Lamunanku dikejutkan oleh suara kaca kelas yang pecah. Belum reda keterkejutanku tiba-tiba Hendra teman sebangkuku terguling dan darah mengucur dari kepalanya. Aku terdiam dan mencoba mencari jawaban atas kejadian yang tiba-tiba ini. Semua teman kelasku berhamburan keluar sambil menjerit dan berteriak histeris. Aku keluar kelas dengan membopong Hendra yang mungkin sudah tidak sadarkan diri. Bajuku terkena cipratan darahnya yang terus mengalir. “Ndra…Ndra…kenapa lo?” aku mencoba menanyakan keadaannya. Semua sia-sia. Suasana sekolahku semakin tidak karuan, para perempuan menjerit dan laki-lakinya berteriak sambil melempar batu ke arah luar gerbang.
Aku terkejut saat melihat belasan anak SMA lain juga melakukan yang sama di luar sana. Dalam kecemasanku akan kondisi Hendra, aku meraih sebuah batu didekatku dan dengan tenaga yang ada aku lempar keluar tanpa tahu kenapa dan kepada siapa batu itu diarahkan. Beberapa detik setelah itu aku mendengar sorak gembira teman-temanku seiring perginya belasan siswa SMA yang tidak aku kenal itu entah kemana.
“Hidup Seto, hidup Seto…” lalu sebagian dari mereka tiba-tiba mengangkat tubuhku layaknya pelatih Spanyol yang diangkat para pemain seusai final melawan Jerman. Aku bingung, tapi aku angkat kedua tanganku layaknya seorang pahlawan. Kenapa? Aku sendiri bingung.
Pada saat istirahat itulah aku baru menyadari bahwa tadi sekolahku diserang STM Otomotif karena masalah kemarin sore. Katanya, mereka mengganggu cewek SMA ku dan pelakunya dikeroyok rame-rame oleh teman-temanku dan ternyata mereka tidak terima perlakuan itu. Mereka marah dan menyerang sekolah ini keesokan harinya. Aku senang. Entahlah..selama ini aku dikenal sebagai siswa aneh,Freak,culun dan kampungan. Tapi dalam sekejap aku menjadi banyak teman. Lemparanku yang asal lempar ternyata berhasil mengenai, melukai dan menyebabkan seorang anak STM itu pingsan. Lalu mereka pergi.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku membaca koran kejadian kemarin pagi. Anak STM itu belum sadar. Namanya Ari, anak kelas X yang baru tiga minggu sekolah. Dia pergi dipaksa kakak kelas untuk ikut menyerang sekolah ku dengan alasan solidaritas. Tanpa persiapan apapun dia menyerang sekolahku. Terkena lemparanku tepat dimatanya dan dinyatakan bisa menyebabkan kebutaan. Aku tercenung. Diam. Kedua lututku gemetar…inikah hasil dari ketidaktahuan dan kebodohanku? Apa bedanya aku dengan dia? Tidak tahu apa-apa! Sekilas aku membaca, kedua orang tuanya menangis karena Ari adalah anak sulung yang selama ini membantu mencari penghasilan dengan menjual koran.
Ketiga adiknya yang masih kecil belum bisa berbuat apa-apa. Bapaknya yang pincang mengandalkan penghasilan dari Istrinya sebagai pembantu dan Ari. Si penjual koran. Yang bisa buta oleh lemparanku. Pahlawan sekolah. Yang tidak tahu apa-apa.
BANDUNG, 04 AGUSTUS 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar