Tuhan menciptakan manusia karena cinta...setelah itu....????
Senin, 04 Januari 2010
DARA DAN CINTA
Seharusnya malam ini adalah malam yang paling bahagia untuk Dina. Malam yang senantiasa ditunggu hampir oleh semua wanita untuk menunjukkan kesetiaannya. Menunjukkan kesuciannya kepada orang yang sangat dicintainya dalam mahligai pernikahan.
Tapi malam ini…dada Dina bergemuruh hebat. Malam ini adalah mimpi buruk yang sudah dia bayangkan akan terjadi. Peraduan yang ditaburi bunga tidak lagi harum dihidungnya, bahkan terasa lebih busuk dari apa yang pernah di cium selama ini. ketakutannya telah mengalahkan indahnya malam ini.
Setiap detik yang dilewatinya bagai neraka yang harus dirasakannya di dunia ini. setiap menit yang dilaluinya adalah siksaan terberat dalam hidupnya. Keraguan telah mematikan sakralnya mala mini. Dipandanginya bertumpuk kado dan hadiah yang tergeletak dan berserakan itu. Bahkan ada sebuah kado besar yang dipandanginya saat itu. Sebiah kado dengan kertas merah menyala dan dilingkari pita merah muda menggoda untuk disentuh, namun itu pun tidak dilakukannya.
“Bagaimana kalau dia tahu…?” desahnya. Pandangannya terarah ke pakaian pernikahan mereka yang tergeletak. Alex suaminya, sudah ganti pakaian, pikirnya. Hatinya semakin gundah karena menit-menit menentukan itu akan segera tiba.
Sekarang suaminya sedang berkumpul dengan keluarganya di ruang tamu. Silaturahmi dengan saudara dan tamu undangan yang tidak bisa hadir siang tadi. Dan itu sekarang hanya menunggu datang suaminya. Dia melihat jam yang terpajang di atas pintu kamarnya. Jam 21.07 wib! Desisnya penuh kekhawatiran. Benaknya kalut dan kepalanya pening karena memikirkan berbagai alasan yang tepat untuk menjelaskan keadaannya.
Sebuah kebohongan yang akhirnya harus terungkap. Dina menyesal telah berbohong kepada Alex kekasih yang sangat dicintainya. Seorang lelaki yang benar-benar tidak pernah dibayangkannya akan dinikahi. Sebuah kesenjangan ekonomi, tingkat pendidikan dan pergaulan menjadi tembok yang tinggi dan membuat hidup mereka terpisah jauh.
Alex adalah anak seorang penambal ban di pinggir jalan Manado, sementara dirinya adalah anak tunggal dari pasangan dokter spesialis penyakit dalam. Tepat didepan rumahnya ayah Alex membuka usaha kecil-kecilan itu. Dan setiap pagi sebelum sekolah atau kuliah, Dina selalu melihat Alex membuka kios kecilnya dan mempersiapkan barang-barang yang akan dipakai ayahnya. Dina masih ingat bagaimana sikap dia setiap Alex tersenyum padanya ketika dia keluar dari gerbang rumahnya yang sangat besar itu. Sebuah sikap yang antipasti dan dipenuhi kecurigaan. Dina sangat khawatir kalau pemuda itu akan melakukan sesuatu yang tidak diharapkannya. Senyum Alex selalu dianggapnya sebagai sebuah pelecehan. Bagi Dina, peci dan sarung yang selalu melingkar dipinggang Alex adalah kamuflase dan topeng dari sebuah niat jahat.
Tiba-tiba satpam rumah Dina memukul Alex ketika lelaki itu sedang berjongkok membereskan alat-alat tambal ban. Alex terjungkal dan ketika akan bangkit sebuah tendangan keras mengenai ulu hatinya disertai pukulan tongkat kearah kepalanya. Alex berkelit dengan cepat, namun pandangannya yang buyar telah membuat gerakannya tidak terkontrol sehingga kembali pukulan satpam itu mendarat di hidungnya.
“Kamu jangan macam-macam sama anak tuan saya ya…!” teriak satpam itu disela-sela gerakannya yang membabi buta. Alex terkejut dan berusaha untuk menghindar. Beberapa pengendara motor menghentikan atau melambatkan laju motornya untuk melihat peristiwa itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Mungkin karena yang memukulnya adalah orang dengan seragam satpam maka orang yang dipukulinya pastilah maling.
