Ruangan guru itu tengah sesak oleh guru yang akan mengikuti rapat dadakan. Rapat yang akan membahas sebuah keputusan dari lembaga yang lebih tinggi. Semua guru merasa harus menghadirinya untuk mendapatkan informasi terbaru tentang segala hal yang bernuansa kedinasan. Ada guru yang sengaja duduk di kursi sofa diujung ruangan sekedar untuk bisa duduk dengan posisi yang lebih santai mengikuti rapat sambil membaca Koran. Sebagian lagi dengan penuh antusias duduk di jajaran paling depan sesuai dengan kebiasaan mereka masing-masing. Sementara beberapa orang guru seolah tidak terganggu oleh kegiatan rapat dan tetap asyik bermain computer. Bermain mungkin istilah yang paling tepat dibandingkan memakai, karena memang tujuannya untuk sekedar mengisi waktu dengan membuka facebook atau YM.
Kepala sekolah muncul. Obrolan para guru terhenti seiring dengan salam pembuka dibacakan oleh salah satu guru senior.
“assalamualaikum wr.wb….bapak ibu guru yang saya hormati hari kita berkumpul untuk…….”
Pak Dani terlihat tidak berusaha mendengarkan apa yang disampaikan guru senior tersebut. Karena perhatiannya justru tertuju pada tingkah laku beberapa temannya di ruang guru tersebut. Ketika rapat baru dimulai, seorang guru wanita yang baru masuk dan bergabung dalam rapat menghampiri seorang guru baru wanita yang tengah penuh antusisas mendengarkan penjelasan. Ibu guru yang baru bergabung itu bernama Ibu Wati sementara yang tengah duduk bernama Ibu Siti.
Ibu Wati berdiri tegak disamping tempat duduk Ibu Siti yang tidak merasakan kehadiran orang lain disampingnya. Sampai seorang guru lelaki yang juga kebetulan guru baru mencolek ibu Siti. Ibu Siti terperanjat melihat guru “tua” itu berdiri di sampingnya,sambil menunjuk kursi yang yang diduduki bu Siti. Dengan tersipu-sipu kemudian ibu Siti berdiri dan pindah kebelakang. Mengikuti rapat sambil berdiri.
“Gitu dong…semua orang udah tau ini kursi saya…saya kan guru senior”kata ibu Wati dan langsung menduduki kursi kebesarannya.
Pak Dani terlihat tersenyum kecut. Dirinya mencoba untuk memahami makna dari peristiwa yang baru saja terjadi di depan matanya. Sebuah peristiwa dari contoh arogansi senior terhadap junior, atau kesombongan kolektif yang tidak disadari oleh pelaku yang merasa dirinya paling berhak untuk duduk ditempat yang biasa didudukinya atau itu semua hanya sekedar peristiwa biasa yang tidak memiliki makna sama sekali.
Pak Dani berdiri. Sementara rapat masih tetap berlangsung. Dia melambaikan tangannya kepada guru wanita muda itu.
“Duduk disini…!” katanya pelan. Sambil memberikan isyarat bahasa tubuh untuk mempersilahkan guru baru itu duduk ditempatnya.
Bibir guru itu bergerak tanpa suara namun dari gerak mulutnya terbaca.
“Makasih…!” guru muda itu tersenyum dan menolaknya dengan halus.
Namun kemudian pak Dani berdiri dan meninggalkan kursi rapatnya. Dia keluar dan tak terlihat kembali masuk ke ruang guru.
Pak Dani ternyata sedang duduk di kursi kayu diluar ruang guru. Tatapannya nanar menembus setiap jantung muridnya yang tengah beristirahat.
“Inilah murid-muridku yang sedang aku ajar itu?” desahnya.
Dipandanginya setiap murid yang lalu lalang didepan wajahnya.
Mereka adalah anak-anak bangsa yang seharusnya mendapatkan ilmu kebijaksanaan dari guru-gurunya. Tapi pak Dani cepat menghela nafas. Bagaimana mungkin mereka akan mendapatkan pengajaran dan pendidikan yang baik sementara guru-gurunya sendiri belum mampu melakukannya.
Arogansi jabatan, usia, pengalaman dan status masih melekat pada diri guru bangsa ini. Feodalisme yang dilawan nenek moyang kita dahulu, ternyata justru mendarah daging di tubuh pendidik bangsa ini. Dan pak Dani menyadari bahwa peristiwa itu bukan yang pertama dilihatnya. Namun baru sekarang dia memikirkannya.
Ibu Siti telah datang lebih dulu ketimbang Ibu Wati, jadi wajar bila dia menduduki tempat yang kosong. Dia berhak untuk duduk dimanapun yang dia mau selama ada kursi yang kosong. Bahkan di mesjid sekalipun, Islam mengajarkan bahwa yang dating terlebih dahulu berhak untuk duduk di barisan paling depan. Tapi dalam kenyataannya, budaya lebih kental terasa ketimbang ajaran adiluhung agama sekalipun.
Siapa yang memiliki kursi demi kursi di ruangan itu? Pikir Pak Dani. Bahkan nama pun tidak tercantum di kursi-kursi itu. Jadi apa haknya seorang guru merasa dirinya paling berhak atas kursi di ruangan itu? Mengapa ada orang yang merasa menjadi pemilik dari kursi yang ada di posisi tertentu itu. Sedemikian rusaknya mental masyarakat ini. Guru sekalipun!
Mungkinkah dirinya bisa sedikit memberi warna pada anak didiknya untuk tidak pernah melakukan hal – hal yang berbau feodalisme? Sebuah system yang dibuat untuk mengkooptasi, menguasai dan melakukan penguasaan diri orang-orang yang secara nasib berada dibawah mereka. Sebuah system jaman tuan tanah dimana harga dan martabat bangsa ini ditentukan oleh seberapa luas tanah dan seberapa tinggi jabatan seseorang.
Guru-guru mulai keluar dari ruangan guru dan sekaligus menandakan rapat telah usai. Namun pikiran Pak Dani sama sekali tidak berhenti disitu. Dia hampiri Ibu Siti dan langsung mendekatinya.
“Kenapa ngga mau duduk dikursi saya tadi?” tanyanya.
“Ngga perlu pak…saya harus tahu diri saja kalau saya adalah guru baru dan harus menyesuaikan diri dengan lingkungan” jawab bu Siti dengan tengah menunduk. Pak Dani akhirnya keluar dan semakin disadarkan bahwa bangsa ini bukan hanya memelihara adat feodalisme yang kental, namun yang lebih parah lagi adalah masih bersemayamnya jiwa budak pada sebagian besar penduduk bangsa ini.
Bandung, 5 februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar