4.
”Makan pisang gorengnya mas...!””Ya..terima kasih Bu”
”Bapak ini kenapa sih harus bertengkar dengan Ustad Darma?”
”Bertengkar? Siapa yang bertengkar?”
”Tetangga pada bilang semua kalau bapak kemarin bertengkar dengan Pak Ustad. Di warung kopi tempat bapak magkal dengan temen-temen bapak itu lho”
Kardi tidak merasa kaget. Di kampungnya, sekecil apapun peristiwa bisa cepat tersebar seperti petasan cabe rawit yang berbunyi tiada henti. Bahkan tak jarang letusan terakhir bermuara pada pertengkaran fisik. Sangat Indonesia pikirnya.
”Lagian bapak tu ngomongin apa toh Pak?”
”Ah...ngga bu. Nggak ngomong apa-apa”
”Masa sampai berantem gitu”
”Oooo...bapak hanya bertanya, mengapa doa bapak supaya bisa menjadi kaya tidak pernah dikabulkan Tuhan.”
”Walah pak...pak! kok pertanyaan aneh kaya gitu. Ya pasti pak Ustad marah.” Jawab isterinya agak kaget dengan pertanyaan suaminya yang sangat musykil untuk dijawab.
“Lagian berdoa kok pake nuntut segala. Berdoa mah ya berdoa aja jangan pake minta dikabulkan segala. Berdoa saja sudah cukup membuat bapak mendapatkan pahala di mata Tuhan. Kewajiban kita untuk senantiasa berdoa, dan tidak ada kewajiban bagi Tuhan untuk mengabulkannya.”
”Kalau tidak minta dikabulkan lantas mengapa kita disuruh berdoa bu...?”
”Yaaaa....biar kita sadar bahwa kita harus bersyukur kalau kita masih bisa berdoa kali. Tuh banyak tetangga kita yang sekarang ngga bisa berdoa lagi” jawab isterinya. Maksud isterinya adalah tetangga mereka yang meninggal sekeluarga karena kecelakaan lalu lintas dua minggu yang lalu.
”Pak, kalau berdoa mbok yang ikhlas. Jangan pake nuntut segala”
Kardi terhenyak.
”Tapi bu, bapak bosen miskin melulu. Bapak pengen bisa membahagiakan ibu dan anak-anak. Berapa lama ibu hidup dalam kesengsaran? Bapak sih tidak masalah hidup miskin kalau bapak hidup sendirian. Bapak tanggung sendiri kelaparan dan segala kehinaan hidup kalau bapak sendiri hidup sekarang ini. Tapi bapak merasa berdosa karena bapak yang miskin terus anak isterinya juga menanggung penderitaan dan kehinaan ini” gerutu Kardi. Isterinya, yang dia nikahi 30 tahun yang lalu adalah wanita pemurah. Seorang wanita lulusan SMEA yang mengabdikan dirinya untuk mengajar anak-anak dikampungnya yang tidak mampu. Dan dia adalah salah satu muridnya. Murid yang ingin terus belajar walau usianya sudah menginjak 17 tahun. Murid yang tertarik dengan guru barunya yang masih muda. Seumur dengan dirinya. Kesadaran bahwa mereka berasal dari keluarga yang berbeda status ekonominya membuat dia harus rela menjadi murid dari wanita yang dikaguminya. Dan sekarang wanita itu ada dihadapannya. Bergelimang kemiskinan dan kehinaan, bersama dirinya dan anak-anaknya.
”Ah...bapak terlalu menganggap hidup ini terlalu serius. Bapak tahu mengapa doa bapak tidak pernah dikabulkan Tuhan. Mungkin karena setiap bapak berdoa untuk menjadi orang kaya, ibu selalu berdoa supaya kehidupan kita tidak kaya seperti yang bapak mau” Isterinya berkata tanpa melihat wajah suaminya. Matanya berkaca-kaca seolah hendak mengatakan sesuatu.
Kardi menatap isterinya. Keheranan mencengkram pikirannya yang tengah gamang dan bimbang. Mengapa isterinya tidak mau menjadi orang kaya, pikirnya. Kardi teringat beberapa tahun yang lalu ketika dirinya mendapatkan proyek besar sebagai buruh bangunan dan harus meninggalkan pekerjaannya sebagai pemulung. Saat dimana saat itu kehidupannya sedang membaik dan uang begitu mudah diperolehnya. Dirinya tertangkap basah oleh isterinya sedang makan di sebuah warung makan Ampera dengan seorang wanita lain. Isterinya menatap sekilas lalu pergi diantara kerumunan orang di terminal itu. Kardi tak pernah menyangka isterinya akan pergi ke pasar saat itu.
Ketika dirinya pulang ke rumah, isterinya melayani dirinya seolah tidak pernah mengalami peristiwa itu. Perilakunya sangat normal sehingga membuat Kardi merasa bersalah. Dia tahu isterinya sangat sakit melihat dirinya dengan wanita itu. Sebuah kesalahan yang disesali Kardi setelahnya. Dan semenjak itu, isterinya semakin baik melayani dirinya. Tak pernah dia dengar lagi keluhan dan aduan tentang semua hal yang berhubungan dengan rumah tangga. Bahkan ketika Kardi seminggu tidak memberinya uang untuk belanja. Tapi dia tidak pernah tahu dari mana isterinya masih bisa menyediakan beras untuk dimasak dan lauk pauk sederhana untuk dimakan. Kardi enggan membahasnya karena khawatir isterinya akan mengingat kembali kesalahannya.
(Bersambung...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar