Drrrrrrr…..drrrrrrrrrrrrrrrrrr….
Indra meraih handphone itu...sebuah SMS masuk. “dari ketua dewan komisaris…’selidik punya selidik, kasus ini bukan yang pertama pak , jadi harap bapak mulai melakukan tindakan untuk mengusut kasus ini sampai tuntas. Kami sudah melakukannya tapi terbentur pertemanan dan kekakuan para panitia’”.
Indra membaca untuk yang kedua kalinya. Dia tidak paham dengan isi SMS itu. Lalu dia tutup kembali inbox-nya dan baru sadar bahwa SMS itu dari direkturnya. Malam seperti ini direkturnya mengirim SMS seperti ini? Indra kemudian menekan tombol reply.
“saya terima pak…mudah-mudahan besok kita bisa membahasnya”
Indra kemudian berusaha untuk kembali bisa tidur. Tapi matanya sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Pikirannya masih bekerja untuk sekedar mengumpulkan kejadian demi kejadian yang terjadi di kantornya. SMS demi SMS berseliweran di ruangan kantor yang berada di lantai 18 gedung tertinggi di kotanya.
Yang paling sering memberitahukan dirinya tentang perang SMS ini adalah direkturnya.
“pusing kalau mikirin perang SMS kacangan dan kampungan seperti itu…” desahnya disela-sela kegiatannya membereskan meja kerja. Indra tetap diam. Kursi yang didudukinya terasa panas mendengar perkataan direkturnya. Dia tahu direkturnya sedang tidak menginterogasinya, karena tentunya direktur itu sudah memiliki gambaran siapa yang mengirim SMS itu.
“kamu tahu siapa kira-kira yang suka mengirim SMS gelap kepada dewan komisaris itu?” tanya Pak Syamsul, direkturnya. Pertanyaan yang tidak perlu dijawab, pikir Indra. Tapi dia mencoba berpikir, kira-kira siapa orang yang memiliki gaya bahasa seperti yang di SMS itu.
Indra mengangkat bahunya.
“menurut Bapak?” timpal Indra. Indra yakin atasannya itu tahu betul karakter dari semua anak buahnya itu. Dan tidak mungkin atasannya sama sekali tidak tahu.
Pak Syamsul berdehem. Mencoba kembali menghentikan aktifitas membereskan meja kerjanya. Duduk tegak dan bersiap bicara. Posisi yang menujukkan dirinya sebagai pemegang kendali di kantor itu.
“perkiraan ada, dilihat dari gaya bahasa, karakter bicara dan motif dia untuk melakukannya, saya kira dia adalah Ibu Yuni…” lanjutnya Pak Syamsul. Dingin dan tanpa rasa takut kalau jawabannya itu bersifat spekulatif.
Indra membayangkan sosok Ibu Yuni. Guru yang telah lama ada dikantor itu sebagai tenaga kontrak. Kesehariaannya memang vokal dalam menyuarakan pendapatnya. Berbagai berita yang terjadi di kantor 18 itu, Indra eroleh dari Ibu yang satu ini. Dia mencoba mengingat gaya bicara ibu itu. Lumayan! Pikir Indra. Perkiraan yang cukup berdasar, apalagi mengingat motifnya untuk menjadi pegawai tetap di kantor itu sangat terasa. Namun pekerjaan pribadinya sering membuatnya sering tidak mengikuti kegiatan kantor yang bersifat diluar jam dinas.
“tapi Pak, bukankah SMS itu banyak jumlahnya…dan lagi masalah yang dibahas atau orang yang dibahas sangat banyak. Saya jadi ragu kalau hanya Ibu Yuni yang melakukannya…” jawab Indra.
“ oo ya jelas dong. SMS yang pernah aku perlihatkan kepada kamu dulu mungkin tidak ada hubungannya sama sekali dengan Ibu Yuni. Namun khusus untuk SMS itu aku bahas karena cukup membuatku pusing…” timpal Pak Syamsul kembali.
“oya…?”
“gara-gara SMS itu aku sekarang diharuskan untuk menindaklanjuti. Masalah uang yang diduga diselewengkan itu” lanjut Pak Syamsul.
“ya dewan komisaris juga suka menanggapi hal-hal yang disampaikan pengecut itu sih….” Timpalku.
“coba kalau mereka lebih fokus pada apa yang harus dilakukan dan tidak terlalu mengindahkan SMS gelap atau surat kaleng, mungkin kita juga tidak akan membahas masalah itu” lanjut Indra.
Indra tidak pernah habis pikir, mengapa ada orang yang senang sekali mengirim SMS gelap. Bukankah informasi apapun itu, selama tidak disampaikan melalui prosedur yang benar maka tidak memiliki validitas yang kuat. Dan ketika mereka mengirimkan SMS itu, apakah mereka tidak pernah memikirkan bahwa dirinya adalah Cuma seorang pengecut tengik, bangsat licik yang tidak bernyali sama sekali.
Setiap SMS yang dikirimkan tidak pernah menjadi indikator bagi dirinya untuk mengukur tingkat kepengecutan dirinya sendiri. Apalagi bila SMS itu memuat nama orang lain yang tidak disukainya. Benar-benar cacing pohon pisang yang hanya bisa sembunyi ditempat basah dan gelap dengan memakan sisa-sisa daging pohon yang sudah mati?
“tapi untuk apa ya Pak mereka melakukan itu semua…?” tanya Indra kemudian.
“hmmmm…gampang sekali menjawabnya. Pertama mereka merasa tidak pernahh diperhatikan sama sekali oleh komisaris dan berharap dengan menjelek-jelekan orang lain maka dirinya akan dianggap bersih. Kedua, dirinya sedang ada dalam sorotan komisaris sehingga dia berusaha memecah konsentrasi komisaris dengan menyebarkan isu yang lain. Ketiga, didorong oleh ambisi kebinatangan untuk menguasai kantor ini. Keempat, orang seperti itu memang tidak memiliki jati diri, harga diri dan kehormatan diri. Orang seperti itu tidak bisa menghargai dirinya sendiri dengan menghindarkan diri dari perbuatan pengecut” papar Pak Syamsul.
Analisis yang jitu. Tapi ketika SMS gelap itu sudah menjadi budaya di kantor ini, apa jadinya citra kantor ini di depan dewan komisaris? Pikir Indra. Anggota dewan komisaris bukan orang-orang bodoh yang tidak paham tentang masalah ini. Semakin banyak SMS berseliweran di handphone mereka, maka mereka akan berpikir bahwa dikantor ini banyak sekali Sangkuni-Sangkuni yang siap menghancurkan perusahaan mereka.
“Bapak harus segera bertindak!” kata Indra. Suaranya agak keras sehingga cukup membuat Pak Syamsul terkejut.
“eh…maaf pak bukan maksud saya…” Indra kaget dengan suaranya sendiri. Terlebih dengan reaksi Pak Syamsul.
“begini pak…pertama citra kantor kita akan buruk di mata dewan komisaris. Kedua, ada pengecut yang berkeliaran di kantor ini dan akan terus menjadi kerikil dalam sepatu. Ketiga, kalau dibiarkan maka ini akan menjadi contoh bagi semua karyawan yang merasa aspirasinya tidak diakomodasi perusahaan, direktur atau komisaris. Dan itu bahaya!” jelas Indra.
“aku tahu…aku tahu…tapi untuk mencari siapa yang melakukan teror SMS itu dan bagaimana membuktikannya sulit Ndra…jangan sampai tindakan yang saya lakukan akan berujung maut buat saya sendiri…” timpal Pak Syamsul.
“eh emang kenapa Pak Indra di panggil direktur…?”
“ah…biasalah konsolidasi. Mereka kan selalu seiring sejalan”
“eh emang Pak Indra kaya kacung-nya Pak Syamsul ya…”
“eh..katanya ada SMS ke yayasan yang mengatakan kalau Pak Indra itu ada main ama sekretarisnya lho…” bisik Ibu Yuni. Matanya memancarkan ketajaman ambisinya.
Pak Yoga terkadang merinding melihat sorot mata itu. Dan sorot mata itu pula yang selalu membuatnya takut untuk bersebrangan dengan ibu yang satu ini. Dari berbagai ketidaksetujuannya kepada Ibu Yuni, dia selalu berusaha untuk tidak bertentangan secara frontal. Padahal dulu…direkturnya pun dia sanggup labrak, tapi kini dalam menghadapi Ibu Yuni dirinya tidak berdaya sama sekali.
“tapi emang sih keliatan kalu Pak Indra itu ada apa-apanya…banyak kok yang ngeliat gimana Pak Indra memperlakukan sekretarisnya itu…mesar banget”
“ya…itu bandot tua ngga ada kapoknya ya…!” lanjut Pak Yoga.
Ibu Yuni tida melanjutkan pembicaraannya. Masuk rekannya yang lain.
“sini geura…!” teriak Yuni kepada rekannya itu.
“ada apa lagi nih kaya yang serius gini…” jawab Ibu Neyla.
“biasa…ada gosip kalau kedekatan Pak Indra ama sekretarisnya sampai ke komisaris…dan komisaris akan menindaklanjutinya” jelas Pak Yoga. Ibu Yuni kaget. Informasi adanya SMS itu dari dirinya, tapi dia sama sekali tidak pernah mengatakan bahwa yayasan akan menindaklnjutinya. Ini bisanya Pak Yoga, pikirnya. Tapi apa peduli, pikir Ibu Yuni toh tambahan itu cukup buat menjadi bumbu gosip itu.
“oya…ih tau ngga…saya juga pernah loh ngliat Pak Indra itu lagi mangku sekretarisnya…” lanjut Bu Neyla. Disimpannya buku agendanya di meja kerja Bu Yuni. Lalu dia melanjutkan.
“waktu itu saya mau melewati ruang kerja Pak Indra, dan sekilas saya melihat Pak Indra duduk di mejanya dan sekretarisnya lagi asyik duduk di pangkuan Pak Indra…”
“wah, dewan komisaris harus tahu pelanggaran ini soalnya kalau lapor ke direktur juga percuma. Direktur pasti melindunginya karena mereka dekat…”
“eh tapi ada gosip loh bu Yuni…”
“apa lagi?”
“itu masalah kepanitian ibu yang lagi jadi sorotan komisaris benar-benar jadi obrolan teman-teman loh…” lanjut Ibu Neyla. Ibu yang satu ini memang paling ember kantor itu. Perkawinannya yang terlambat sudah cukup membuatnya memiliki bekal menjadi tante bawel. Keberuntungan berpihak kepadanya ketika ada pegawai baru yang kemudian menikahinya.
Wajah Ibu Yuni berubah menjadi merah. Pak Yoga sudah hapal betul dengan roman muka itu. Lalu dengan alasan ada kerja, diapun ijin untuk pergi. Meninggalkan kedua wanita itu di kantornya.
“ah…itu mah basi. Lagian temen-temen mah terlalu membesar-besarkan masalah itu. Kalau saya buka semua kesalahan mereka, mereka juga sebenarnya punya banyak kesalahan. Nanti saya akan bongkar semua….” Tangkis Ibu Yuni. Wajahnya memerah dan jelas menunjukkan kegelisahan. Dirinya sama sekali tidak menyangka kalau proyeknya menjadi masalah di detik-detik terakhir kegiatan.
“saya juga udah mengumpulkan semua keborokan-keborokan temen-temen…” lanjutnya.
“jadi kalau mereka macam-macam…awas saya bongkar semuanya. Jangan mereka yang ngga punya jabatan apa-apa…mereka yang sekarang menjabat pun akan saya bantai…” lanjutnya.
Ibu Neyla yang datang dengan enteng dan santai berubah menjadi panik. Dirinya tidak menyangka kalau respon Ibu Yuni sedemikian ketusnya. Dia memalingkan mukanya keseluruh ruangan itu. Tidak ada orang lain. Dia harus bertindak karena dia sadar, kesalahannya yang bertumpuk ada di sakunya Ibu Yuni. Dia sendiri panik.
“eeee…eeee…ya emang sih. Eh…tau ngga siapa yang bikin gosip itu…?” tanya Ibu Neyla. Dirinya sadar harus mulai mengalihkan pembicaraan. Dia harus mencari kambing hitam. Dan dia tahu siapa yang bisa dijadikan kambing hitam.
“itu lho…Ibu Elia. Dia khan kemarin saya liat ngobrol di kantin bawah. Kayanya ngomong serius deh…soalnya begitu saya datang eeee mereka pada diem. Saya curiga mereka lagi ngomongin ibu….” Jelas Bu Neyla. Sebenarnya dia sendiri tidak tahu apa yang terjadi.
“terus Pak Indra…lagi rapat aja dia mencoba untuk menguliti kesalahan ibu khan. Dia ada juga lho ngobrol ama Ibu Elia….” Papar Ibu Neyla kembali. Tangannya mulai berkeringat. Terlanjur basah, pikirnya.
Ibu Yuni langsung membanting buku itu. Keluar dan tidak mengatakan apapun.
Kantor 18. Kantor yang dulunya sangat diperhitungkan oleh perusahaan lain karena kemampuannya meraih laba yang sangat tinggi dibandingkan perusahaan lain. Banyak hal yang diakui oleh perusahaan lain tentang kinerja, profesionalisme dan kemampuannya menarik nasabah.
Perusahaan ini bergerak di bidang jasa periklanan. Telah banyak produknya diakui masyarakat dengan semakin banyaknya klien yang menitipkan proses promosi kepada perusahaan itu.
Tapi semuanya berubah ketika ada sebuah proyek milyaran yang diselwengkan oleh direktur utama yang terdahulu. Direktur itu terjungkal dari perusahaan oleh gerakan spontan yang direstui oleh dewan komisaris.
Situasi perusahaan menjadi tidak terkendali. Semua pihak merasa berjasa dalam pemakzulan itu dan merasa berhak untuk menjadi pengganti direktur yang terjungkal itu. Diam-diam mereka sebenarnya menyimpan ambisinya masing-masing. Perjuangan yang tadinya solid berubah karena beberapa tokoh pemakzulan merasa memiliki banyak pendukung untuk bisa menduduki posisi basah itu.
Namun sejarah mengatakan lain. Tidak ada satupun tokoh pemakzulan yang diangkat menjadi direktur utama. Semua merasa dibuang setelah manisnya diperas habis. Semua semakin memanas. Para pekerja yang dulu kompak bersatu telah berubah menjadi kelompok dengan kepentingannya masing-masing.
Apalagi ketika dewan komisaris menyadari, bahwa tokoh pemakzulan itu memang tidak layak dijadikan direktur. Ini bukan kali pertama mereka memundurkan direktur. Dan kejadiannya sama, semua merasa bersih dan tega mengorbankan atasan demi ambisi pribadi. Dewan komisaris berdalih…harus ada orang netral yang tidak berkepentingan untuk menangani perusahaan.
Akhirnya terpilih direktur dari anak perusahaan lainnya. Hanya dua tahun dan digantikan dengan orang yang dianggap kaki tangan direktur terdahulu. Pak Syamsul.
Perlawanan semakin sengit. Tapi sayang semuanya kembali menjadi cacing-cacing pengecut yang tidak berani berkompetisi secara jujur. Ketertutupan dewan komisaris membuat semua semakin tidak jelas. Dewan komisaris seolah membiarkan perusahaan kantor 18 menjadi kacau balau untuk kemudian menunggu keadaan menjadi tenang dan jernih melihat siapa yang sebenarnya bisa diandalkan mengurusi perusahaan yang dahulu pernah menjadi perusahaan terbaik.
Perang SMS menjadi pilihan. Pilihan dari orang-orang yang ingin bersuara namun tidak memiliki nyali. SMS membabi buta berseliweran setiap hari hanya untuk mengatakan pegawai ini tidak masuk, pegawai ini magang diperusahaan lain, ada pegawai yang membuka jasa sendiri, ada pegawai yang selingkuh, ada pegawai yang mengabaikan tugasnya dan sejuta SMS berseliweran secara maya.
Ada yang tahu SMS itu. Banyak yang tidak tahu sama sekali. Ada juga yang tidak mau peduli karena merasa dirinya paling bijak kalau tidak terlibat apapun. Diam sejuta kata walaupun kesalahan temannya jelas didepan mata.
Pak Syamsul diam diruang kerjanya.
Pak Indra berdiri didepan pintu kerjanyanya.
Ibu Yuni hilang pergi entah kemana.
Ibu Neyla kembali menyebarkan gosip kacang yang membuatnya serasa masih jadi fenomena.
Rapat hari Jum’at dilaksanakan diruang khusus kantor 18.
Rapat dewan komisaris itu dilaksanakan sebagai sebuah rutinitas. Namun hari ini suasana menjadi berbeda bagi pimpinan unit iklan. Berjuta kata berseliweran dalam pikiran Pak Syamsul. Berjuta kalimat dia coba susun untuk menyampaikan pendapatnya tentang kondisi kantornya saat ini. Pak Syamsul sudah mengira bahwa rapat kali ini akan fokus pada adanya laporan SMS gelap dikantornya.
Ibu Rani sebagai ketua dewan komisaris membuka rapat.
“jadi bapak dan ibu anggota dewan komisaris…rapat hari ini akan membahas program kerja unit iklan satu tahun kedepan. Namun sebelum membahas masalah itu, tadi pagi saya menerima laporan SMS dari no yang tidak dikenal….”
(Bersambung....)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar