“Lagi apa Tah…?”
“Hmmmm….ngga, lagi memohon aja semoga sang penulis ini tetap memberikan peran bagiku di cerita ini…”
“Patah….Patah…berapa kali aku katakan, percuma kamu memohon juga. Kamu akan ada di cerita ini kalau sang penulis itu merasa kamu memang masih perlu ada. Tapi begitu dia berpendapat kamu ngga perlu ada lagi....wessssss....kamu hilang dari cerita ini dengan berbagai alasan. Sudahlah....aku tidak pernah memohon kaya kamu tapi toh aku masih mendapatkan peran dicerita. Aku ngga tau kenapa Dia masih tetap memasukan aku dicerita ini...!”
Patah hanya berpaling sepintas pada sahabatnya itu lalu menggelengkan kepalanya. Tersenyum dan kemudian mengucapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya yang putih itu.
”Ayo pulang....Sen!” ajak Patah sambil menepuk pundak Seno. Seno bergerak sedikit dan akhirnya keluar dari halaman rumah ibadah itu mengikuti langkah teman kecilnya itu. Dipandangi punggung Patah dengan sangat tajam, ada kekaguman bersemayam dalam hatinya kepada sahabatnya yang satu ini. Dia tidak pernah mengerti mengapa Patah masih percaya pada sang penulis naskah di atas sana, padahal kehidupan Patah dicerita ini sangat menyedihkan.
Kedua orang tua Patah bercerai ketika dia masih balita. Lalu satu persatu sang penulis itu (kalau ada) membuat cerita yang kejam. Bapaknya meninggal karena tertabrak mobil mewah di jalan tol ketika akan menyebrang disana sehabis mabuk-mabukan dengan teman-teman judinya. Disusul kematian ibunya yang menurut penulis cerita ini layak mati dengan cara sakit yang tidak bisa disembuhkan.
Padahal Seno selalu berpendapat, tidak ada sang penulis naskah itu. Baginya keberadaan dia di cerita ini merupakan kebetulan belaka. Bahkan dia merasa beruntung karena di cerita ini dia diperankan sebagai orang kaya dari keluarga yang harmonis dan sangat demokratis.
”Kamu lapar Tah...?” tanya Seno. Patah tidak menjawab dan Seno tahu jawabannya.
”Yu kita ke warung makan langganan kamu itu..”
Mereka berjalan sedikit lambat. Sena tahu Patah sedang lapar dan Galau. Pasti dalam benaknya terpikirkan masa depannya. Sesampainya di warteg itu, Seno menyebutkan banyak jenis makanan untuk Patah dan dia sendiri memilih memesan kopi hitam kegemarannya.
”Sekarang kamu mau apa...”
”Tau Sen...tapi yang jelas aku harus mencari kerja. Ngga mungkin aku meneruskan sekolah”
”Ya...aku sih dukung aja. Aku percaya kamu pasti berhasil. Aku kenal kamu dari SD Tah...kamu orangnya ngga pernah menyerah dalam keadaan apapun”
Patah lahap sekali memakan berbagai jenis makanan yang ada didepannya. Seno tersenyum senang melihat sahabatnya kali tidak protes dia traktir makan seperti biasanya.
”Emang kamu mau kerja dimana...?” tanya Seno disela kesibukan temannya menghabiskan makanan itu.
”Mungkin aku harus ke Jakarta Sen....aku ga tau mau ngapain tapi yang jelas aku harus bertahan. Semoga sang Penulis meridhai perjalananku....”.
”Ah....dia lagi kau sebut-sebut Tah...padahal apapun alasannya, hidupmu yang kacau ini berarti karena sang penulis itu dong!” sergah Seno.
Patah terdiam.
”Aku harus melakukannya Shita....aku ga mungkin melanjutkan sekolah karena keadaanku. Sementara kedua orang tuaku sudah ga da lagi buat jadi sandaran”
”Tapi Patah, aku akan ga ketemu kamu lagi. Aku akan susah buat komunikasi ama kamu. HP aja kamu ga punya, terus gimana kalau aku kangen kamu...!” rajuk Shita. Sudah setahun ini dia menjalin hubungan dengan Patah. Lelaki yang sekarang ada tepat di depan hidungnya. Lelaki yang dikagumi karena kepintarannya di sekolah, karena kehebatannya ketika main basket dan hebat ketika dia menciumnya, walau hanya dalam 5 detik!
”Shita...please jangan merajuk begitu...! Hidup ini buatku sangat berat dan aku tak mungkin menghadapinya dengan manja dan penuh keluhan. Dulu ketika aku menyatakan cintaku, aku pernah bertanya khan kalau semuanya tidak akan lancar-lancar saja” jawab Patah. Wajahnya serius memandang kekasihnya, tajam dan mampu membuat Shita merinding.
”Ya...ya...ya...dan aku menerimamu juga karena selama aku merasa selama denganmu, hidupku penuh warna.” sergah Shinta. Matanya tak mampu dipandangi Patah sedemikian rupa. Dia yakin Patah sangat menyayanginya walaupun tidak pernah memberinya barang yang berharga. Kenanganannya yang paling dia ingat ialah ketika dia berulang tahun yang ke 17, Patah menciumnya sekali ketika dia akan pulang dari rumahnya. 5 detik yang penuh sensasi karena bagi dirinya menunggu 7 bulan untuk hanya dicium Patah merupakan penantian yang sangat panjang. Ciuman itu sekali dan tak pernah dia terima lagi. Karena itu dia yakin, Patah sangat mencintainya!
Patah mencoba menutupi kegalauan hatinya karena selama ini dia merasa sangat tergantung pada wanita ini. Ketika dia menghadapi berbagai kekalutan hidup, dirinya langsung pergi ke rumah Shita. Menumpahkan segala kegalauannya dan Shita sangat memahami kondisinya. Selama ini Shita selalu diam ketika dirinya mengumbar kegalauan. Dan bagi dirinya itu sudah cukup!
” Nah sekarang aku minta pengertian kamu. Mau apa aku disini dengan bekal hanya sekolah SMA?”
”Ya...cari kerja aja disini!” teriak Shita. Kali ini ketakutannya akan kehilangan figur kekasihnya benar-benar membuatnya panik. Dia berdiri dan bermaksud untuk pergi. Walaupun itu bohongan. Dia berharap Patah akan mengejar dan mencegah pergi lalu berjanji untuk tidak akan meninggalkan dirinya. Dia terus berjalan dan berharap. Sampai ke perempatan jalan. Masih tak ada panggilan. Lalu dengan setengah cemas di berbalik. Patah sudah tak ada di tempatnya.
Kedua orang itu berpakaian rapih sekali. Kemeja biru bergarik vertikal membuatnya lebih terkesan ramping menyembunyikan badannya yang tegap. Berkacamata bening. Sementara yang satunya lagi memakain kaos bergambar salah satu merk sepatu terkenal ciri dari globalisasi. Duduk dengan tenang dan tersenyum.
”Saya hanya mengingatkan kamu bahwa orang tua mu memiliki hutang cukup banyak kepada tuan kami. Dan mungkin kamu masih bisa menempati rumah ini seminggu lagi”. Lalu orang berkameja itu menyerahkan sebuah map. Patah mengambil, membuka dan sekilas melihat angka-angka yang tertera di dalamnya. Namun yang sangat membuatnya kaget adalah isi dari surat-surat itu. Berisi perjanjian pinjaman dengan jaminan rumahnya dengan keterangan ”untuk biaya pendidikan”.
”Bukan biaya mengobati ibu...?” gumamnya dalam hati.
”Baiklah pak saya akan berusaha seminggu ini berbenah. Saya tak mungkin mampu membayar hutang kedua orang tua saya dalam waktu seminggu ini. Minggu depan bapak akan menemui rumah ini dalam keadaan kosong”
”Terima kasih...kamu sangat bisa bekerja sama dengan kami. Tapi kamu akan tinggal dimana Patah...?” tanya orang berkaos putih bergambar sepatu itu. Kedekatan anak perempuannya dengan Patah sudah cukup membuatnya mengenal pemuda malang ini. Taat bermohon kepada sang penulis cerita ini. Tapi kehidupannya tidak pernah berubah dan berganti dari kemiskinan ke kepedihan berikutnya. Terkadang dia berpikir untuk menikahkan putrinya dengan Patah, tapi dia ragu kalau Patah mampu memenuhi kebutuhan anaknya kalau kelak berumah tangga, sementara dirinya tidak lebih dari kacung tuan tanah kampung itu. Dan dia khawatir kelak, anaknya akan menjadi korban tuannya yang kesekian kali. Sangat klise dan memang masih ada di sini.
”Wahai sang penulis...aku yakin engkau ada diatas sana, entah dimana. Aku hanya berharap kehidupanku bisa berubah. Aku tahu engkau memiliki tujuan dari semua peristiwa yang aku alami. Aku hanya belum bisa memahami hikmah dari semua ini. Tapi aku yakin engkau maha pengasih pada semua pelaku-pelaku dalam cerita ini”
Selama ini Patah berusaha untuk menjaga keyakinannya bahwa hidupnya telah diatur sang penulis naskah. Ketika dia bermohon, dia selalu menatap ke atas karena dia berharap bisa langsung menyampaikan permohonannya kepada sang penulis. Kemiskinan dan kehancuran keluarganya selalu dianggapnya sebagai cobaan apakah dia bisa mempertahankan keyakinannya.
Dengan sigap Patah membereskan alat-alat ibadahnya. Kini dia harus mulai berbenah agar minggu depan rumah ini sudah kosong. Hati dan pikirannya benar-benar kusut. Setelah ditinggal kedua orang tuanya, meninggalkan kekasihnya dan kini dia harus meninggalkan rumahnya. Tanpa dia sadari kedua matanya berlinang sudah....!
”Ayo dong pa...kalau bukan kita yang menolongnya, siapa lagi?”
”Seno...semua ada porsinya! Selama ini kamu sudah sering menolongnya dengan membayarkan uang spp dia walaupun dia tidak tahu itu. Tapi sekarang sudah cukup. Saatnya dia sekarang untuk mampu hidup lebih mandiri.”
”Seno ngerti pa...Cuma khan ini akan lebih bermanfaat. Minimal papa kasih dia modal buat buka usaha kek..!” bujuk Seno sambil merangkul papanya dari belakang.
”Iya ngga ma...?” Seno menatap mamanya sambil mengedipkan matanya. Meminta dukungan. Mamanya angkat bahu dan kembali membaca bukunya. Kembali merajut mimpi seiring cerita di novel yang dibacanya.
”Seno, dulu papa setuju bantu Patah karena bagi papa sekolah itu penting. Minimal sampai SMA. Papa bantu dia supaya dia bisa menyelesaikan pendidikannya...sayang kalau dia sampai berhenti sekolah gara-gara biaya. Apalagi dia termasuk anak pintar, katamu. Tapi sekarang, saatnya dia menyadari hidup ini tidak selalu berpihak kepadanya melalui kebaikan orang lain”
”Tapi pa, selama ini dia tidak pernah memintanya kok! Saya aja yang kasian padanya!” sergah Seno. Dia tahu kualitas papanya sehingga sering kali dia kalah berdebat. Tapi kali ini Seno merasa harus menang. Menang untuk bisa membantu Seno.
”Dan kurang apa kesedihan yang sudah Patah dapatkan pa...? kehidupannya aja selama ini tidak pernah berpihak kepadanya...”
”Padahal pa, kurang apa keyakinannya pada sang penulis naskah ini yang menurut dia maha pengasih dan sangat sayang pada semua pemeran dalam cerita ini...?” lanjut Seno.
”Itu bagus...! Minimal dalam hidupnya dia memiliki sesuatu yang dia yakini kan?” timpal papanya.
”Tidak seperti kamu yang papa lihat sangat angin-anginan dalam memegang keyakinan. Sekarang papa mau tanya...apa yang kamu yakini dalam hidup ini Seno?”
Seno terkejut dengan pertanyaan itu. Dia tidak pernah menyangka bapaknya melihat gejala keraguan dalam dirinya. Yang lebih mengejutkan lagi adalah sikap papanya dalam menyikapi masalah ini. Ringan dan santai seolah sedang menanyakan liburan apa yang diinginkan anaknya.
”Ehhh....anu pa....sebenarnya saya juga ga yakin-yakin banget sih.....! ini baru pikiran saya saja...hehehehehe....maaf pa”
”Nah khan terbukti. Mama, lihat jagoanmu ini! Menentukan keyakinan aja masih ragu. Persis mama waktu menentukan dan memutuskan mau menikah dengan papa khan....? perlu setahun papa nunggu mama...!” goda papa Seno. Mama pura-pura berpikir lalu menutup novelnya.
“Abis papa ngajaknya nafsu banget sampai-sampai mama ragu ini serius ata Cuma penyakit papa yang selalu mudah mengatakan cinta pada setiap wanita yang papa temui. Coba hitung ama papa, berapa wanita yang papa tembak waktu itu? Waktu SMA aja deh….!” Jawab mama dengan manja.
Papa Seno membalasnya dengan pura-pura menghitung jari-jarinya.
“Wah tangan papa ngga cukup ma menghitungnya…!”
“Ih….gimana sih papa, malah ngerayu mama lagi. Khan kita lagi bicara Patah. Gimana pa...jadi ngga bantu Patah?” sela Seno. Dia senang melihat kedua orang tuanya selalu bahagia didepannya.
”Ngga kali ini Sen...” timpal papanya segera. Semakin menegaskan pendiriannya. Lalu papanya menggandeng mama dan pergi meninggalkan Seno di ruang keluarga. Sendiri!
Seno kembali pertanyaan papanya, tentang kegalauannya, keraguannya pada sang penulis. Seno tak habis pikir, bagaimana mungkin hidupnya kali ini ditentukan oleh kehendaknya penulis naskah yang kata orang-orang dialah yang menciptakan seluruh alam cerita ini. Semua unsur dicerita dan segala isinya sang penulis ciptakan, bahkan apa yang terjadi pada dirinya hari ini dan dimasa depan sangat tergantung pada kehendak bebas sang penulis.
Seno menggelengkan kepalanya. Dia tak habis berpikir, bagaimana mungkin hidupnya sekarang sangat ditentukan oleh sang penulis. Sosok yang tidak bisa dia lihat, bahkan dia tidak pernah melihat langsung bagaimana sang penulis naskah itu terlibat langsung dalam hidupnya. Dia lahir selama ini dari ibu dan bapak yang tidak dia pilih. Lahir di kota yang tidak dia kenal dan tidak pernah ingat bahwa sebelum cerita ini ada, dia pernah ada dalam diri sang penulis.
Sena menatap langit malam yang gelap, mengacungkan telunjuknya.
”Dimana kau sang penulis, yang orang puja melalui berbagai upacara, dan berjuta nyawa meregang atas nama mu...hah....”.
”Tapi Lis...bapak hanya ingin kamu berpikir realistis saja. Bagaimana mungkin kamu bisa mencintai orang yang tidak memiliki apapun. Rumahnya sudah bapak sita kemaren atas perintah tuan Kamil”
Elis memandang tajam bapaknya. Memalingkan muka dengan mengibaskan rambutnya yang hitam kelam. Pergi. Sang bapak mengejar anaknya. Memegang tangan anaknya yang halus.
”Papa akan mendukung keputusanmu....daripada bapak lihat kamu jadi istri tuan Kamil” desahnya. Pasrah. Elis menundukkan kepalanya. Dia tahu bapaknya sangat mencintai dirinya dan akan melakukan apapun untuk dirinya. Kematian ibunya benar-benar telah membuat bapaknya mengabdikan diri untuk melayani dirinya.
Elis tetap pergi dan masuk ke kamarnya. Dia membantingkan badannya ke atas kasur. Menangisi nasib dirinya. Dia sangat mencintai Patah melebihi siapapun. Dan sekarang dia tahu Patah akan pergi dari rumahnya. Patah juga sering terlihat berjalan dengan teman sekolahnya, Shita.
Elis tahu dirinya tidak sepopuler Shita yang aktivis OSIS di sekolah. Bahkan mungkin Patah sendiri tidak pernah tahu perasaannya.
”Wahai sang penulis, tolong lah....guratkan tulisanmu untuk memberitahu Patah bagaimana perasaanku padanya. Aku yakin kamu ada dan berkuasa untuk menuliskan, membuat cerita ini menjadi mungkin. Beri aku kesempatan untuk bisa bersamanya. Aku minta wahai sang penulisss.....”. Lelah. Tertidur.
”Udahlah Shita....Patah itu bukan anak kecil yang mudah melupakan masa lalunya dan sembarang mengambil keputusan. Dia pasti sudah memikirkan semuanya mengapadia harus pergi”. Dia belai rambut gadis itu. Belaian yang dia lakukan dengan mata terpejam dan sangat menikmatinya dengan segenap diri.
”Pokoknya aku harus ketemu Elis....bapaknya sudah tega mengusir Patah dari rumahnya....!!!!!” Shita mengibaskan belaian Seno. Dia tidak mau terpuruk pada kesalahan yang tidak akan pernah dia maafkan. Mengkhianati Patah.
”Hey...kok nyalahin Elis? Dia tidak tahu apa-apa masalah ini. Lagian itu kan perintah tuan Kamal”
”Tuan....tuan...tuan....kenapa sih orang kampung disini suka menyebut bandot tua itu dengann sebutan tuan?” teriak Shita. Hatinya kacau balau dan tidak bisa menentukan apa yang harus dikerjakan dan dikatakannya.
Dia merasa harus bicara pada Elis!
(bersambung…)
Bandung, 1 Juli 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar