Rabu, 16 Desember 2009

PERAN KELUARGA BISA MENCEGAH BUNUH DIRI


Dalam hitungan bulan, telah terjadi lima kali kasus bunuh diri.  Selain kejadian yang beruntun, hal menarik perhatian lainnya adalah tempat yang dijadikan tempat untuk bunuh diri tersebut.  Semua peristiwa bunuh diri terjadi di tempat-tempat umum sehingga menarik perhatian banyak orang.  Mengapa seseorang melakukan bunuh diri?  Dan mengapa mereka memilih tempat umum untuk dijadikan tempat untuk bunuh diri?  Lantas apa yang salah dengan masyarakat Indonesia saat ini sehingga begitu banyak kejadian yang menjurus atau tindakan nyata untuk mengakhiri hidupnya secara paksa.
Membahas motivasi seseorang melakukan bunuh diri mungkin bisa dilakukan oleh pakar melalui berbagai peristiwa, tindakan atau ucapan dari pelaku beberapa saat sebelum dia melakukan aksi bunuh diri, namun yang jelas semua itu bukanlah masalah utama ketika kita membicarakan fenomena bunuh diri ini.  Namun yang paling penting untuk dibahas dan dicarikan solusinya adalah masalah daya tahan mental seseorang dalam menyikapi setiap problematika yang dihadapinya.  Banyaknya kasus bunuh diri di masyarakat kita saat ini menunjukkan kemampuan daya tahan mental masyarakat kita sangat rendah dan rentan terhadap goncangan hidup.
Orang yang memiliki daya tahan mental akan sangat memiliki ruang yang luas dalam dirinya untuk menahan goncangan dan benturan dalam hidupnya.  Misalnya dalam kasus kehilangan orang yang dikasihi, orang yang memiliki daya tahan mental memiliki kemampuan untuk berdialog dengan diri, perasaan dan akalnya dalam upayanya menanggapi masalah tersebut secara jernih untuk kemudian melakukan pembenahan diri untuk menerima peristiwa tersebut dan memandang semua itu bukan akhir dari segalanya.sementara bagi orang yang memiliki ketahanan mental yang rendah maka akan memandang masalah kehilangan orang yang dikasihi sebagai sesuatu akhir dari kehidupannya sehingga hal ini membuat dirinya diliputi kegelisahan dan putus asa.
Pertanyaan dasarnya adalah mengapa daya tahan mental seseorang bisa berbeda satu sama lain?  Apa yang menyebabkan seseorang menjadi sangat lemah dalam menghadapi masalah yang dihadapinya sementara dilain pihak masih ada orang yang mengalami berbagai masalah namun tetap bisa berpikir jernih dalam menghadapi masalah dan sekaligus mencari solusi dari masalah tersebut.  Dan sejauh mana peran keluarga atau sekolah dalam maraknya fenomena bunuh diri?  Apakah bunuh diri merupakan kesalahan mutlak dari pelaku atau justru keluarga dan institusi lainnya seperti sekolah juga memberikan kontribusi yang signifikan dalam fenomena ini?  dan bagaimana menyikapi hal tersebut?
FUNGSI DAN PERAN KELUARGA
Membicarakan fungsi keluarga terkesan klise.  Hampir semua bentuk pentimpangan social senantiasa dikembalikan pada peran dan fungsi keluarga.  Keluarga merupakan lingkungan social terkecil dan pertama yang dikenal oleh seseorang sehingga wajar bila kemudian keluarga ditempatkan pada posisi penting dalam membangun dan menumbuhkan kecerdasan social seseorang dikemudian hari.  Di dalam keluarga, seseorang diperkenalkan dengan berbagai keterampilan social melalui interaksinya dengan kedua orang tuanya.  Ketika seorang anak melihat orang tua, -misalnya ibu- yang terus mengeluh dan mengeluarkan sumpah serampah ketika menemui kesulitan dan masalah, maka anak akan menyerap itu sebagai respon pertama yang harus dilakukan ketika dia menemukan masalah.  Atau pada saat seorang ayah yang turun dari mobil lalu memukul seorang pengendara motor yang menghalangi jalan kendaraannya, akan menjadi modal awal bagi si anak ketika mereka menghadapi masalah yang serupa.
Orang tua merupakan figure sentral yang menjadi panutan dan suri teladan bagi anak-anaknya serta merupakan pendidik yang utama.  Keluarga memiliki fungsi selain reproduksi, ekonomi  namun juga fungsi pendidikan, sosialisasi dan afeksi.  Namun karena pergeseran social budaya yang semakin cepat berkembang telah membuat adanya pergeseran fungsi keluarga dimana orang tua gamang dalam menentukan skala prioritas. 
Dinamika yang dihadapi oleh orang tua dalam kehidupannya, telah merubah orientasi prioritas mereka dalam kehidupan keluarga dari masalah afeksi ke masalah ekonomi.  Misalnya, ketika pagi hari dimana seorang bapak harus segera bekerja karena ada pertemuan penting yang harus dihadiri dan pada saat yang bersamaan sang anak meminta waktu ayahnya untuk mendengarkan keluhannya tentang masalah yang ditemui di sekolah, mana yang akan didahulukan oleh seorang bapak?  Ini bukan pertanyaan provokatif, tapi hanya sedikit menyentuh esensi dari makna sebuah keluarga.  Bagaimana mungkin seorang anak akan bisa menemukan kehangatan keluarga ketika didalam keluarga tersebut, mereka merasa tidak dijadikan prioritas utama bagi orang tuanya.  Maka tidak mustahil kemudian anak akan sulit untuk belajar untuk mengenali perasaan dan emosinya.  Mereka akan sulit memisahkan antara rasa dan logika dalam menyelesaikan masalah karena keterampilan itu bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk dipahami oleh mereka.
