tiada nyawa, tiada Api, karena umat Islam sama sekali tenggelam di dalam ‘kitab fiqh’ itu, tidak terbang seperti burung garuda di atas udara-udaranya Agama yang Hidup.” [32]
Tapi apa gerangan tenaga pembebasan itu? Tak jarang ada kesan, “Roh” atau “api” itu identik, atau terpaut dengan, “rasio”, atau “rasionalisme”. Agar tak “mendurhakai Zaman”, kata Bung Karno, “marilah kita mengangkat Rasionalisme itu menjadi kita punya bintang-petunjuk dalam mengartikan Islam”. [33]
Tiap-tiap kalimat di dalam Qur’an, tiap-tiap ucapan di dalam Hadith… haruslah kita interpretasikan (di dalam) cahayanya ruh Islam sejati ini. [34]
Namun juga berkali-kali gambarannya tentang “Roh”, “api”, atau “cahayanya ruh Islam yang sejati” itu lebih mirip sebuah elan kreatif yang merdeka á la Bergson, atau dorongan hidup untuk memperbaharui atau “me-muda-kan” diri. Bung Karno sering mengutip kata-kata Herclaitus, panta rei – semua mengalir terus menerus, arus tak pernah mengulang dirinya dua kali di titik yang sama. Dari kutipan seperti ini kita akan menduga, bahwa bagi Bung Karno, dengan elan kreatif itu, Islam menjadi sama dengan kemajuan, Islam is progress. Dan “Progress berarti pembikinan baru, creation baru – bukan mengurangi barang yang dulu, bukan mengcopy barang lama.” [35]
Tapi daya kreatif yang menghasilkan “pembikinan baru” itu bukanlah lahir dari subyektifitas manusia. Manusia hanya terbawa oleh apa yang disebutnya sebagai, dalam bahasa Inggris, “dynamical laws of progress”. [36]
Bung Karno, sebagaimana umumnya para penganjur modernisasi awal abad ke-20, berada dalam semangat yang datang dari tiga “ledakan” pemikiran Eropa abad ke-19: visi Hegel tentang progresi dari roh (Geist), desain besar Marx tentang progresi material, dan teori Darwin tentang progresi yang tersirat dalam evolusi biologis — terutama dua yang disebut pertama. Maka sebenarnya ada inkonsistensi yang patut ditelaah ketika Bung Karno jadi penganjur “rasionalisme”. Tampaknya ia melihat “rasio” atau “rasionalisme” sama dengan elan kreatif: dengan itulah manusia, dalam sejarah, melepaskan hidup dari kemandegan.
Tapi rasionalisme sebenarnya tak ada hubungannya dengan ide tentang progresi, perubahan, dan elan kreatif. Rasionalisme bertolak dari tesis bahwa akal, bukan pengalaman, yang jadi penentu kebenaran. Pengetahuan yang bisa dipercaya sebagai benar adalah pengetahuan a priori, bukan yang empiris. Jika kita ikuti argumen Bung Karno tentang kemajuan, sejarah dan perlunya perubahan tafsir bahkan hukum, tampak bahwa ia sebenarnya lebih cenderung menyambut pandangan yang mengintegrasikan empirisme dengan rasionalisme – dengan kata lain: pragmatisme.
Tapi dunia pemikiran Indonesia di tahun-tahun sebelum Perang Dunia ke-II, yang hampir sepenuhnya menggemakan pemikiran Eropa, tak melihat bahwa ketiga “ledakan” yang saya sebut di atas pada gilirannya bertaut dengan Pragmatisme. Tapi pada dasarnya, itulah yang mendasari pikiran BungKarno. Bagi Pragmatisme, progresi, yang juga perubahan, menyebabkan informasi lama tentang hal ihwal berbenturan dengan informasi baru. Pengetahuan, teori dan hukum pada akhirnya tak bisa dianggap sebagai sesuatu yang stabil. Kebenaran tak statis, dan tak bisa mutlak, dan tak bisa tunggal: satu hal yang dianggap benar memerlukan kerja terus menerus untuk bisa dibuat benar. Sebuah ide, sebab itu, merupakan “satu rencana kerja”, a plan of action.
Dengan pandangan atau sikap pragmatis itulah Bung Karno memujikan apa yang dianggapnya elastisitas hukum Islam, seraya mengutip Ameer Ali dalam The Spirit of Islam. Hukum yang ia gambarkan “seperti karet” ini membuat Islam “bisa cocok dengan semua kemajuan”, katanya. Argumen Bung Karno di bawah ini sepenuhnya artikulasi pragmatisme par excellence:
Islam tidak akan dapat hidup hampir seribu empat ratus tahun, kalau hukum-hukumnya tidak ‘seperti karet’. Islam tidak akan bisa meninggalkan suasananya abad pertama, tatkala manusia tak kenal lain kendaraan melainkan onta dan kuda, tak kenal lain senjata melainkan pedang dan panah, tak kenal lain alam melainkan alamnya padang-pasir, — kalau hukum-hukumnya tidak seperti ‘karet’. Zaman beredar, kebutuhan manusia berobah, — panta rei! – maka pengertian manusia tentang hukum-hukum itu adalah berobah pula. [37]
Sudah tentu, apa yang dikemukakan Bung Karno itu – apalagi dengan menggambarkan hukum Islam “seperti karet” — tak membuat tenteram penjaga ortodoksi. Bung Karno menyadari itu: “Bahwa orang akan menjadi ‘onar’ karena tulisan-tulisan saya”, tulisnya dalam Pandji Islam di tahun 1940, “akan ‘membuat dendeng’ kepada saya karena tidak setuju…sudah saya ketahui lebih dahulu”. Ia bersyukur ia punya “canang” yang menunjukkan “kebekuan” para ulama, bahkan “kejahatan” agama tanpa akal dan “kepincangan” agama yang semata-mata fiqih. Ia senang bahwa “canang”-nya “sudah menggoyangkan banyak sekali” jiwa-jiwa yang berpikir di Indonesia waktu itu.
Di antara jiwa yang berpikir yang tergugah, dan bereaksi, adalah Mohammad Natsir, pemikir Islam yang pernah dipuji Bung Karno dalam “Surat-Surat Islam dari Endeh”. Dalam sebuah artikel yang berjudul “Sikap Islam terhadap Kemerdekaan Berpikir” yang juga dimuat dalam Pandji Islam, menunjukkan bagaimana seorang Islam reformis menjawab “canang” Bung Karno.
Natsir tak menyangkal manfaat berpikir bebas dari tradisi. Iman bisa diperkukuh dengan berpikir merdeka. Tapi, sementara akal merdeka membuka jendela agar udara segar masuk, ada bahaya bila udara itu jadi topan yang megacau dan menggoyahkan tiang-tiang agama. “Akal-merdeka-zonder-disiplin menjadikan khaos yang centang-perenang”, tulis Natsir. Kemerdekaan yang tanpa otoritas (gezag) adalah anarki. [38]
Meskipun dikemukakan oleh seorang pemikir yang sering dikategorikan sebagai “modernis” (bahkan “liberal”, menurut buku Charles Kurzman, Liberal Islam), [39] argumen Natsir adalah argumen klasik pandangan yang konservatif: harus ada “otoritas”, posisi yang punya wibawa (gezag), karena kemerdekaan bisa mengundang kekacauan.
Tak dijelaskan, bagaimana “otoritas” itu lahir atau terbentuk di dalam sejarah: siapa atau apa saja yang membentuknya; tidakkah dengan demikian “otoritas” itu dipengaruhi ruang dan waktu, dengan segala percaturan kekuasaan dalam politik dan wacana. Dan lebih jauh lagi, tidakkah “otoritas” itu akan mengambil alih tanggungjawab orang perorang yang menafsir dan menjalankan pertintah agama? Tidakkah di sini akan terjadi apa yang dikrtitik oleh Bung Karno sebagai “ke-pendeta-an” dalam Islam?
Saya tak menemukan jawaban Bung Karno terhadap Natsir. Tapi ada satu hal yang mungkin tak akan dapat dijawabnya: kritik Natsir kepada “rasionalisme”. Menurut Natsir, orang yang percaya ia dapat memecahkan misteri dengan akalnya sebenarnya tidak lagi menggunakan akal merdekanya. Ia sudah terikat dengan “taqlidisme modern” yang bernama “rasionalisme”.
Dalam hal itu Natsir benar: “rasionalisme” tak dengan sendirinya membebaskan dan akal pada akhirnya terbatas untuk bisa memecahkan misteri. Tapi kesalahan Natsir adalah kesalahan Bung Karno juga: yang jadi dasar kritik terhadap Islam yang kehilangan “api”-nya bukanlah rasionalisme, melainkan pragmatisme.
Pragmatisme Bung Karno tentu saja tak menafikan iman – sebagaimana halnya William James, dalam Varieties of Religious Experience tak menganggap agama sebagai kesalahan. Pragmatisme itu menilai agama bukan benar atau tidak (dalam pengertian kebenaran sebagai kesesuaian yang penuh antara yang saya yakini dengan yang ada di luar saya, adequatio rei et intellectus) melainkan menilai agama dari manfaatnya bagi manusia.
Itulah sebenarnya dasar pandangan Bung Karno tentang Islam. Baginya, Islam akan terus ada bukan karena ia ditakdirkan abadi, dengan ajaran yang kekal, melainkan karena ia terus menerus bisa menjadi berharga. Dalam masa perjuangan antikolonialisme, harga itu terletak dalam perannya untuk menggerakkan manusia, terutama orang banyak, untuk menumbangkan apa yang tak adil. Dalam abad modern, harga itu terletak dalam kemampuannya jadi bagian zaman yang bergerak.
Salihara, 3 September 2010.

Catatan Kaki
1. Ibid., hal. 21.
2. Sukarno, An Autobiography as told to Cindy Adams, (selanjutnya: Autobiography), New York: The Bobbs Merryl Company Inc. 1965), hal. 23.
3. Lihat website The Theosophical Society International Headquarters, Adyar: http://www.ts- adyar.or/
4. Ann Laura Stoler, Carnal, Knowledge and Imperial Power: Race and the Intimate Colonial Rule, (University of California Press, Berkely Los Angeles, London: 2002), hal. 207.
5. Bahan terbaik tentang theosofi di Indonesia saya dapatkan dalam website “Biar Sejarah Bicara”, http://serbasejarah.wordpress.com/2010/07/29 politik-kebijaksanaan-dewata. Juga dari http://www.stelling.nl/simpos/poldieng.htm, “The Politics of Divine Wisdom” (Theosophy in Asia: summary (selanjutnya: Wisdom].
6. Di Bawah Bendera Revolusi (selanjutnya disebut “DBR”), hal. 42.
7. Lih. Wisdom.
8. Ibid.
9. H. Agus Salim, dalam mengenang Tjokroaminoto, mengatakan, pada mulanya pergerakan Sarekat Islam “tidak membeda-bedakan antara rakhyat yang beragama Islam dengan yang beragama lain-lain…[ini] tidak bersifat atau bersemangat pergerakan agama, melainkan semata-mata bersifat atau bersemangat kerakyatan…kaum kromo, yang dibedakan daripada kaum pertuanan (bangsa Eropa) dan kaum ningrat (bangsa priyayi) yang menjadi tulang punggung kekuasaan penjajahan”. Dikutip M. Dawam Rahardjo, Intelektual Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa, [selanjutnya: Dawam] Penerbit Mizan (Jakarta: 1993), hal. 238-39. Buku ini sebuah khasanah yang berharga untuk mengetahui sejarah pergerakan Islam di awal abad ke-20.
10. Autobiography, hal. 40.
11. Dawam Rahardjo, hal. 218.
12. Ibid., hal. 235.
13. Ibid., hal. 244.
14. Dahm, Bernhard, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, (selanjutnya: Dahm) LP3ES, (Jakarta: 1987), hal. viii, juga 237.
15. DBR, hal. 621-22.
16. Ibid. 618.
17. Ibid. hal. 476: “Saya percaya, saya yakin, bahwa perikemanusiaan akan selalu maju, selalu naik, selalu bertambah sedar. Bahwa perikemanusiaan itu satu-satu kali jatuh, atau beberapa kali jatuh, itu tidaklah saya anggap sebagai berhentinya sejarah.”
18. Ibid., 345, 346.
19. Ibid., hal. 389
20. Dardiri Husni, Jong Islamiten Bond: a study of a Muslim youth movement in Indonesia during the Dutch Colonial era 1924 – 1942, a thesis submitted to the Faculty of Graduate Studies and Research, Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada, 1998, p. 54 (cacatan kaki).
21. Dalam kesempatan ini saya akan membatasi diri pada pandangan Bung Karno sebelum kemerdekaan – persisnya ketika ia, sebagai seorang inteligensia yang bebas, dan aktivis politik, bergulat dan harus merespons masalah-masalah pemikiran mengenai masa depan Indonesia. Pandangan ini akan terus membayang dalam pidato-pidatonya tentang Islam setelah kemerdekaan. Lihat Bung Karno, Islam, Pancasila, NKRI, (editor: Iman Toto K. Rahardjo dan Suko Sudarso), Jakarta: Komunitas Nasionalis Religius, 2006.
22. DBR., hal.10.
23. Ibid., hal. 10-11
24. Ibid., hal. 8.
25. Ibid., hal. 390.
26. Ibid., hal. 396.
27. Ibid., hal. 385.
28. Ibid., hal. 340.
29. Ibid., hal. 340.
30. Ibid., hal. 337.
31. Ibid., hal. 341.
32. Ibid., hal. 348.
33. Ibid., hal. 398-399
34. Ibid., 400.
35. Ibid., 340.
36. Ibid., 341. Dahm, yang mengangap filsafat Bung Karno tentang kemajuan “merupakan suatu percampuran yang aneh anara dinamika sosial dan konformitas kepada hukum-hukum sejarah” luput untuk tak melihat bahwa ke-“aneh”-an itu bermula dalam Hegel. Dahm, hal. 225.
37. DBR, hal. 375. Dahm menunjukkan bahwa ada yang tak tepat dalam kutipan Bung Karno atas teks The Spirit of Islam. Ameer Ali tak menyebut elastisitas hukum Islam pada umumnya; ia hanya bicara soal poligami dalam Islam. Lih. Dahm, hal. 232-33. Catatan kaki.
38. Dikutip dalam Dahm, hal. 235-36.
39. Charles Kurzman (ed.) Liberal Islam: a source book, (New York, N.Y.: Oxford University Press, 1998), hal. 59-66.

Tidak ada komentar:

Laman