Selasa, 16 Maret 2010

REVOLUSI BUDAYA KERJA DI TARUNA BAKTI


Setiap tempat kerja memiliki karakternya masing-masing sehingga melahirkan, membangun dan mengembangkan sebuah budaya kerja yang berbeda satu sama lain.  Ketika manusia hidup dalam kelompok dan hidup bersama, bekerja menjadi bukti aktualisasi diri dalam berperan dikelompoknya. 


SELINTAS TENTANG SEJARAH KERJA
Kerja menjadi ajang pembuktian diri dalam menempatkan dirinya dalam komunitas.  Setiap anggota kelompok memposisikan dirinya sedemikian rupa untuk mendapatkan pengakuan dari anggota lainnya.  Dan yang pasti, semua anggota pasti memiliki perannya masing-masing.  Kerja adalah aktualisasi diri.  Jangan heran bila sampai saat ini, di Kerajaan Yogyakarta masih ada orang yang mau menjadi abdi dalem mengabdi kepada raja walau hanya dibayar belasan ribu sebulan.
Namun sejarah terus berputar dan budaya kerja mengalami perubahan dari masa kemasa.  Mulai dari bentuk perbudakan, penjajahan, kapitalisme dan globalisasi seperti saat ini, budaya kerja pun mengalami pergeseran bentuk dan nama.  Budaya kerja atas dasar kesadaran berubah menjadi atas dasar keterpaksaan, penghambaan, sekedar bertahan hidup, menjadi pekerja dan robot industri kemudian sampai pada munculnya kesadaran akan pentingnya memanusiakan manusia melalui dunia kerja mulai tumbuh.
Sekarang, dengan alasan efektifitas dan efisiensi, integritas dan loyalitas, kendali mutu dan kualitas kerja, manusia terjebak dalam sebuah penindasan baru.  Sekarang penindasan tidak lagi lahir dari faktor eksternal pekerja namun juga lahir dari ambisi pribadi.  Bekerja berubah menjadi sarana untuk merebut dan menguasai semua karena setiap individu diberi kebebasan untuk mengembangkan kemampuan dirinya semaksimal mungkin. Dan tidak jarang segala cara dihalalkan untuk mencapai tujuan pribadi.
Budaya kompetitif menjadi bagian dari dunia kerja.  Target dan sistem menjadi acuan keberhasilan dalam bekerja.  Berbagai aturan baku dan kaku merubah manusia menjadi mesin-mesin produksi yang sudah di-setting sejak bangun tidur sampai tidur kembali.  Produktivitas menjadi tolak ukur hubungan manusia dengan pekerjaannya.
Hubungan kemanusiaan menjadi rigid, kering dan hambar.  Struktur organisasi menjadi gambaran hubungan kemanusiaan yang terpisah dan terpilah dalam status dan kasta modern yang memasung kembali nilai-nilai kemanusiaan dalam dunia kerja.  Jangan harap ada ungkapan dan obrolan yang dilandasi kejujuran ketika budaya kerja dibalut oleh saling mencurigai satu sama lain.  Jangan berharap ada sapaan tulus dipagi hari ketika yang ada dalam benak semua pekerja adalah ambisi dan kerakusan yang diselubungi oleh ketakutan akan tercerabutnya posisi dan prestise dari dirinya.  Jangan bermimpi untuk mendapatkan hubungan kemanusiaan ketika suasana kerja dipisah oleh status dan posisi kaku yang tergambar dalam organigram.

Demikian pula pada tataran dunia sekolah, khususnya SMP Taruna Bakti tidak lepas dari pengaruh budaya kerja yang terbangun dalam setiap sendi sebagai sebuah organisasi.  Sekolah sebagai sebuah institusi yang terjalin dalam hubungan kerja dan personal sangat penting untuk memperhatikan budaya kerja yang terbangun sehingga pada akhirnya akan menentukan tingkat keberhasilannya dalam memberikan layanan jasa pendidikan kepada masyarakat.
Sekolah bukan lembaga imun dari pengaruh perkembangan ilmu manajemen dan organisasi, termasuk budaya kerja itu sendiri.  Ketidakpedulian semua pihak akan pentingnya membangun budaya kerja yang baik akan berdampak langsung kepada suasana kerja, pencapaian target dan kualitas layanan itu sendiri dan pada akhirnya akan menentukan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap layanan yang diberikan.

REVOLUSI BUDAYA KERJA DI SMP TARUNA BAKTI
Kini banyak perusahaan merombak total budaya kerja yang menenggelamkan nilai-nilai kemanusiaan menjadi budaya yang penuh dengan nilai-nilai penghargaan terhadap manusia.  Pemilahan antara hubungan kerja dan hubungan kemanusiaan kemudian ditata ulang.  Kewibawaan seorang atasan tidak akan berkurang bila dirinya melakukan hubungan dengan bawahannya secara langsung.  Loyalitas dan integritas tidak lagi dibangun dalam bentuk perintah dan pemaksaan, namun dibangun atas dasar kesadaran.  Dan semua harus disadarkan bahwa hakekatnya, pemanusiaan nilai dalam budaya kerja tidak saja mengembalikan hakekat kemanusiaan, namun juga berdampak langsung pada tingkat produktifitas, loyalitas dan integritas.
Budaya kerja adalah sekelompok pikiran atau program mental yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi kerja dan kerjasama manusia yang dimiliki oleh suatu golongan masyarakat. (Budi paramita, Masalah Keserasian Budaya dan Manajemen di Indonesia. 1989).  Dimana budaya kerja akan berhubungan dengan kesukaan akan kerja dibandingkan kegiatan lainnya atau semata-mata bekerja hanya untuk sekedar menjalankan kewajiban dan terpaksa untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup.
Pikiran dan program mental seseorang dalam bekerja akan mempengaruhi dirinya dalam memperlakukan diri dan pekerjaannya sedemikian rupa sehingga pada akhirnya akan menentukan integritas dan loyalitasnya pada pekerjaan tersebut.  Kemudian pikiran dan program mental itu akan tergambarkan dalam kinerja yang dihasilkan dan diperlihatkan.  Budaya setiap pribadi akan menjadi terakumulasi menjadi sebuah budaya kerja dalam institusi. 
Bila sebuah institusi, dasar terbangunnya budaya kerja atas dasar rasa takut, paksaan dan ketidaknyamanan atau ketidakamanan maka budaya kerja di institusi tersebut akan dilandasi oleh rasa saling curiga, dipenuhi desas desus, intrik dan polemik.  Namun bila budaya kerja dibangun atas dasar hubungan kemanusiaan, sistem yang kuat, jelas, cepat dan pasti maka budaya yang dibangun akan dilandasi oleh saling rasa percaya, rasa nyaman dan aman serta dilandasi kesadaran untuk mencintai pekerjaannya sebagai pengabdiannya kepada kemanusiaan dan ketuhanan.
Demikian juga di SMP Taruna Bakti, perlu dibangunnya sebuah budaya kerja yang dilandasi oleh kesadaran dari semua pihak yang terlibat didalamnya.  Sebuah kesadaran akan hakekat diri, pekerjaan dan hubungan kemanusiaan didalamnya untuk melahirkan sebuah komunitas kerja yang saling mendukung, menghormati dan menghargai setiap pekerjaan yang dilakukan. 
Kesadaran ini penting sebagai upaya menangkal adanya kerapuhan dan kebobrokan sistem karena tidak adanya kesadaran penuh dari elemen unit SMP untuk bisa menjalin sebuah hubungan kerja yang jujur, transparan dan bertanggung jawab.
Untuk itu tidak cukup hanya dengan sebuah evolusi atau menyerahkan segalanya kepada nasib.  “Mengalir seperti air” tidak lagi layak menjadi pedoman dari sebuah institusi besar seperti SMP Taruna Bakti.  Sekarang, sudah waktunya untuk “Berenang melawan arus air yang keruh dan kotor karena semakin ke hulu, air semakin bersih dan jernih!”.  Evolusi dan menunggu kesadaran dari setiap orang yang terlibat, akan sangat membutuhkan waktu yang sangat lama, sementara tantangan dan rintangan akan semakin besar dan sulit.
Sekarang kita harus melakukan sebuah revolusi kesadaran budaya kerja!!!

TEORI X DAN Y
Dalam ilmu manajemen kita mengenal adanya teori yang disebut dengan teori X dan Y.  teori ini berbicara tentang tipe-tipe manusia sebagai unsur penting dalam sebuah organisasi.  Teori X menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang selalu ingin menegakkan kebenaran, berbuat baik, loyal, setia, rajin, berprestasi dan mencurahkan kemampuannya untuk memberikan yang terbaik dalam hidupnya. Sementara teori Y menyatakan bahwa, manusia juga cenderung bisa menjadi makhluk yang egois, agresif, serakah, tidak setia, malas, pendendam dan cenderung tidak menyukai keberhasilan orang lain.
Kecenderungan mana yang dominan dalam pribadi setiap individu yang terlibat dalam sebuah institusi akan berdampak pada budaya kerja yang terbangun didalamnnya.  Kita bisa membayangkan budaya kerja yang terbangun bila manusia yang terlibat adalah tipe-tipe Y dan budaya seperti apa yang akan terbangun bila manusia yang terlibat adalah tipe X.
Manajemen harus bisa mengakomodasi dan mengantisipasi kedua jenis tipe manusia tersebut.  Manusia bisa berubah dari tipe X menjadi tipe Y dan begitu juga sebaliknya.  Sistem dan manajemen harus mampu memelihara manusia-manusia tipe X dengan memberikan reward yang pantas sebagai bentuk kepedulian dan penghargaan, sementara punishment harus mampu mengatasi perilaku manusia tipe Y dan segera merubah diri menjadi lebih baik.  Bila sistem yang dibangun tidak mampu menjaga tipe X dan justru memelihara manusia tipe Y, maka kehancuran tinggal menunggu waktu.
Pada hakekatnya, reward adalah bentuk penghargaan dari institusi kepada setiap individu yang mampu menjaga dirinya untuk tetap mengabdi dengan segala kebaikannya.  Banyak pihak yang lupa untuk menghargai kebaikan namun justru lebih memfokuskan dirinya untuk memperbesar dan mencari-cari kesalahannya. 
Reward juga tidak selalu dalam bentuk materi-atau lebih kasar, uang- namun juga dalam bentuk perhatian, ucapan, tepukan, salam, dan sekedar ucapan terima kasih.  Manusia adalah makhluk yang diberikan Tuhan sebuah atribut harga diri, dan bila harga diri disentuh dengan nuansa kemanusiaan maka akan melahirkan sebuah energi positif pada dirinya.
Sudah tidak menjadi model lagi, kita mengharapkan kesadaran loyalitas dan integritas hanya dari “kesadaran” semata.  Menunggu setiap individu untuk sadar dan berubah atas landasan agama, budaya atau etika semata hanya akan membuat sistem tidak mampu berjalan.  Karena pada hakekatnya, manusia sendiri memiliki interpretasi, sudut pandang dan paradigma yang berbeda dalam memandang sebuah loyalitas, integritas dan tanggung jawab.  Hal tersebut dilatarbelakangi oleh banyak faktor, seperti budaya, keagamaan, keluarga dan pola didik dimasa lampau.
Sudah saatnya SMP Taruna Bakti membangun sebuah sistem untuk memberikan reward yang tepat, cepat dan pantas kepada semua pihak yang terlibat didalam organisasi ini untuk tetap menjaga segala sesuatu yang positif.  Jangan memandang reward sebagai sebuah pemborosan, pemanjaan dan sebuah hal yang sia-sia!  Ini adalah sebuah budaya positif yang bisa berdampak langsung dalam pembentukan karakter manusia yang bekerja.
Bila setiap individu mulai menyadari bahwa kelebihan dan kebaikannya selama ini diapresiasi dengan baik, maka tidak mustahil justru akan melahirkan energi yang berlipat dalam menjalankan pekerjaannya.
Punishment adalah sebuah “penghargaan” atas sebuah sifat dasar manusia yang juga tidak luput dari alpa, lupa dan khilaf.  Sebuah punisment yang dilandasi rasa hormat dan tegas akan melahirkan sebuah budaya yang akan memperkecil kesalahan dan kealpaan tersebut dan tidak menjadikan kealpaan sebagai pembenaran atas kesalahan yang diperbuatnya.
Reward dan punisment adalah dua sisi mata uang yang melekat pada sebuah manajemen dan organisasi sebagai bentuk layanan dan akomodasi atas dua sisi sifat manusia itu sendiri.  Kesalahan dalam menentukan dan menjalankan kedua hal tersebut akan sangat berpengaruh pada budaya kerja yang terbangun.

ETIKA KERJA
Berbicara tentang kesadaran bekerja tidak bisa lepas dari etika kerja.  Kesadaran etik merupakan sebuah pengalaman mental yang terjadi dalam diri seseorang tatkala dihadapkan pada berbagai pilihan, kebebasan bertindak dan tanggung jawab dari setiap keputusan yang diambil.
Etika berbicara tentang baik dan buruk, kondisi ideal dan kenyataan.  Tidak berbicara masalah fakta yang terjadi karena apa yang terjadi tidak selamanya baik.  Dan yang baik belum tentu menjadi sebuah fakta yang dijalankan.
Kerja adalah rahmat, aku bekerja tulus penuh syukur.
Kerja adalah amanah, aku bekerja benar penuh tanggung jawab.
Kerja adalah panggilan, aku bekerja tuntas penuh integritas.
Kerja adalah aktualisasi, aku bekerja penuh semangat.
Kerja adalah ibadah, aku bekerja serius penuh kecintaan.
Kerja adalah seni, aku bekerja kreatif penuh sukacita.
Kerja adalah kehormatan, aku bekerja tekun penuh keunggulan.
Kerja adalah suci, aku bekerja sempurna penuh kerendahan hati.

PRINSIP KERJA
Adalah pedoman, anggapan dasar, kepercayaan dasar yang terbentuk melalui pengalaman dan mengendap sebagai sebuah pendirian dan anggapan.  Prinsip kerja yang dibangun oleh setiap orang menjadi berbeda satu sama lain.
Perbedaan ini akan membuat orang berperilaku berbeda, namun selama hal itu tidak menyimpang dari visi dan misi institusi.  Beberapa prinsip atau pendirian tentang kerja adalah:
Kerja adalah hukuman
Kerja adalah pengabdian kepada kekuasaan
Kerja adalah beban
Kerja kewajiban
Kerja dalah sumber penghasilan
Kerja adalah kesenangan
Kerja adalah status
Kerja adalah gengsi
Kerja adalah harga diri
Kerja adalah aktualisasi diri
Kerja adalah panggilan jiwa
Kerja adalah hakkerja adalah hidup
Kerja adalah individu
Kerja adalah suci
Prinsip kerja yang dipegang oleh seseorang akan berdampak pada pola laku semua unsur pelaku di SMP Taruna Bakti.  Dan penulis yakin bahwa semua orang sadar prinsip kerja mana yang mendominasi dirinya selama bekerja di SMP Taruna Bakti.
Semua pihak tentunya harus mulai melakukan introspeksi dan evaluasi diri untuk kembali menata hampir semua pola laku saat kerja.  Prinsip kerja yang salah akan berdampak pada suasana hati, diri dan lingkungan dimana dia bekerja.
Bisa jadi, orang yang menganggap kerja adalah beban dan sekedar kewajiban akan membawa suasana lingkungan kerja menjadi sangat berat dan dipenuhi keluh kesah.  Ketidakpuasan akan sering terlontar dan menjadi menu makanan sehari-hari di ruang kerja.  Berbagai kebijakan dan program kerja akan dipandang sebagai sebuah beban dan tanggung jawab yang membuat mereka berat menjalani hari-hari kerjanya.
Yang paling parah adalah ketika suasana dan kondisi tersebut kemudian menjadi “virus” yang menular kepada rekan kerja satu persatu.  Jangan abaikan kemungkinan energi negatif yang awalnya hanya dialami satu orang kemudian menyebar ke semua orang yang ada di lingkunganya berada.  Sebuah keluhan yang terlontar dipagi hari bisa menjadi polusi dan pencemar bagi terciptanya suasana yang seharusnya diliputi semangat dalam bekera.

KEPEMIMPINAN ATAU SISTEM ?
Setiap budaya memerlukan dua hal penting bagi perkembangan dan pertumbuhannya.  Kedua faktor itu adalah sistem yang kuat dan kepemimpinan yang kharismatis.  Sistem yang kuat akan mampu menahan bendungan perilaku dan energi negatif yang menjadi “virus” dalam lingkungan kerja.  Sistem yang kuat tidak hanya akan mampu mengidentifikasi setiap tingkah yang menyimpang dari aturan dan visi misi sebuah organisasi atau institusi namun juga bisa memberi apresiasi positif kepada semua orang yang mampu menunjukkan prestasi dan dedikasi yang tinggi.
Sistem yang kuat adalah sistem yang telah teruji oleh waktu dalam mengakomodasi berbagai kepentingan, pergulatan pemikiran dan permasalahan yang terjadi.  Sistem yang kuat adalah sistem yang juga fleksibel dan mampu menyesuaikan dirinya dengan jaman yang berkembang. 
Sementara kepemimpinan menjadi sangat penting ketika sistem harus berhadapan dengan kelompok, orang dan kepentingan yang lebih besar dari pada sistem itu sendiri.  Sering sekali dalam sebuah organisasi kita temui orang atau kelompok yang memiliki kepentingan sendiri untuk merusak, menganggu atau merubah sistem yang ada.  Hal ini tentunya berhubungan dengan jenis dan tingkat kepentingan dari setiap individu dan kelompok yang ada dalam sebuah sistem.  Begitu juga ketika terjadi konflik internal antar anggota organisasi, kepemimpinan sangat memegang peranan penting dalam meredam dampak negatif dari perselisihan tersebut.
Ketika orang atau kelompok tersebut mencoba untuk mencabik sistem yang ada maka kepemimpinan menjadi sangat penting.  Kemampuan seorang pemimpin dalam melakukan komunikasi, problem solving, human relationship dan tegas akan mampu meredam semua hal tersebut dengan elegan dan rapi.  Begitu juga ketika ada konflik, kepemimpinan yang lugas dan tegas akan mampu menjadi komunikator dan mediator dalam penyelesaian masalah yang ada.
Kepemimpinan berbeda dengan kultus.  Kultus menyentuh hal-hal yang bersifat irasional sementara kepemimpinan selalu berlandaskan pada fakta, bukti dan hal-hal rasional.  Kepemimpinan harus memiliki sifat-sifat alam seperti yang ada pada kitab suci, seperti awan yang menaungi, matahri yang menerangi, bulan yang meneduhkan, bumi yang sabar dan lautan yang luas wawasan dan pikiran.
Kepemimpinan adalah anugrah.  Tidak semua ketua dan kepala adalah pemimpin.  Karena kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain dalam usaha mencapai tujuannya.  Tidak mustahil justru pemimpin datang bukan dari seorang ketua atau kepala namun justru datang dari orang yang justru tidak memiliki jabatan dan kedudukan apapun.
Kedua hal tadi merupakan dua hal yang penting bagi terciptanya budaya kerja yang sesuai dengan harapan bersama.  Ini semua harus dikoreksi, evaluasi dan perbaikan yang terus menerus untuk menghindari adanya kemandegan dalam tubuh organisasi.
Suatu sistem yang kuat seharusnya mampu melahirkan suatu kepemimpinan yang kuat pula, dari mulai karakter maupun kemampuan memimpinnya.  Suatu sistem tidak akan kuat selama proses kepemimpinannya tidak mampu menumbuhkan sebuah proses regenerasi baik.  Sistem yang mengukuhkan sebuah rezim akan cenderung menutup kesempatan kepada semua pihak yang memiliki kemampuan memimpin untuk mucul menjadi pengambil dan pembuat keputusan.
Begitu juga sebaliknya, apabila ketua atau kepala suatu organisasi tidak memiliki karakter dan jiwa kepemimpinan yang kuat, maka sistem sehebat apapun akan menjadi mandul karena ketidakberdayaannya menegakkan sistem secara benar.
Jadi bila ingin melihat suatu organisasi apakah akan mampu menghadapi tentangan masa depan, lihatlah kemampuan sistem dalam menyeleksi kepemimpinannya atau kemampuan pemimpin dalam menjalankan dan menegakkan sistem yang menjadi acuannya.  Bila salah satu faktor tadi hilang atau buruk, maka organisasi atau institusi tersebut akan menjadi sebuah organisasi yang tidak akan mampu bertahan dalam era penuh persaingan dan tantangan ini.


2 komentar:

Henmath Sains mengatakan...

Mohon izin gan tuk copy tulisan ini

abah_blues mengatakan...

kudu diprintout dibacakeun pas rapat semua/lokakarya...teu kudu ngundang pembicara, tapi semua instrumen di dalam berbicara, untuk evaluasi diri...

Laman