Hal kedua yang bisa dikembangkan oleh keluarga adalah membangun kondisi dan suasana yang membuat anak yakin bahwa sekeras dan sehebat apapun masalah yang mereka temui diluar sana, keluarga adalah pelabuhan dan tempat terakhir yang paling nyaman dan aman di dunia ini.  Membangun kondisi dan suasana yang hangat dan akrab tidak selalu dalam arti mengikuti kehendak anak, namun tetap melatih mereka untuk mengenali perasaan, emosi dan rasanya melalui penjelasan, dialog dan penegakkan aturan dengan metode terbaik yaitu pemberian contoh.  Saat ini, figure dan peran orang tua sudah mulai diganti oleh pembantu, sopir atau guru, padahal seyogyanya, dalam penanaman nilai dan etika, peran orang tua sangat penting dalam awal pembentukan karakter anak.
Ketika fungsi afeksi diutamakan dalam sebuah keluarga, maka kecenderungan penyimpangan tingkah laku akan lebih mudah terdekteksi oleh anggota lainnya.  Kasih sayang akan menjalin sebuah hubungan emosi yang kuat antar pelaku sehingga setiap masalah yang dihadapi akan terasa lebih ringan.  Anak memiliki kebutuhan untuk diakui keberadaannya dalam sebuah keluarga berapapun usia anak tersebut.  Pengakuan akan eksistensi mereka harus diwujudkan dalam bentuk perhatian penuh, bukan perhatian dari sisa-sisa waktu kedua orang tua atau anggota keluarga lainnya.
Bunuh diri bukanlah sebuah sikap yang dilakukan secara spontan.  Beberapa ahli telah mengidentifikasi beberapa ciri sikap dari orang yang akan melakukan bunuh diri, diantaranya sering mengatakan bunuh diri, sering memikirkan dan membicarakan tentang kematian, berkeluh kesah tentang dirinya yang kesepian, sering mengatakan “mungkin semua akan menjadi lebih baik seandainya saya tidak ada”, depresi, kehilangan hasrat untuk melakukan hal-hal biasa, sering mengucapkan selamat tinggal, sering mencari dan membicarakan cara-cara bunuh diri.  Bila sebuah keluarga berfungsi dengan baik dan mengembangkan sikap saling terbuka satu sama lain maka berbagai ciri atau kecenderungan diatas sudah mudah diantisipasi dan keluarga dapat melakukan berbagai tindakan yang bisa dilakukan untuk mengatasinya.
Terlepas dari fungsi keluarga diatas, keluarga juga memiliki peran dalam mencegah tindakan bunuh diri dengan memberikan perhatian khusus kepada anggota keluarga yang berkecenderungan melakukan tindakan bunuh diri.  Sering terjadi orang tua dan anggota keluarga sudah tidak perlu lagi ikut campur dalam urusan pribadi masing-masing anggota keluarga ketika mereka telah dewasa.  Padahal ikatan keluarga khususnya keluarga inti atau batih tidak berhenti pada satu fase atau usia tertentu.  Ikatan emosional keluarga sangat menentukan kemampuan anak dalam bertindak.  Tidak sedikit seorang anak berpikir beberapa kali untuk melakukan tindakan yang menyimpang dengan alasan tidak mau merusak nama baik keluarga dan ini merupakan harta yang paling berharga dan cara paling efektif untuk meminimalisir terjadinya kenakalan remaja. 
Bila fungsi ini telah hilang, maka tidak mustahil bila seorang anak justru melakukan penyimpangan social (social deviant) justru dengan kesadaran untuk merusak nama keluarga.  Tidak jarang keluarga justru menjadi factor penyebab utama seseorang melakukan tindakan penyimpangan seperti bunuh diri.  Kekerasan, pelecehan dan pengabaian sering menjadi alasan bagi seorang anggota keluarga untuk membenarkan tindakannya yang menyimpang. 
Oleh karena itu, bukanlah hal yang basi bila kita terus mengingatkan kepada semua pihak untuk kembali menata fungsi dan peran keluarga dalam mengatasi berbagai hal penyimpangan social yang terjadi di masyarakat.  Keluarga sebagai sebuah ikatan bukan hanya karena landasan ekonomi dan emosi, namun juga religi.  Alasan ibadah dan landasan agama bukanlah sebuah tindakan alakadarnya dan tanpa ilmu, sehingga tidak ada alasan karena kesibukan, privacy atau demokrasi lalu merasa tidak perlu lagi menata kembali peran orang tua dalam memberikan tata nilai dan kepribadian kepada anak-anak.
Semoga tidak ada lagi kasus bunuh diri dengan alasan apapun dan dimanapun tempatnya.

Bandung, Desember 2009
Imam Wibawa Mukti,S.Pd

Tidak ada komentar:

Laman