Dina memandang peristiwa itu. Siang itu. Tepat ketika dia baru pulang dari sekolah. Dina memang berlari dan berteriak ketika melihat Alex mendekatinya. Padahal dirinya sedang kesulitan membuka pintu gerbang rumahnya. Teriakan Dina terdengar oleh satpam yang tengah tertidur di pos jaganya sehingga membuatnya terkejut dan bertanya penyebab Dina berteriak.
Dan ketika Alex kembali membereskan alat kerja ayahnya, pemukulan itu terjadi.
Dina selalu merasa bersalah dengan peristiwa itu. Sebuah ketololan buah dari kesombongan dan keangkuhannya memandang Alex selama ini telah membuat pemuda itu seminggu diam di rumah dan tidak terlihat lagi di kios ayahnya.
Karena pertolongan ayah Dina lah kesehatan Alex bisa lebih cepat pulih. Dengan disertai ucapan permohonan maaf, ayah Dina menjenguk Alex ketika mendengar laporan dari satpamnya tentang peristiwa itu. Sebuah pertemuan yang membuat ayah Dina menjadi lebih dekat dengan ayah Alex.
Kini Dina menggelengkan kepalanya dengan cepat untuk menghilangkan ingatan itu. Luka dari sebuah keangkuhan. Terpampang kini seorang lelaki yang dia kagumi dan dia cintai. Yang lengannya tidak pernah dia lepaskan ketika berada di kursi pelaminan. Wajah Alex senantiasa dipandanginya dengan penuh kekaguman.
Kini Dina semakin pucat. Apakah rahasia terbesarnya kini harus diketahui oleh Alex. Dina kemudian mengambil air wudhu dan kemudian shalat dua rakaat. Dalam shalatnya Dina berharap lelaki yang kini menjadi suaminya benar-benar lelaki suci yang tidak pernah melihat, mendengar atau mengetahui sebuah rahasia wanita yang paling pribadi.
“Kamu ngga bisa gitu dong Mad…kamu ngga bisa mutusin saya begitu aja setelah apa yang kamu lakukan ama saya!” teriak Dina. Tangannya mencoba menarik tangan Madi. Namun Madi menepisnya. Sepintas memandang Dina.
“Emang apa yang udah aku lakukan ama kamu hah?” jawabnya Madi pelan namun penuh dengan tekanan. Madi memalingkan mukanya dan kembali menatap ujung jalan. Entah apa yang dilihatnya. Dina menatap penuh amarah wajah madi.
“Kamu anggap apa aku ini hah…? Setelah kamu merenggut keperawananku lantas begitu saja memutuskan aku hanya dengan alasan sudah tidak cocok lagi. Jelaskan pada saya Madi!” teriaknya.
“Itukan karena kamu juga suka. Aku ngga maksa! Bahkan kita sering lakukan di rumah kamu sendiri. Aku ngga bilang lari dari tanggung jawab! Kita melakukannya terakhir empat bulan yang lalu dan sekarang kamu masih menstruasi kan! Lantas apa yang harus aku tanggungjawabi sekarang? Aku memutuskan kamu dalam keadaan tidak hamil kan”
Dina terdiam. Hatinya benar-benar merasa menjadi merah berdarah mendengar ocehan Madi, kekasihnya. Mantan….! Apa yang dikatakan oleh Madi benar adanya. Selama ini perbuatan mereka dilakukan tanpa ada paksaan dari Madi, bahkan sering Dina sengaja meminta kepada Madi untuk mengulangi perbuatan mereka.
Madi adalah temannya di kampus. Perkenalan singkat langsung dilanjutkan dengan hubungan dipenuhi dengan komitmen. Sebuah komitmen yang kini menjebaknya. Karena diragukan kesetiaan dan cintanya kepada Madi, Dina rela menyerahkan harta terbesarnya kepada Madi. Dan itu sekarang semua itu menjadi sampah!
Dina menangis diatas sajadahnya. Perpisahannya dengan Madi hampir menghancurkan hidupnya. Kuliahnya terbengkalai dan hampir dikeluarkan dari kampus. Karena pengaruh bapaknya semua itu tidak terjadi.
Pagi itu akan ada ada ujian akhir semester. Dina panic karena mobilnya tidak bisa dia nyalakan seperti biasa. Kepanikannya semakin menjadi ketika tahu bahwa satpam-nya pun tidak bisa berbuat apa-apa. Dan Alex ada di seberang jalan itu, sendiri seperti biasa menunggu ayahnya datang. Memandangnya dengan wajah terheran-heran.
“Makasih ya udah nganter saya…”
“Oh…kembali…”
Saat itulah Dina menyadari bahwa pemuda tadi bukanlah pemuda yang selama ini dia bayangkan. Nyalinya untuk mendekati Dina setelah peristiwa pemukulan itu sangat dikaguminya. Bahkan gertakan satpam yang pernah memukulnya sama sekali tidak dia hiraukan. Seolah tahu masalah yang sedang menimpa Dina, Alex langsung menawarkan motornya yang butut itu kepada Dina. Dan sekarang dia sudah ada di kekampusnya dengan selamat dan tanpa ada peristiwa seperti yang dia khawatirkan selama ini.
Dina tersenyum mengingat peristiwa itu. Dan itulah awal hubungannya dengan Alex sampai keduanya sah dan resmi boleh tidur dalam satu kamar seperti sekarang ini. hubungan mereka nyaris tanpa hambatan karena orang tuanya tidak pernah mengungkit masalah latar belakang keluarga, pendidikan dan social Alex. Sering Dina merasa heran dengan kebaikan ayah dan ibunya kepada Alex. Sebuah kebaikan yang nyaris tanpa pamrih, tanpa pertanyaan dan tanpa tendensi apapun.
“Mungkinkah ayah dan ibu sudah mengetahui kenyataan yang menimpa pada anaknya ini” pikir Dina disela-sela doanya. Wajahnya berkeringat. Jangan-jangan semua ini hanya cara kedua orang tuanya menutupi aib atas apa yang telah menimpa anak tunggalnya ini? pikir Dina.
Seberkas sinar menerpa wajah dan matanya. Dina menggeliat, meregangkan kedua tangannya sambil menguap. Samar dia melihat ada yang berbeda dengan kamar tidurnya. Penuh warna. Dina bangkit tergesa. Disapunya seluruh kamarnya yang penuh dengan tumpukkan kado berwarna-warni dan ukuran yang beraneka ragam. Tak dilihatnya sosok asing berada dikasurnya.
Jadi malam tadi aku tidur sendiri, pikirnya.
Dina kini menyadari bahwa malamnya telah berlalu. Tak ada yang diingatnya kecuali tertidur diatas sajadah dan terbangun diatas ranjang pengantin.
“Ayo makan dulu…!”
“Ah….” Desah Dina menyadari lelaki itu kini sudah ada didepannya. Dina menatap tajam suaminya. Mencoba membaca gurat dan mimic muka suaminya. Tak ada yang istimewa. Tak ada yang berbeda. Tak ada yang berubah. Bahkan baginya, mata yang orang bilang sebagai jendela hati, sama sekali tidak mampu memberikan informasi apapun. Gelap. Kekhawatiran baru mulai menyelimuti dirinya. Bukan lagi khawatir suaminya tahu, tapi khawatir suaminya berpura-pura tidak tahu.
“Kamu tertidur nyenyak sampai shalat Subuh terlewat begini” ujar Alex sambil menata nasi goring buatannya di meja tempat tidur. Bagi Alex, apa yang dia lakukan hari ini tidak lebih dari kebiasaannya memnyiapkan segala sesuatu sendiri. Mandiri sejak dini.
Dina merasakan kehampaan dari wajah suaminya itu. Ketakutan dan kegelisahannya kini berubah menjadi kemuakan. Apakah suaminya pura-pura tidak tahu dan memilih untuk diam kalau menyadari isterinya sudah tidak lagi suci? Apakah baginya kesucian itu tidak berarti bagi dirinya yang menyandang status sebagai suami? Atau Alex yang dikenalnya justru lelaki yang terbiasa bergaul bebas sehingga dara tak lagi menjadi pertanyaan baginya? Atau apakah Alex lebih mengutamakan hartanya ketimbang statusnya yang sudah tidak lagi suci?
Kini Dina dan Alex sudah memiliki dua orang anak. Keduanya laki-laki dan berbeda usia tiga tahun antara anaknya yang pertama dan yang kedua. Namun keraguan Dina atas cinta Alex yang tidak pernah mempermasalahkan kesuciannya semakin memuncak. 10 tahun pernikahannya dan selama itu pula Dina memendam ketakutannya diam-diam.
Ruang makan menjadi senyap. Tak ada reaksi berlebih dari Alex sesaat setelah Dina mengutarakan rahasianya selama ini. Bahkan lampu mercury di tengah ruangan tidak membuat Dina merasa lebih baik, kecuali panasnya yang menyengat setiap pori kulitnya.
Dadanya bergemuruh. Mempersiapkan dirinya dari sumpah serampah seorang suami yang telah dibohongi isterinya selama 10 tahun lamanya.
“Kenapa kamu ceritakan semua itu..?”
“Aku tersiksa Lexxx…! 10 Tahun aku menyimpan rahasia besar ini dan aku terus dikejar rasa bersalah…”
“Apa ada perbuatan atau perkataanku yang menyinggung masalah itu? Apakah selama ini aku terlihat meragukan cinta kamu?”
“Justru kebaikan kamu selama ini yang membuat aku tersiksa Lex!” desis Dina yang menyerupai jerita kecil.
“Dan sampai sekarangnya pun saya sama sekali tidak pernah mengerti kenapa kamu ngga pernah mempertanyakan itu? Aku hanya ingin tahu, apakah selama 10 tahun ini kamu memang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?” lanjut Dina sambil memegang erat tangan Alex.
Alex tersenyum. Dan bagi Dina itu lebih menyakitkan dari sebilah pisau yang mengiris perasaannya. Sumpah serampah, caci maki, hinaan dan tamparan sama sekali tidak dia dapatkan malam itu. Dirinya siap menerima penghinaan apapun, tapi dia tidak pernah siap menerima sebuah senyuman di saat-saat seperti ini.
“Saya sama sekali tidak tahu kalau kamu sudah tidak lagi perawan ketika menikahi saya…” kata Alex pelan. “Tapi bagi saya, kesucianmu tidak pernah berkurang dimataku…!” lanjutnya.
Dina kembali termangu…haruskah dirinya mendapatkan perlakukan seperti ini dari suaminya…?
Minggu, 03 Januari 2010
MAKNA PERGANTIAN TAHUN
Seyogyanya, pergantian tahun dimaknai tidak dalam arti pergantian angka pada kalender semata sehingga seolah perayaan tahun baru adalah perayaan pergantian kalender atau almanac semata. Malah mungkin sebagian banyak orang yang merayakan pergantian tahun tersebut justru tidak memahami makna dari bergantinya tahun tersebut. Padahal kalau kita mau sedikit meluangkan waktu sejenak maka orang akan takut menghadapi pergantian tahun.
Dalam pergantian tahun, sebenarnya terkandung berbagai makna yang dalam bagi orang-orang yang mau merenungkannya. Pergantian tahun yang terjadi berarti berkurangnya jatah hidup kita di dunia ini. kalau kita merenung, bukanlah perayaan yang harus dilakukan menjelang pergantian tahun namun justru rasa syukur karena kita telah diberi amanat untuk masih bisa merasakan tahun lalu dan kekhawatiran tahun ini adalah tahun terakhir kita hidup di dunia ini. masa lalu bukanlah sesuatu yang harus dirayakan dengan besar-besaran namun justru harus dimaknai sebagai media introspeksi diri.
Malam tahun baru selayaknya setiap orang berhenti beraktifitas dan kemudian menyendiri untuk menakar dan menimbang lalu melakukan evaluasi sejauh mana kita memaknai kehidupan yang telah lalu tersebut. Renungan ini penting supaya setiap tahun yang kita lewati memiliki makna dan arti bagi setiap pribadi dan orang lain. Dinamika hidup yang cepat dan mobilitas yang tinggi sudah sangat mengikis nilai-nilai kemanusiaan kita selama ini. Target hidup, ambisi yang tersembunyi dan nampak, system dunia kerja yang mekanistik, tujuan hidup yang berorientasi fisik dan jasmaniah telah sangat jauh melemparkan manusia dari hakekat tujuan keberadaannya di muka bumi ini. jangankan untuk memaknai eksistensinya sendiri, bahkan sekedar untuk menikmati indah dunia itu sendiri sudah mulai lupa.
Disaat bekerja, manusia sudah bukan lagi sebagai makhluk yang sedang mengaktualisasikan dirinya untuk memberikan manfaat kepada diri dan orang lain, namun telah berubah menjadi mesin dari sebuah mesin kapitalisme yang tujuannya hanya untuk mencapai keuntungan dan upah semata. Hubungan inter dan antar personal telah berubah menjadi hubungan untung rugi atau membawa manfaat atau tidak. Seorang atasan memandang bawahannya sebagai sekrup dari mesin produksi yang bisa disimpan, diganti atau bahkan dibuang apabila sudah tidak lagi memberikan laba yang berarti. Grafik dan statistic dari neraca perusahaan menjadi sarana dan masukan dalam menilai arti sebuah makhluk bernama manusia. Seorang bawahan memandang atasan tidak lebih dari tuhan-tuhan kecil yang dinilai sangat menentukan kehidupannya. Untuk mendapatkan restu dan kepastian hidupnya, mereka rela menjadi hamba sahaya, budak bahkan tidak lebih dari alas kaki atasan demi jaminan pemenuhan kebutuhan dasar semata.
Di dalam keluarga, anggota keluarga menjadi orang yang asing satu sama lain karena sudah mulai terkotak oleh peran dan tanggung jawab yang dipisahkan secara menejerial. Rumah tangga pun tidak lebih dari perusahaan kecil yang melulu bicara dan menghitung jumlah pendapatan dan pengeluaran. Surplus, balance dan deficit menjadi alat ukur kebahagaiaan dan kesejahteraan. Ketika suami mampu menjalankan perannya sebagai sumber pendapatan utama, isteri berperan sebagai pengelola keuangan dan anak-anak tidak lebih dari anak kecil yang harus menjadikan impian orang tuanya terwujud. Yang paling menyedihkan adalah terkikisnya hubungan anggota keluarga sebagai hubungan pertalian darah dan berganti menjadi hubungan yang dibalut dan diselubungi oleh hubungan kewajiban semata. Seorang ayah merasa telah menunaikan kewajibannya kepada anak isterinya ketika sudan merasa mampu memenuhi kebutuhan dari aspek ekonomi dan menyerahkan kebutuhan lainnya kepada mereka masing-masing untuk mencarinya. Atau seorang ibu merasa telah penuh memangkul kewajibannya ketika berhasil melahirkan dan member mereka makanan dan pakaian. Sementara anak merasa telah menunaikan kewajibannya ketika sudah mentaati orang tua.
Begitu juga dalam menjalani hidup. Manusia sudah mulai lupa dengan makna hidup itu sendiri. Sebenarnya, pergantian tahun adalah sarana untuk kembali menata hidup. Mungkin istilah ini agak sulit dipahami, namun yang jelas benarkah kita selama ini telah melewati hidup ini dengan benar. Indikatornya sederhana, bahagiakah kita selama ini? atau mungkin untuk mendefinisikan kebahagiaan itu sendiri kita sudah lupa!
Terserah orang mau menafsirkan arti bahagia, namun yang jelas tentunya kita berharap kebahagiaan itu benar-benar dinikmati dengan penuh kesadaran. Hal itu penting karena manusia sudah sedemikian dalam masuk ke dalam sebuah mekanisme kerja laksana mesin, maka moment tahun baru sudah selayaknya dan seharusnya dijadikan waktu untuk berhenti sejenak dan melakukan refleksi diri apakah hidup kita sudah benar dalam jalur yang kita tetapkan sejak awal. Contohnya adalah dalam memaknai kembali arti bekerja, berkeluarga dan memahami hidup dalam kesadaran penuh.
Sudahkah kita menempatkan kerja sebagai media aktualisasi diri dalam pergaulan social sehingga kita memandang kerja tidak semata bergerak dan digerakkan oleh keuntungan dan upah semata. Bekerja adalah menempatkan manusia pada proses untuk memberikan manfaat tidak saja kepada diri, namun juga kepada orang lain apakah itu isteri dan anak, keluarga, masyarakat sekitar atau bahkan kepada kemanusiaan itu sendiri. Bekerja/berusaha yang dilandasi oleh hubungan kemanusiaan mungkin terasa sangat naïf dan sulit dilakukan dalam kerangka masyarakat yang dipisahkan oleh pembagian kerja, system hierarki dan kepemilikan modal.
Mungkin saatnya kini kita memulai sebuah relasi kerja yang lebih menekankan hubungan kemanusiaan dimana kerja dan usaha berputar dan berpusat pada pemaknaan “ibadah” karena sehebat apapun kita meraih keuntungan, toh pada akhirnya tidak akan pernah kita nikmati disaat kita mati. Dan pemaknaan arti bekerja dan usaha justru ketika lingkungan kita bisa merasakan manfaat dari keberadaan kita melalui karya nyata kita baik berupa barang maupun jasa. Bekerja bukan semata upaya memenuhi kebutuhan dasar manusia, nmun juga sebagai proses pencarian makna hidup itu sendiri.
Begitu juga dalam ikatan keluarga. Keluarga bukanlah sebuah hubungan yang hanya dilandasi ikatan kewajiban, namun lebih dari itu adalah sebuah ikatan emosi dan perasaan. Sebuah ikatan sacral yang telah disepakati tidak hanya oleh dua individu tapi oleh dua “dunia” yang berbeda. Sebuah penyatuan dari dua jiwa yang memiliki karakter dan perbedaan pada setiap pori-pori tubuhnya. Dua ruh yang menyatu dalam ikatan pernikahan akan menjadi nyata ketika lahir seorang anak.
Anak bukan semata satu individu yang terlahir dari sebuah ketidaksengajaan atau takdir semata. Anak adalah sebuah bukti dari ikatan yang dibuat dalam balutan kasih sayang. Seharusnya dan selayaknya, anak menjadi muara sekaligus hulu dari makna keberadaan kita sebagai manusia.
Anak tidak semata individu yang terpisah dari orang tua, sehingga tidaklah layak orang tua hanya berbicara masalah kewajiban anak dan hak orang tua, namun juga harus bicara hak anak dan kewajiban orang tua. Dan itupun bukan selalu dalam konteks ekonomi dan biologis, namun yang sering dilupakan adalah factor afeksi, kasih sayang, perhatian, belaian dan pujian serta arahanlangsung dari orang tua sebagai “sekolah” pertama anak dalam bersosialisasi.
Oleh karena itu, marilah kita jadikan moment tahun baru menjadi saat yang tepat untuk melakukan tata ulang kehidupan kita menuju kea rah yang lebih baik.
LUNA…LUNA…
Ada apa denganmu Luna sehingga kau lupa dengan nalar yang Tuhan berikan padamu? Aku mengagumimu, menyayangimu dan menyukaimu seperti apa adanya. Semua laki akan terus memandangmu semampu mereka dan kami yakin engkau bukan artis karbitan seperti yang diucapkan mereka itu.
Luna, sudah separah itukah kebencianmu pada para jurnalis kacang itu? Para jurnalis “dadakan” yang hanya mampu mengorek keterangan melalui desas-desus dan berlindung dibalik hak profesi jurnalis. Sudah serendah itukah pandanganmu kepada mereka yang kau sadari atau tidak justru telah melambungkanmu dengan berbagai isyu dan sas-sus.
Luna….Luna….
Aku bingung menempatkan diriku dimana karena aku pun tidak habis piker mengapa kamu mengatakan hal sekasar itu. Memang kau bebas berbicara, memang kau bebas berekspresi dan bebas mengemukakan pandanganmu atas sesuatu, tapi rasanya kata-kata itu terlalu kasar. Pendapatku bisa jadi memang subjektif lun….tapi memang begitulah perasaanku ketika mengetahui apa yang kau tulis di twetter itu.
Tapi aku tetap menghargai itu sebagai hak mu!
Nah…sekarang kamu mulai menyadari dampak dari apa yang kau perbuat. Indonesia belum siap dengan keterbukaan seluas itu. Indonesia masih tertidur lelap dan nyenyak dengan bayangan sebagai Negara beradab, bersusila atau beretika. Padahal apa yang mereka lakukan sangat-sangat bertentangan dengan itu. Termasuk mereka, wartawan infotainment itu! Mereka mencari nafkah dari luka, borok, aib dan kesalahan orang lain. Mereka memang makan dari darahmu, dagingmu, tubuhmu dan semua yang menempel dari dirimu. Mereka berdalih semua warga Indonesia berhak untuk mendapatkan informasi apapun dengan cara apapun, dari sumber apapun. Tapi mereka tidak pernah berpikir apakah informasi itu penting bagi berkembangnya peradaban bangsa ini atau justru menghancurkan peradaban manusia itu sendiri.
Jangan percaya mereka mengabarkan dirimu dengan alasan menyampaikan berita! Jangan percaya dengan profesionalisme yang mereka teriak-teriakan! Mereka hanya kuli-kuli dari kapitalisme jurnalistik. Keuntungan Luna…! Modal Luna….! Rating Luna…..! Makanya jangan heran mereka akan terus membututimu kemanapun kau pergi, apapun yang kau katakana dan apapun yang kau kenakan. Mereka hanya memuaskan hasrat dan nafsu rendah manusia, yaitu suka membuka aib orang sebagai upaya membenarkan apa yang mereka lakukan dan menyalahkan apa yang orang lain lakukan. Hati-hati Luna dengan mereka! Mereka toh tidak lebih dengan apa yang kau sebut di twitter itu. Hanya yang mereka jual adalah profesi mereka.
Dimanapun di dunia ini banyak wartawan seperti yang kau sebut. Bahkan sudah jelas, Lady Di adalah salah satu contoh dari kejemuan seseorang yang terus menjadi sapi perah wartawan “karbit” itu. Dan aku harap kau tidak seperti Lady Di itu! Jangan kau sia-siakan hidupmu yang sudah sangat indah dan sempurna itu hanya untuk menanggapi wartawan “kacang” dan “dadakan” itu.
Nikmati hidupmu sekarang yang sudah nyaris sempurna. Kecantikanmu, kepintaranmu, kepopuleranmu juga…jangan kau sia-siakan!
Bandung, 23 Desember 2009
GUSDUR IN MEMORIAM
Salah satu tokoh yang sangat berpengaruh pada pandangan politik dan keagamaan saya adalah GUSDUR. Pandangannya tentang demokrasi dan kesetaraan umat manusia yang universal sangat membuka pikiran dan pandangan saya tentang hakekat bernegara dan beragama bagi umat manusia. Bahkan tidak hanya dalam bentuk pandangan dan pemikiran, bahkan GUSDUR berani dengan terang-terangan membela kaum minoritas Kong Hu Chu dan kaum Tionghoa yang berjuang agar agama mereka diakui di Negara ini. Itulah hakekat dari perjuangan, “pelaksanaan kata-kata!” dan GUSDUR berani berseberangan dengan tokoh agama Islam untuk mempertahankan pendapat dan keyakinannya yaitu memperlakukan manusia sebagai manusia semata, lepas dari agama, ras, bangsa atau Negara.
GUSDUR tidak controversial! Beliau tetap dan teguh pada pendiriannya yang besar, yaitu memperjuangkan demokrasi dan kemanusiaan tiu sendiri. Berbagai pendapat dan pandangannya yang seolah sering berbeda dengan masyarakat umum, justru membuktikan bahwa GUSDUR teguh dengan keyakinannya itu.
GUSDUR sulit tertandingi dalam memperjuangkan pluralism dan egalitarianism. Keutuhan bangsa ini senantiasa menjadi harga mati. Beliau tidak pernah silau dengan bendera dan atribut keagamaan yang dianutnya dan tidak pernah pula bangga Islam sebagai agama mayoritas di Negara ini, karena bagi beliau kehidupan berbangsa yang damai dalam keberanekaragaman adalah sebuah keniscayaan. GUSDUR mungkin adalah tokoh yang ingin menasionalkan Islam di Indonesia agar Islam menjadi agama yang universal dan bisa dipahami dan diresapi sebagai tata nilai yang juga melekat dan terkandung di agama lainnya di dunia ini.
Dan satu lagi yang saya kagumi adalah penampilannya yang sangat bersahaja dan humoris. Tidak ada orang yang menandingi “sense of humor” yang dimiliki oleh GUSDUR. Hal ini karena selain kegiatannya yang dinamis dan sejumlah jabatan yang disandangnya, beliau masih menyimpan rasa humor yang tinggi.
Semoga Tuhan terhibur oleh GUSDUR di “sana”.
Langganan:
Postingan (Atom)