“Pokoknya kasus ini harus diusut tuntas…!” teriak Amri. Lelaki setengah baya itu mengepalkan tangannya seraya berteriak dihadapan rekannya yang lain. Ruang guru itu kini telah mereka kuasai. Sebuah gerakan karena ketidakpuasan yang memuncak menjadi sebuah aksi. Tapi tunggu dulu…! Aksi ini hanya aksi sekumpulan guru disebuah sekolah kecil dipedesaan terpencil jadi tidak ada kerumunan massa dalam jumlah ratusan atau ribuan. Aksi ini saja hanya diikuti 12 orang guru yang kebetulan hadir dan sedang beristirahat setelah 3 jam mereka mengajar. Terjebak dalam sebuah kebingungan dan ketidakpedulian. Sebuah sekolah Dasar di Daerah Garut Selatan kini tengah bergejolak.
“Sudah saatnya kita semua menuntut transparansi dan keterbukaan dari pihak para pimpinan kita tentang semua hal terutama masalah keuangan. Kegiatan terakhir yang dilaksanakan oleh para pimpinan kita benar-benar sebuah kegilaan. Bagaimana mungkin kegiatan cuma lokakarya seperti itu menghabiskan biaya sampai 20 juta rupiah. Kita aja tahu berapa biaya dari masing-masing bidang, ga ada yang lebih dari satu juta.” Paparnya setengah berteriak. Pandangannya menyorot kepada semua guru yang terdiam. Hanya mendengar. Seperti biasa.
Mereka yang hanya mendengar itu bisa jadi disebabkan beberapa hal, pertama karena mereka memang tidak tahu apa-apa. Mereka terdampar di ruangan itu karena sebuah takdir. Belum genap satu tahun mereka bekerja sehingga yang mereka tahu, saya mengajar apa hari ini atau bagaimana mengatasi keberingasan siswa-siswinya yang senantiasa iseng menjahili setiap mereka mengajar. Kedua, ada guru yang tahu tapi samar-samar. Mereka adalah guru yang lebih dari satu tahun mengajar tapi tidak pernah diajak menjadi panitia dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan. Desas-desus berhembus seputar mereka. Mereka hanya mendengar lalu menyimpulkan sendiri. Tanpa upaya dan daya untuk melakukan klarifikasi. Mereka tidak pernah tahu atau tidak pernah merasakan apa pengaruhnya desas-desus itu dengan pekerjaan mereka. Dan yang ketiga adalah mereka yang telah mengabdi lebih dari tiga tahun disekolah itu. Sudah merasa paling tahu untuk menilai orang perorang dari rekan kerjanya. Banyak dilibatkan dalam berbagai kegiatan sekolah namunt tidak pernah dipercaya untuk melakukan semuanya. Boneka-boneka abadi kantoran.
Sekarang boneka-boneka itu merasa ditipu mentah-mentah oleh pimpinan mereka yang telah menyelenggarakan sebuah kegiatan dengan dana besar namun acaranya tidak memuaskan mereka. Sebuah kebohongan yang biasa terjadi disebuah instansi. Kebohongan yang disepakati karena selalu terjadi dan dimaklumi.
Turunnya Kepala Sekolah terdahulu cukup membuat suasana sekolah dasar itu tergoncang. Skandal penyelewengan dana Penerimaan Siswa Baru (PSB) telah membuat kepala sekolah terdahulu terdongkel dan entah dimutasi kemana. Keberhasilan ini mereka anggap sebagai sebuah keberhasilan dari perjuangan mereka dalam menghapus dan memberantas korupsi di sekolah itu. Kesombongan dari guru-guru tua!!!
Mereka tidak pernah menyadari bahwa penyelewengan yang terjadi juga atas sepengetahuan mereka juga. Namun karena mereka takut untuk bersuara, mereka memilih diam dan menhembuskan dongeng serta obrolan di luar ruangan guru. Bahkan ketika mereka harus menandatangai proyek “manipulasi” pun, mereka melakukannya dengan alasan “tidak berdaya”. Sebuah penyelewengan massal telah terjadi bertahun-tahun dan mereka hanya bisa mengatakannya di warung kopi atau di ruang piket. Tak jarang kata-kata kasar terlontar hanya untuk memuaskan dendam yang tak terbalaskan atau sekedar meluapkan amarah yang tidak tersalurkan.
“begitulah rekan-rekan, kasus yang sekarang kita temui….”
“ternyata ada beberapa pos pengeluaran yang tidak masuk akal. Masa untuk kepala dinas yang diundang kita harus membayar 2 juta. Terus untuk pemateri lokakarya yang Cuma bicara 2 jam saja, itupun hanya ngomong ngalor ngidul dibayar 6 juta. Konsumsi yang hanya 3 jenis makanan ringan aja perorangnya kena biaya sepuluh ribu rupiah. Dan sewa aula itu ternyata sepuluh juta.”
Ruang guru serentak ramai. Saling bisik dan komentar keluar seperti suara ayam yang akan mendapatkan jatah makan dipagi hari. Mereka berbicara tanpa mengetahui makna dari setiap kata yang keluar. Keributan dan kesimpangsiuran menjadi makanan sehari-hari mereka. Dinamika kehidupan sekolah semakin terasa bergairah karena adrenalin semakin memuncak. Hanya untuk mengetahui apa yang akan terjadi di akhir episode. Tapi tanpa ada kemauan untuk terlibat memperbaiki.
“kalau begitiu kita harus bicara dengan mereka!” teriak ibu Zuraini. Seorang guru senior yang sudah 15 tahun mengajar di sekolah itu. Tapi karirnya tidak pernah berubah selain menjadi wali kelas. Selama ini ibu Zuraini dikenal sebagai guru “kendang” atau “go’ong”. Julukan ini diberikan karena setiap rapat, dia hanya mampu mengulang ucapan dari pemimpin rapat. Provokator atau sekedar menimpali tanpa mampu memberi solusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar