Rabu, 02 Desember 2009

KETIKA ISTERIKU MENIKAH LAGI


“Apa…….??????”
Serasa dirinya disambar truck tronton yang langsung menghantam tubuhku dan menghempaskan seluruh puing-puing tubuhnya jauh kedasar bumi paling dalam.
Dilihatnya sesosok wanita dihadapannya itu. Seraut wajah dingin namun cantik tengah menatap diriku dengan tajam. Seulas senyum tersungging dibibirnya dan aku sangat sulit menterjemahkannya saat ini.
Isteriku ingin menikah lagi?
“Ga usah berlebihan gitu deh pa…kan saya mencoba jujur sama papa. Mama ngga bisa bohongi papa tentang perasaan mama”
Aku tetap dalam posisiku. Bersandar ke tembok dengan posisi lutut tertekuk dan tertahan kedua telapak tangan. Kepalaku tertunduk dan menatap tajam seekor semut yang sedang berkeliling mengitari jempol kakiku. Aku berusaha menekan perasaanku yang tengah galau.
“Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?” pikirku. Baru saja kemarin aku mengambil keputusan untuk mengatakan hal yang sama kepada isteriku. Aku akan meminta ijinnya untuk menikahi teman SMA-ku dulu yang sekarang telah menjadi janda dengan satu orang anak.
Dan sekarang aku layaknya seorang prajurit yang kalah sebelum berperang. Segudang alasan yang sudah aku rancang dan aku persiapkan menjadi buyar.
“Mama bukan ngga sayang lagi ama papa. Mama kasihan melihat papa selama ini bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan mama dan anak-anak. Sekarang mama ingin membantu papa” Jelas isteriku yang tengah berjongkok di pojok ruang tamu.
“Menolongku? Membantuku? Puihhh…aku lelaki yang masih bisa mencari nafkah untuk keluargaku…” gerutuku dalam hati. Tak terasa mata menjadi berat dengan genangan air mata.
“Dia itu teman mama waktu kuliah. Dan kita bertemu dua bulan kemarin di acara reuni. Dia sudah menjadi pengusaha sukses dan sudah memiliki dua isteri. Ketika mama menceritakan kondisi keluarga kita yang sederhana ini dia mencoba menawarkan kepada mama untuk menjadi isterinya” Papar isteriku. Dimataku dia sama sekali tidak menunjukkan sebuah kecanggungan.
“Dia tahu kok mama sudah menikah. Dia ngga peduli mama udah menikah sama papa. Dia hanya meminta waktuku yang ada untuk mendampinginya diwaktu-waktu tertentu. Bagi dia, bisa mendapatkan sisa-sisa waktuku sudah cukup untuk menunjukkan rasa sayangnya pada mama. Dia ternyata sudah menyimpan perasaannya itu sejak lama”
Aku tak mendengarnya dengan jelas. Yang ada dalam pikiranku sekarang adalah, isteriku sudah gila! Aku bangkit dan meluruskan tubuhku seolah mampu menjadi pahlawan dari perang yang telah menghancurleburkanku.
“Baik…sekarang mama tinggal pilih! Tetap bersama papa dan anak-anak atau kita berpisah!” ucapku dengan gemetar.
“Pa…mama kan tidak minta cerai. Mama lakuin ini karena sayang ama papa. Biarlah papa bekerja dengan tenang dan tidak lagi perlu bekerja keras sampai malam seperti sekarang ini hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Mama akan dapat memenuhi kebutuhan mama dari, bahkan mungkin bisa juga mendapatkan biaya untuk sekolah anak-anak kita. Masa depan mereka masih panjang pa…!”
Aku sudah tak berani lagi menatap isteriku. Aku yakin semua alasan itu hanyalah mengada-ada dan hanya dijadikan pembenaran bagi nafsunya yang tinggi sementara sekarang, karena factor kelelahan aku sering tidak bisa menunaikan kewajiban sebagai suami sampai tuntas.
Isteri memang tidak pernah mengeluh dengan kelemahanku ini, namun aku merasakannya. Isteriku tidak puas dengan pelayanku selama ini.
Tapi apakah bukan sebuah kegilaan kalau seorang isteri meminta ijin untuk menikah lagi. Budaya kita selama ini hanya memberi ruang kepada laki-laki untuk poligami dan tidak untuk poliandri!

Dan sekarang aku sudah ada di sebuah rumah mewah. Rumah yang hanya mampu aku mimpikan. Sebuah rumah berlantai tiga dengan 5 kamar besar. Bahkan aku sudah menjadi pemilik sebuah took yang menyediakan aksesoris kendaraan bermotor yang cukup besar. Anak-anakku tiap hari selalu dijemput mobil jemputan yang disewa isteriku. Rp. 250.000,00 perbulan untuk itu.
Untuk kerja aku sudah memakai sebuah sedan yang cukup bagus walaupun keluaran tahun 2000 awal. Kini kakiku tidak lagi perlu berlari mengejar bis kota yang penuh sesak, miring dan bau itu. Keuntungan yang aku dapatkan dari took itu tidak pernah sama sekali ditanyakan oleh isteriku. Tapi walaupun begitu, aku tidak pernah melihat lemari pendingin di rumahku kekurangan bahan makanan. Selalu saja ada makanan baru setiap hari. Bahkan sampai saat ini aku mengira anak-anakku sekolah di sekolah negeri yang gratis. Karena anak-anakku tidak pernah meminta uang untuk jajan dan SPP sekolah.
Derit pintu pagar terdengar diikuti dengan raungan mobil sedan mewah. Pasti isteriku! Aku bergegas keluar untuk menyambutnya dan bertanya kesannya liburan di Bali.
“Eh papa…tolong bawain kopornya ya pa….! capek nih… sekalian saja ambil oleh-oleh dari Mas Tresno buat papa” Sapanya sambil melewati tubuhku yang berdiri kaku. Terpaku dengan kecantikan isteriku yang luar biasa. Aku melihat cahaya kebahagiaan dari wajahnya yang tidak pernah aku lihat ketika dia menghabiskan waktu 13 tahun denganku.
Aku mengikutinya ke kamar tidur. Sebuah kamar yang selama ini aku lihat di sinetron-sinetron yang ditayangkan di layar kaca. Sebuah impian lainnya yang kini menjadi kenyataan.
“Capek ya….? tapi senang kan kamu bisa merasakan bulan madu yang sesungguhnya” sindirku. Aku berusaha mengatakan itu dengan nada yang sangat datar. Aku tidak ingin menunjukkan kecemburuanku yang menggemuruh selama ini.
Semenjak isteriku mengatakan ingin menikah lagi, aku menyimpan beban yang mungkin tidak akan pernah terpikirkan oleh semua lelaki didunia ini.

“Mama sayang sekali sama papa….! Bahkan pernikahan ku dengan Mas Tresno karena rasa sayang mama kepada papa. Mama selama ini melihat kerja keras papa sudah menguras kekuatan dan kesehatan papa. Mama bisa merasakannya walaupun papa tidak pernah mengatakannya. Papa lebih sering sakit dan tidak bisa menikmati pernikahan yang seharusnya menjadi hak papa. Mama tahu itu. Makanya mama tidak meminta cerai kepada papa. Kalau orang lain mungkin akan kabur dari suaminya ketika ada lelaki yang berani menjamin dirinya dengan harta. Tapi mama tidak…! Mama ingin papa juga bisa merasakan apa yang mama rasakan dengan jaminan kekayaan yang akan diberikan Mas Tresno”
Diam.
Hening.
Aku tidak pernah bisa membayangkan kalau isteriku yang selama ini juga bekerja di perusahaan kecil di kota ini bisa mengatakan semua itu dengan sangat jelas dan tegas. Sebuah niat yang mulia dan sekaligus gila.
Poliandri. Budaya kita akan menganggap wanita seperti itu sebagai wanita yang tidak bermoral, tuna susila, materialistis dan sundal. Tapi sekarang, aku mendengar alasan yang belum pernah aku bayangkan.
“Ma…papa selama ini berusaha untuk memenuhi kebutuhan mama dan anak-anak. Tapi begini kemampuan papa. Papa tidak bisa member lebih dari yang mama harapkan selama ini. jangan berdalih demi kepentingan papa, lantas mama merasa dibenarkan untuk melakukan poliandri. Papa ngga akan ikhlas kalau mama menikah lagi. Lebih baik papa menceraikan mama!” teriakku.
“Pa….! kalau papa menceraikan mama maka mama tidak akan pernah menikah dengannya! Alasan mama menikah dengan dia karena justru karena mama ingin merasakan hidup berkecukupan dengan papa. Dia sudah memiliki dua isteri dan tidak ada alasan lain yang membuat mama memikirkan tawaran dia kalau bukan karena papa dan anak-anak. Papa sudah cukup menunjukkan rasa sayang papa sama anak-anak!”
“Tapi bulan madu yang baru saja kamu lakukan….”
“Kenapa? Salah sepasang pengantin baru melakukan bulan madu?” Tanya isteriku menyambar kalimatku yang belum selesai.
Aku kembali terdiam. Aku sendiri tak habis piker mengapa aku sendiri mau mengijinkan isteriku menikah lagi. Mungkin karena beberapa hari setelah isteriku mengatakan akan menikah lagi, isteriku langsung mengajak pindah ke rumah ini. Rumah impian setiap keluarga yang memiliki cita-cita untuk membangun rumah tangga yang bahagia. Dan aku terkesima dengan segala kekayaan yang diberikan Tresno kepada isteriku, anak-anakku dan sekaligus kepadaku. Tresno jugalah yang memberikan modal kepadaku untuk membuka toko aksesoris kendaraan bermotorku kini.
Siapa yang sebenarnya materialistis? Isteriku atau aku?

Dua tahun sudah aku menjalani pernikahan di dalam sebuah pernikahan. Kehidupanku sekarang lebih dari cukup. Materi aku sudah melebihi kebutuhan keluargaku, sementara isteriku tidak pernah menuntut haknya dari harta yang aku peroleh.
Kini saatnya aku yang akan berbicara kepada isteriku.
Aku akan menikahi teman SMA ku yang sampai sekarang masih menungguku. Sebuah penantian tanpa kepastian bagi dia karena menungguku mengambil keputusan.

“Siapa orangnya pa…?” jawab isteriku datar.
Sebuah reaksi yang tidak aku bayangkan sebelumnya. Aku telah menyediakan diriku untuk menerima dampratan isteriku ketika aku akan mengatakan maksudku ini. aku semakin terheran-heran ketika isteriku tersenyum.
“Pa…pernikahanku dulu dengan Mas Tresno telah membuat keluarga kita berkecukupan. Sekarang mama mau Tanya sama papa…apakah pernikahan papa ama dia akan membuat keluarga kita akan menjadi lebih baik lagi?”
Sejuta kali aku terdiam. Aku menatap tajam isteriku. Siapa dia sekarang? Begitu pintarnya dia membalikkan logika atauu bahkan sangat termat sangat logis sehingga aku selalu kehabisan kata-kata untuk menjawabnya.
“Kalau pernikahan papa hanya akan menyedot kekayaan yang sudah kita kumpulkan selama ini…lebih baik papa memikirkannya lagi!”tegas, singkat dan jelas.
“Kalau pernikahan mama dimasa lalu untuk menolong papa dan keluarga supaya bisa menikmati kekayaan dan kebahagiaan, mama sekarang Tanya, apakah pernikahan papa itu untuk kebahagiaan mama dan anak-anak atau hanya untuk sekedar memuaskan nafsu dan fantasi papa dan dia dimasa lalu?” kembali pertanyaan isteriku menohok ulu hatiku. Langsung ke pokok masalah.
“itulah masalahnya pa…kalau seorang suami melakukan poligami, maka dia akan rela mengeluarkan uang yang sebenarnya hak isteri dan anak-anaknya. Sementara kalau seorang isteri menikah lagi, kemungkinan besar justru akan lebih banyak menerima kekayaan. Jadi mama rasa pernikahan papa tidak lebih dari kegiatan sambilan papa karena sekarang papa sudah merasa berkecukupan. Namun bayangkan kalau ternyata papa bangkrut, apakah dia akan mau menikah ama papa?”
“Ma…papa sudah akan mengatakan hal ini dua tahun yang lalu tepat ketika mama mengatakan hal yang sama” jawabku. “Dia sudah bersedia menikah dengan papa dan menunggu papa meminta ijin ke mama untuk menikahinya” Lanjutku. Suaraku bergetar karena khawatir pernyataan dan pertanyaan isteriku akan membuatku mati kutu.
“Dan mama minta papa membayangkan apa yang akan terjadi kalau dulu papa mengatakannya terlebih dahulu dari mama. Apakah kehidupan kita akan lebih baik dari sekarang atau justru akan lebih buruk dari kehidupan kita yang dulu?”

Sekarang aku tinggal di rumah kontrakan yang sempit. Hidup sendiri karena sudah setahun ditinggal isteriku dari pernikahan yang kedua. Dia meninggalkanku karena bayangannya tentang diriku jauh dari kenyataan. Dia kecewa dan memilih untuk kembali hidup sendiri.
Sementara itu isteri dan kedua anakku sudah pindah mengikuti suaminya yang sedang bertugas di luar negeri karena urusan bisnis. Sekarang aku lagi bingung dan bersembunyi karena harus membayar beberapa pinjaman yang belum mampu aku bayar.

Tidak ada komentar:

Laman