Senin, 04 Januari 2010

DARA DAN CINTA



Seharusnya malam ini adalah malam yang paling bahagia untuk Dina. Malam yang senantiasa ditunggu hampir oleh semua wanita untuk menunjukkan kesetiaannya. Menunjukkan kesuciannya kepada orang yang sangat dicintainya dalam mahligai pernikahan.
Tapi malam ini…dada Dina bergemuruh hebat. Malam ini adalah mimpi buruk yang sudah dia bayangkan akan terjadi. Peraduan yang ditaburi bunga tidak lagi harum dihidungnya, bahkan terasa lebih busuk dari apa yang pernah di cium selama ini. ketakutannya telah mengalahkan indahnya malam ini.
Setiap detik yang dilewatinya bagai neraka yang harus dirasakannya di dunia ini. setiap menit yang dilaluinya adalah siksaan terberat dalam hidupnya. Keraguan telah mematikan sakralnya mala mini. Dipandanginya bertumpuk kado dan hadiah yang tergeletak dan berserakan itu. Bahkan ada sebuah kado besar yang dipandanginya saat itu. Sebiah kado dengan kertas merah menyala dan dilingkari pita merah muda menggoda untuk disentuh, namun itu pun tidak dilakukannya.
“Bagaimana kalau dia tahu…?” desahnya. Pandangannya terarah ke pakaian pernikahan mereka yang tergeletak. Alex suaminya, sudah ganti pakaian, pikirnya. Hatinya semakin gundah karena menit-menit menentukan itu akan segera tiba.
Sekarang suaminya sedang berkumpul dengan keluarganya di ruang tamu. Silaturahmi dengan saudara dan tamu undangan yang tidak bisa hadir siang tadi. Dan itu sekarang hanya menunggu datang suaminya. Dia melihat jam yang terpajang di atas pintu kamarnya. Jam 21.07 wib! Desisnya penuh kekhawatiran. Benaknya kalut dan kepalanya pening karena memikirkan berbagai alasan yang tepat untuk menjelaskan keadaannya.
Sebuah kebohongan yang akhirnya harus terungkap. Dina menyesal telah berbohong kepada Alex kekasih yang sangat dicintainya. Seorang lelaki yang benar-benar tidak pernah dibayangkannya akan dinikahi. Sebuah kesenjangan ekonomi, tingkat pendidikan dan pergaulan menjadi tembok yang tinggi dan membuat hidup mereka terpisah jauh.
Alex adalah anak seorang penambal ban di pinggir jalan Manado, sementara dirinya adalah anak tunggal dari pasangan dokter spesialis penyakit dalam. Tepat didepan rumahnya ayah Alex membuka usaha kecil-kecilan itu. Dan setiap pagi sebelum sekolah atau kuliah, Dina selalu melihat Alex membuka kios kecilnya dan mempersiapkan barang-barang yang akan dipakai ayahnya. Dina masih ingat bagaimana sikap dia setiap Alex tersenyum padanya ketika dia keluar dari gerbang rumahnya yang sangat besar itu. Sebuah sikap yang antipasti dan dipenuhi kecurigaan. Dina sangat khawatir kalau pemuda itu akan melakukan sesuatu yang tidak diharapkannya. Senyum Alex selalu dianggapnya sebagai sebuah pelecehan. Bagi Dina, peci dan sarung yang selalu melingkar dipinggang Alex adalah kamuflase dan topeng dari sebuah niat jahat.

Tiba-tiba satpam rumah Dina memukul Alex ketika lelaki itu sedang berjongkok membereskan alat-alat tambal ban. Alex terjungkal dan ketika akan bangkit sebuah tendangan keras mengenai ulu hatinya disertai pukulan tongkat kearah kepalanya. Alex berkelit dengan cepat, namun pandangannya yang buyar telah membuat gerakannya tidak terkontrol sehingga kembali pukulan satpam itu mendarat di hidungnya.
“Kamu jangan macam-macam sama anak tuan saya ya…!” teriak satpam itu disela-sela gerakannya yang membabi buta. Alex terkejut dan berusaha untuk menghindar. Beberapa pengendara motor menghentikan atau melambatkan laju motornya untuk melihat peristiwa itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Mungkin karena yang memukulnya adalah orang dengan seragam satpam maka orang yang dipukulinya pastilah maling.
Dina memandang peristiwa itu. Siang itu. Tepat ketika dia baru pulang dari sekolah. Dina memang berlari dan berteriak ketika melihat Alex mendekatinya. Padahal dirinya sedang kesulitan membuka pintu gerbang rumahnya. Teriakan Dina terdengar oleh satpam yang tengah tertidur di pos jaganya sehingga membuatnya terkejut dan bertanya penyebab Dina berteriak.
Dan ketika Alex kembali membereskan alat kerja ayahnya, pemukulan itu terjadi.

Dina selalu merasa bersalah dengan peristiwa itu. Sebuah ketololan buah dari kesombongan dan keangkuhannya memandang Alex selama ini telah membuat pemuda itu seminggu diam di rumah dan tidak terlihat lagi di kios ayahnya.
Karena pertolongan ayah Dina lah kesehatan Alex bisa lebih cepat pulih. Dengan disertai ucapan permohonan maaf, ayah Dina menjenguk Alex ketika mendengar laporan dari satpamnya tentang peristiwa itu. Sebuah pertemuan yang membuat ayah Dina menjadi lebih dekat dengan ayah Alex.
Kini Dina menggelengkan kepalanya dengan cepat untuk menghilangkan ingatan itu. Luka dari sebuah keangkuhan. Terpampang kini seorang lelaki yang dia kagumi dan dia cintai. Yang lengannya tidak pernah dia lepaskan ketika berada di kursi pelaminan. Wajah Alex senantiasa dipandanginya dengan penuh kekaguman.
Kini Dina semakin pucat. Apakah rahasia terbesarnya kini harus diketahui oleh Alex. Dina kemudian mengambil air wudhu dan kemudian shalat dua rakaat. Dalam shalatnya Dina berharap lelaki yang kini menjadi suaminya benar-benar lelaki suci yang tidak pernah melihat, mendengar atau mengetahui sebuah rahasia wanita yang paling pribadi.

“Kamu ngga bisa gitu dong Mad…kamu ngga bisa mutusin saya begitu aja setelah apa yang kamu lakukan ama saya!” teriak Dina. Tangannya mencoba menarik tangan Madi. Namun Madi menepisnya. Sepintas memandang Dina.
“Emang apa yang udah aku lakukan ama kamu hah?” jawabnya Madi pelan namun penuh dengan tekanan. Madi memalingkan mukanya dan kembali menatap ujung jalan. Entah apa yang dilihatnya. Dina menatap penuh amarah wajah madi.
“Kamu anggap apa aku ini hah…? Setelah kamu merenggut keperawananku lantas begitu saja memutuskan aku hanya dengan alasan sudah tidak cocok lagi. Jelaskan pada saya Madi!” teriaknya.
“Itukan karena kamu juga suka. Aku ngga maksa! Bahkan kita sering lakukan di rumah kamu sendiri. Aku ngga bilang lari dari tanggung jawab! Kita melakukannya terakhir empat bulan yang lalu dan sekarang kamu masih menstruasi kan! Lantas apa yang harus aku tanggungjawabi sekarang? Aku memutuskan kamu dalam keadaan tidak hamil kan”
Dina terdiam. Hatinya benar-benar merasa menjadi merah berdarah mendengar ocehan Madi, kekasihnya. Mantan….! Apa yang dikatakan oleh Madi benar adanya. Selama ini perbuatan mereka dilakukan tanpa ada paksaan dari Madi, bahkan sering Dina sengaja meminta kepada Madi untuk mengulangi perbuatan mereka.
Madi adalah temannya di kampus. Perkenalan singkat langsung dilanjutkan dengan hubungan dipenuhi dengan komitmen. Sebuah komitmen yang kini menjebaknya. Karena diragukan kesetiaan dan cintanya kepada Madi, Dina rela menyerahkan harta terbesarnya kepada Madi. Dan itu sekarang semua itu menjadi sampah!

Dina menangis diatas sajadahnya. Perpisahannya dengan Madi hampir menghancurkan hidupnya. Kuliahnya terbengkalai dan hampir dikeluarkan dari kampus. Karena pengaruh bapaknya semua itu tidak terjadi.

Pagi itu akan ada ada ujian akhir semester. Dina panic karena mobilnya tidak bisa dia nyalakan seperti biasa. Kepanikannya semakin menjadi ketika tahu bahwa satpam-nya pun tidak bisa berbuat apa-apa. Dan Alex ada di seberang jalan itu, sendiri seperti biasa menunggu ayahnya datang. Memandangnya dengan wajah terheran-heran.

“Makasih ya udah nganter saya…”
“Oh…kembali…”
Saat itulah Dina menyadari bahwa pemuda tadi bukanlah pemuda yang selama ini dia bayangkan. Nyalinya untuk mendekati Dina setelah peristiwa pemukulan itu sangat dikaguminya. Bahkan gertakan satpam yang pernah memukulnya sama sekali tidak dia hiraukan. Seolah tahu masalah yang sedang menimpa Dina, Alex langsung menawarkan motornya yang butut itu kepada Dina. Dan sekarang dia sudah ada di kekampusnya dengan selamat dan tanpa ada peristiwa seperti yang dia khawatirkan selama ini.

Dina tersenyum mengingat peristiwa itu. Dan itulah awal hubungannya dengan Alex sampai keduanya sah dan resmi boleh tidur dalam satu kamar seperti sekarang ini. hubungan mereka nyaris tanpa hambatan karena orang tuanya tidak pernah mengungkit masalah latar belakang keluarga, pendidikan dan social Alex. Sering Dina merasa heran dengan kebaikan ayah dan ibunya kepada Alex. Sebuah kebaikan yang nyaris tanpa pamrih, tanpa pertanyaan dan tanpa tendensi apapun.
“Mungkinkah ayah dan ibu sudah mengetahui kenyataan yang menimpa pada anaknya ini” pikir Dina disela-sela doanya. Wajahnya berkeringat. Jangan-jangan semua ini hanya cara kedua orang tuanya menutupi aib atas apa yang telah menimpa anak tunggalnya ini? pikir Dina.

Seberkas sinar menerpa wajah dan matanya. Dina menggeliat, meregangkan kedua tangannya sambil menguap. Samar dia melihat ada yang berbeda dengan kamar tidurnya. Penuh warna. Dina bangkit tergesa. Disapunya seluruh kamarnya yang penuh dengan tumpukkan kado berwarna-warni dan ukuran yang beraneka ragam. Tak dilihatnya sosok asing berada dikasurnya.
Jadi malam tadi aku tidur sendiri, pikirnya.
Dina kini menyadari bahwa malamnya telah berlalu. Tak ada yang diingatnya kecuali tertidur diatas sajadah dan terbangun diatas ranjang pengantin.

“Ayo makan dulu…!”
“Ah….” Desah Dina menyadari lelaki itu kini sudah ada didepannya. Dina menatap tajam suaminya. Mencoba membaca gurat dan mimic muka suaminya. Tak ada yang istimewa. Tak ada yang berbeda. Tak ada yang berubah. Bahkan baginya, mata yang orang bilang sebagai jendela hati, sama sekali tidak mampu memberikan informasi apapun. Gelap. Kekhawatiran baru mulai menyelimuti dirinya. Bukan lagi khawatir suaminya tahu, tapi khawatir suaminya berpura-pura tidak tahu.
“Kamu tertidur nyenyak sampai shalat Subuh terlewat begini” ujar Alex sambil menata nasi goring buatannya di meja tempat tidur. Bagi Alex, apa yang dia lakukan hari ini tidak lebih dari kebiasaannya memnyiapkan segala sesuatu sendiri. Mandiri sejak dini.
Dina merasakan kehampaan dari wajah suaminya itu. Ketakutan dan kegelisahannya kini berubah menjadi kemuakan. Apakah suaminya pura-pura tidak tahu dan memilih untuk diam kalau menyadari isterinya sudah tidak lagi suci? Apakah baginya kesucian itu tidak berarti bagi dirinya yang menyandang status sebagai suami? Atau Alex yang dikenalnya justru lelaki yang terbiasa bergaul bebas sehingga dara tak lagi menjadi pertanyaan baginya? Atau apakah Alex lebih mengutamakan hartanya ketimbang statusnya yang sudah tidak lagi suci?

Kini Dina dan Alex sudah memiliki dua orang anak. Keduanya laki-laki dan berbeda usia tiga tahun antara anaknya yang pertama dan yang kedua. Namun keraguan Dina atas cinta Alex yang tidak pernah mempermasalahkan kesuciannya semakin memuncak. 10 tahun pernikahannya dan selama itu pula Dina memendam ketakutannya diam-diam.

Ruang makan menjadi senyap. Tak ada reaksi berlebih dari Alex sesaat setelah Dina mengutarakan rahasianya selama ini. Bahkan lampu mercury di tengah ruangan tidak membuat Dina merasa lebih baik, kecuali panasnya yang menyengat setiap pori kulitnya.
Dadanya bergemuruh. Mempersiapkan dirinya dari sumpah serampah seorang suami yang telah dibohongi isterinya selama 10 tahun lamanya.

“Kenapa kamu ceritakan semua itu..?”
“Aku tersiksa Lexxx…! 10 Tahun aku menyimpan rahasia besar ini dan aku terus dikejar rasa bersalah…”
“Apa ada perbuatan atau perkataanku yang menyinggung masalah itu? Apakah selama ini aku terlihat meragukan cinta kamu?”
“Justru kebaikan kamu selama ini yang membuat aku tersiksa Lex!” desis Dina yang menyerupai jerita kecil.
“Dan sampai sekarangnya pun saya sama sekali tidak pernah mengerti kenapa kamu ngga pernah mempertanyakan itu? Aku hanya ingin tahu, apakah selama 10 tahun ini kamu memang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?” lanjut Dina sambil memegang erat tangan Alex.
Alex tersenyum. Dan bagi Dina itu lebih menyakitkan dari sebilah pisau yang mengiris perasaannya. Sumpah serampah, caci maki, hinaan dan tamparan sama sekali tidak dia dapatkan malam itu. Dirinya siap menerima penghinaan apapun, tapi dia tidak pernah siap menerima sebuah senyuman di saat-saat seperti ini.
“Saya sama sekali tidak tahu kalau kamu sudah tidak lagi perawan ketika menikahi saya…” kata Alex pelan. “Tapi bagi saya, kesucianmu tidak pernah berkurang dimataku…!” lanjutnya.

Dina kembali termangu…haruskah dirinya mendapatkan perlakukan seperti ini dari suaminya…?

Tidak ada komentar:

Laman