Oleh Goenawan Mohamad
Kematian, syahid, kemudian surga …Seandainya hanya itu yang memberi arti manusia, hidup akan terdiri dari pedang dan peluru.
Kematian, syahid, kemudian surga …Seandainya hanya itu yang memberi arti manusia, hidup akan terdiri dari pedang dan peluru.
Di luar itu, segalanya akan hanya sederet surplus: suara anak tertawa di beranda, sapa sabahat di tepi jalan, lagu dari jauh, hujan yang sejuk. Hal-hal itu mesra, indah, berharga, tapi tak akan dibutuhkan. Mereka bahkan akan bisa jadi rintangan, atau pengalih perhatian, jika sejarah kita lihat sebagai sebuah perang besar untuk sebuah tujuan besar.
Ada keyakinan semacam itu dalam banyak gerakan revolusioner. “Revolusi bukanlah sebuah jamuan makan”, begitulah Mao berkata. Maka di tahun 1934, kaum Maois pun hijrah seraya bertempur sampai titik darah penghabisan. Tapi tak hanya Marxisme dan variasi-variasinya. Banyak persamaan dalam pelbagai ideologi yang dibentuk dari kepedihan tapi yang tak berhenti hanya pada kepedihan. Maoisme lahir dari rasa tertindas masyarakat Cina. Dari rasa`tertindas Mesir datang Ma’alim fil Tariq dan sejumlah buah renungan Sayed Qutb dari penjara, sebelum ia mati di tiang gantungan Pemerintah Nasser di tahun 1966. Keduanya bicara tentang sebuah dikotomi.
Bagi Marx dan Mao, sejarah adalah perjuangan kelas. Bagi Qutb, sejarah adalah sebuah jihad agung: Nizam Jahili harus diruntuhkan untuk membangun Nizam Islami. Seperti Marx, ia bicara soal dua sistem, dua nizam: yang satu buruk, yang lain bermutu. Dan seperti Marx, ia yakin yang terakhir itu yang akan menang.
Dengan kata lain, bagi ideologi kepedihan, dunia dan sejarah adalah sebuah satuan dan gerak besar--yang tak mungkin punya hal yang sepele, ganjil, aneka-ragam, dan kacau-balau. Di balik totalitas itu beroperasi sebuah subyek yang utuh, kuat, tanpa cacat.
Subyek itu, bagi Marx, adalah ‘proletariat’ yang dipersatu-padukan oleh ‘kesadaran kelas’ Dengan ‘kesadaran’ itulah – yang kemudian dibangun melalui ‘ajaran Revolusi’—identitas diri dikukuhkan. Qutb juga menunjukkan cara bagaimana identitas diteguhkan buat mereka yang ingin menegakkan sistem ‘Islami’. Dengan memperkuat aqidah dan dengan hijrah, mereka harus memisahkan diri dari dunia sekitar yang tak ‘Islami’. Dengan tafkir, garis pemisah pun ditarik. Mana kawan dan mana lawan dipertegas, dan jihad, kalau perlu dengan kekerasan, harus dijalankan.
Tampak, di balik nada marah tiap ideologi kepedihan ada segumpal optimisme: ‘Kami kini memilih jadi subyek sejarah, dan kami akan memetik kemenangan di hari kemudian’.
Tapi tiap ideologi menyembunyikan ilusi. Di dalamnya orang tak bertanya lagi: benarkah ‘kami’, ‘sang subyek’, sepenuhnya bisa mengendalikan sejarah? Benarkah ‘kami’ tak akan lapuk dan lekang oleh berubahnya ruang dan waktu? Benarkah ‘kami’ akan selamanya utuh, kuat dan padu? Benarkah manusia bisa sehebat itu?
Di titik itu, kaum Marxis berhenti bertanya. Bagi para ahli waris humanisme ini, manusia adalah diri yang sepenuhnya berdaulat. Setidaknya sejak zaman Aufklärung Eropa, humanisme itu pula yang menyebabkan mereka melihat sejarah sebagai garis lurus dalam progresi, dengan akhir yang berbahagia.
Seperti hampir tiap pemikir revolusioner di abad ke-20, Qutb juga tak jauh dari pandangan itu. Ia memang menghendaki sistem yang ‘Islami’: kembalinya posisi Tuhan sebagai pemegang kedaulatan yang sah, ketika hukum-Nya diberlakukan, menggantikan hukum buatan manusia. Tapi seperti dalam humanisme, di sini pun daulat manusia, apalagi sebagai ‘pelopor’ (taliya, menurut Qutb), praktis sama kukuhnya dengan daulat Tuhan. Sebab di bumi, yang cuma satu noktah di dalam bermilyar-milyar galaksi, hakimiyyah Tuhan pada akhirnya hanya diwakili oleh orang-orang. Mereka, dan bukan Tuhan sendiri, yang mengukuhkan status dan keabsahan perwakilan itu. Tapi keyakinan yang berlebihan terhadap manusia sebagai subyek telah alpa untuk mengakui bahwa khalifah Allah di bumi itu pun terbatas – dan bahwa sejarah juga sebuah kisah dengan kegagalan, dengan reruntuhan yang bertimbun.
Tentu, Qutb pun melihat sejarah manusia sebagai kemerosotan, penuh dengan puing. Tapi ia percaya manusia bisa kembali ke era pra-puing, ke ‘zaman keemasan’, di bawah Rasulullah dan ke empat penggantinya di abad ke-7. Qutb menginginkan tajdid, langkah besar kembali ke zaman itu. Tapi tak tahukah ia, dengan masygul, bahkan di ‘zaman keemasan’ itu pun keputusan-keputusan besar—tentang siapa yang akan jadi khalifah, misalnya— ditentukan oleh manusia? Sebab itu ‘kesalahan’ mungkin terjadi dan penentuan khalifah sering disertai sengketa sampai mati?
Kesalahan adalah keniscayaan sejarah. Sebab itu ketika millennium makin tua, ketika Marxisme pun ternyata tak berhasil, orang insyaf bahwa yang harus ditegakkan adalah sebuah sistem yang tahu dirinya akan gagal sebagai sistem. Yang tak tahu diri, tak akan bisa bertahan. Itu sebabnya di pertengahan abad ke-19 Alexis de Tocqueville berpendapat, bahwa Islam ‘tak akan mampu memegang kuasa lama di masa pencerahan dan demokrasi’, justru karena Islam dianggapnya punya ajaran yang total: ‘Qur’an bukan hanya doktrin agama’, katanya, tapi juga ‘petunjuk politik, hukum pidana, hukum perdata, dan teori ilmu’. Baginya, sistem yang membayangkan dirinya lengkap akan terkecoh oleh hidup yang tak hendak di-sistem-kan.
Tapi mungkin De Tocqueville hanya mengikuti satu pendapat. Ia tak melihat kemungkinan Qur’an sebagai sebuah sumber inspirasi klasik bagi sebuah kesadaran yang sayu tentang dunia: bahwa memang tak banyak yang bisa diharapkan dari sejarah, tapi hidup tetap sebuah rahmat, bukan sederet konflik bersenjata.[]
Catatan:
Tulisan ini diambil dari Catatan Pinggir Tempo 42, 22 Desember 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar