Ini semata-mata ulasan seorang manusia yang selalu dirundung kegelisahan akan makna kehidupan. Mohon maaf bila tulisan ini agak mencolek rasa dan akal sebagian kepercayaan. Tanpa melihat latar belakang agama, ras dan keyakinan, saya hanya mencoba menjawab sendiri, pertanyaan dari saya sendiri. Mohon maaf khususnya kepada penganut agama Hindu yang meyakini adanya reinkarnasi, apabila ulasan saya ini tidak pada tempatnya dan ada ulasan yang tidak sesuai dengan ajaran yang sesungguhnya.
--------0000--------
Saya sering bertanya, kejamkah Tuhan?
Tuhan sudah mentakdirkan kita untuk dilahirkan kedunia ini tanpa diberikan pilihan. Bagiku ini saja sudah merupakan siksaan terberat dibandingkan tidak dilahirkan sama sekali. Bukan karena sudah terlanjur dilahirkan saya berkata ini. Tapi lebih karena…setelah kelahiran ini, menjalani kehidupan dengan segala pilihannya, lalu dalam beberapa tahun harus menjemput kematian. Selesai? Ternyata tidak….masih ada kehidupan yang lain. Syorga dan neraka.
Bayangkan….!
Dengan dilahirkan tanpa ada kesanggupan untuk menolak, lalu harus hidup dengan berbakti kepada-Nya dengan segala interpretasi dan keterbatasan duniawi dalam menyikapinya,, lalu kita divonis untuuk masuk syorga atau neraka…selamanya.
Adilkah kehidupan seperti itu? Kehidupan yang sangat-sangat-sangat-sangat-sangat singkat ini akan dibayar dengan kekalan di alam lain. Terbayang apabila kehidupan saya sekarang diisi dengan banyak dosa, lalu mati masuk neraka sekekal-kekalnya. Tak adakah kebaikan walau sebiji zarah sekalipun? Yang membuat saya akan masuk sorga? Disini saya tidak berbicara dalam koridor satu agama saja, karena saya yakin Tuhan itu satu, maka apapun agama yang ada di dunia ini, tentunya ada karena atas “ijin-Nya”.
Seandainya saya bukan muslim, lalu saya memilih untuk berbuat baik dalam hidup ini…apakah semua kebaikan saya akan hilang dan dibayar dengan neraka kekal hanya karena saya tidak memilih keyakinan akan Tuhan dengan cara Islam? Atau kalau bukan penganut agama Kristen, maka saya tidak akan masuk sorganya-nya agama Kristen walau sejuta kebaikan telah aku lakukan karena aku bukan kristen? Hindu atau Budha? Atau semua kebaikan saya akan kalah oleh orang yang mengaku Islam, Kristen, Hindu atau Budha dan sekali berbuat kebaikan namun diberikan jaminan masuk sorga walau dengan syarat disiksa dulu di neraka.
Layakah kehidupan yang sangat singkat ini menjadi satu-satunya landasan untuk hidup kekal di sorga atau neraka? Seberapa besar kesalahan kita di dunia ini sehingga hanya dengan hitungan tahun….kita dinyatakan layak ditempatkan selamanya di sorga dan neraka?
Saya tahu dan setuju, orang yang melakukan dosa dengan menyakiti orang lain dengan kesadaran penuh itu harus menerima konsekuensi dari perbuatannya . Tapi….hidup selamanya di neraka? Wui…hhh…..apalagi kita tidak pernah bisa membuktikan kebenaran mana yang sejati kecuali karena doktrin dan dogma yang menjejali kita sejak lahir.
Atau itulah keadilan Tuhan?
REINKARNASI
Dulu saya menganggap reinkarnasi hanyalah isapan jempol belaka. Tapi kemudian saya menyadari, isapan jempol itu berlaku untuk semua kepercayaan, karena tidak ada satupun yang bisa membuktikan kebenaran dari teori sesudah mati kecuali atas dasar kepercayaan.
Reinkarnasi, sebuh kepercayaan yang menyatakan bahwa jiwa orang yang mati akan kembali dilahirkan ke dunia ini dengan wujud dan eksistensi yang berbeda dari kehidupan sebelumnya. Bagaimana eksistensi kita di kehidupan yang akan dating, akan sangat tergantung pada perilaku kita saat ini.
Apabila saya menginginkan kehidupan yang jauh lebih baik dimasa yang akan datang, maka sekarang saya harus mengabdikan kehidupan ini untuk kebaikan umat manusia, diri sendiri dan keyakinan saya. Atau sebaliknya, bila kita berbuat baik, maka kita akan mendapatkan kesempatan hidup kembali dalam kehidupan yang lebih baik. Bila kita mengisi hidup ini dengan dosa dan perbuatan menyakiti alam raya , maka hukumannya adalah kita hidup kembali di dunia ini dengan bentuk dan wujud yang lebih buruk dari sekarang.
Kelebihan reinkarnasi
Apa “kelebihan” teori atau keyakinan ini dibandingkan dengan kepercayaan hidup yang linier, lahir, hidup dan mati, sorga/neraka?
1. Reinkarnasi, setidaknya memberikan kesempatan kedua kepada kita untuk memperbaiki jalan hidup kita secara berkelanjutan.
2. Setidaknya kita tidak akan mempertaruhkan kehidupan yang sangat singkat ini untuk digadaikan dengan sesuatu yang permanent dan kurang seimbang dalam proses dan nilainya.
3. Ruh adalah sebuah energi. Dalam hukum kekekalan energi menyatakan bahwa energi tidak akan hilang, hanya berubah secara wujud. Reinkarnasi sanat percaya bahwa seluruh alam raya ini memiliki ruh, energi atau nyawa.
4. Reinkarnasi menjadi sebuah media untuk jiwa supaya mencapai puncak tertinggi, yaitu moksa dengan tidak dilahirkan kembali dan menyatu dengan Tuhan (alam). Dan itu adalah pencapaian tertinggi bagi manusia.
5. Tidak ada sorga dan neraka yang kekal bagi jiwa. Sorga dan neraka adalah persinggahan sementara bagi jiwa yang akan dilahirkan kembali. Apakah persinggahan itu baik atau tidak, neraka atau sorag sangat tergantung pada apa yang telah kita lakukan dahulu dan akan dilahirkan menjadi apa dimasa yang akan dating.
6. Semakin baik perbuatan kita, maka loncatan/quantum kebaikan dikehidupan yang akan datang akan kita peroleh. Begitu juga apabila kesalahan dan dosa kita sangat banyak, maka lompatan kehidupan yang lebih buruk pun akan kita alami.
7. Reinkarnasi sangat menekankan kesamaan hakekat nilai semua makhluk karena pada hakekatnya jiwa yang bersemayam pada setiap wujud kehidupan berasal dari jiwa yang sama. Manusia dan batu, manusia dan gajah, manusia dan setiap butir partikel atom, manusia dan pohon beringin pada hakekatnya adalah sama, hanya wujud serta kelebihan dan kelemahan wujud fisiknya yang membuat jiwa berbeda mengaktualisasikan dirinya. Kapasitas otak dan keunggulan fisik manusia, lebih mempermudah juwa untuk mengaktualisasikan “dirinya” ketimbang ketika jiwa bersemayam di dalam wujud cacing.
8. Kesamaan kesadaran akan asal muasal jiwa yang bersemayam dalam setiap wujud kehidupan ini akan menimbulkan kesadaran untuk saling menghargai, menyayangi dan menghormati sesame makhluk. Tidak ada rasa lebih mulia, lebih hebat dan lebih berhak mendapat anugrah Tuhan ketimbang makhluk lainnya. Kita akan sedikit mencibir dan heran bila ada seekor anjing bias masuk sorga misalnya. Bahkan sering kita mellihat tingkah laku beberapa binatang atau tumbuhan yang bertingkah selayaknya manusia.
9. Setiap kepunahan yang dialami suatu jenis makhluk hdiup, maka akan diikuti munculnya jenis makhluk hidup lainnya atau akan bertambahnya populasi jenis yang lain. Jumlah jiwa yang hidup tidak akan berkurang atau bertambah, hanya bentuknya yang berbeda. Kekuasaan alam yang membuat seleksinya sendiri. Bayangkan seandainya jumlah manusia itu semakin banyak, berapa jenis makhluk hidup akan hilang? Begitu juga sebaliknya!
10. Bumi tidak pernah berubah besarannya. Lahan semakin sempit dan jumlah manusia terus bertambah. Menimbulkan sebuah konsekuensi hilangnya beberapa jenis makhluk hidup karena hukum alam. Dan tidak mustahil itu adalah manusia!! Lantas apakah jiwa ini akan hilang begitu saja?
Begitulah saya mencoba memahami reinkarnasi, hidup dan misteri kehidupan kematian. Semua ini cukup memberikan wawasan, itu saja. Semoga!
19 feb 2009
Tuhan menciptakan manusia karena cinta...setelah itu....????
Kamis, 19 Februari 2009
Minggu, 15 Februari 2009
GOLPUT HARAM? Cape...deh....!
Maaf, pengetahuan saya tentang agama memang tidak semendalam orang lain, namun sandaran saya keyakinan akan logisnya Islam sebagai agama. Oleh karena itu maka, hanya dengan melandaskan pada logika, saya yakin pandangan saya tidak menyimpang dari Islam.
Golongan putih dalam pemilu di Indonesia terbagi menjadi dua kelompok besar, pertama yaitu golput atas ketidaktahuan dan ketidaksadaran , kedua golput atas kesadaran dan pengatahuan. Mungkin golongan pertama inila yang merupakan golongan terbesar.
Golongan putih atas ketidaktahuan dan ketidaksadaran adalah mereka yang tidak terlibat pemilu karena alasan tidak tahu dan tidak mau tahu. Pasivitas mereka lebih didasarkan pada ketidakmauan untuk terlibat karena ada yang lebih penting untuk dikerjakan, misalnya berdagang atau menjadi sopir angkot. Bagi golongan ini, pemilu bukanlah sebuah peristiwa yang menjadi penentu keberlanjutan hidup mereka, pemilu hanyalah peristiwa kenegaraan biasa seperti halnya peringatan hari kemerdekaan. Inilah target utama sosialisasi penyelenggara pemilu dan fatwa haram. Dalam Islam mencari ilmu adalah wajib, begitu juga dengan ilmu tentang pemilu. Begitu juga dengan ketidakpeduliannya dengan manfaat pemilu bagi kehidupan berbangsa, bermasyarakat, khususnya dalam menjaga keberlangsungan akan kebebasan menjalankan agama masing-masing.
Golput kedua adalah golongan yang memilih untuk tidak memilih karena kesadaran dan pengetahuannya. Golongan ini bukan tidak menyetujui adanya pemilu, bahkan mungkin menjadi orang yang gencar mensosialisasikan pentingnya pemilu. Yang menjadi masalah adalah ketidakpercayaannya kepada system atau figure yang terlibat dalam pemilu. Mahasiswa, eksekutif, aktivis LSM dan lainnya melakukan gerakan golput ini karena alasan-alasan diatas. Mereka khawatir kalau dipaksakan memilih akan lebih mempeburuk keadaan. Salah memilih dalam pemilu, baik partai atau figure akan berdampakbesar pada nasib bangsa. Kekhawatiran ini kemudian diapresiasikan dalam bentuk pipihan untuk tidak memilih.
Fatwa MUI yang mengharamkan golput ini perlu dipertanyakan, karena tidak semua orang golput karena ketidakpedulian terhadap nasib bangsa, tapi justru sebagai bentuk kehati-hatian dalam menentukan sikap dan pilihan.
Adapun alasan MUI yang mengatakan golput haram selama masih ada calon pemimpin yang baik, sangatlah rancu dan subyektif. Kata “baik” sangat luas dan bisa berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Baik menurut anda belum tentu baik menurut kami!
Dan yang paling penting adalah bahwa memilih adalah hak, bukan kewajiban, sehingga hak bisa di”ambil” atau tidak. Selama golput dilandasi oleh kesadaran dan pengetahuan maka itu menjadi sebuah pillihan.
Dengan semakin banyaknya masyarakat yang golput, maka penyelenggara pemilu dapat melakukan evaluasi dan introspeksi untuk memperbaiki system pemilu menjadi lebih baik, accountable dan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.
Toh seberapa besarnya angka golput tidak akan mempengaruhi legalitas formal sebagai anggota legislative maupun presiden. Hanya legalitas pemilu dan figure yang akan dipertanyakan secara moral. Oleh karena itu, rasanya fatwa MUI yang mengharamkan golput terasa kontraproduktif dalam system demokrasi yang sedang kita bangun.
Mari kita sukseskan pemilu sebagai media dan sarana memilih pemimpin yang baik untuk bangsa ini. Cari tahu figure dan visi dari semua pihak yang terlibat. Jangan ragu menetukan pilihan, memilih atau tidak memilih.
Golongan putih dalam pemilu di Indonesia terbagi menjadi dua kelompok besar, pertama yaitu golput atas ketidaktahuan dan ketidaksadaran , kedua golput atas kesadaran dan pengatahuan. Mungkin golongan pertama inila yang merupakan golongan terbesar.
Golongan putih atas ketidaktahuan dan ketidaksadaran adalah mereka yang tidak terlibat pemilu karena alasan tidak tahu dan tidak mau tahu. Pasivitas mereka lebih didasarkan pada ketidakmauan untuk terlibat karena ada yang lebih penting untuk dikerjakan, misalnya berdagang atau menjadi sopir angkot. Bagi golongan ini, pemilu bukanlah sebuah peristiwa yang menjadi penentu keberlanjutan hidup mereka, pemilu hanyalah peristiwa kenegaraan biasa seperti halnya peringatan hari kemerdekaan. Inilah target utama sosialisasi penyelenggara pemilu dan fatwa haram. Dalam Islam mencari ilmu adalah wajib, begitu juga dengan ilmu tentang pemilu. Begitu juga dengan ketidakpeduliannya dengan manfaat pemilu bagi kehidupan berbangsa, bermasyarakat, khususnya dalam menjaga keberlangsungan akan kebebasan menjalankan agama masing-masing.
Golput kedua adalah golongan yang memilih untuk tidak memilih karena kesadaran dan pengetahuannya. Golongan ini bukan tidak menyetujui adanya pemilu, bahkan mungkin menjadi orang yang gencar mensosialisasikan pentingnya pemilu. Yang menjadi masalah adalah ketidakpercayaannya kepada system atau figure yang terlibat dalam pemilu. Mahasiswa, eksekutif, aktivis LSM dan lainnya melakukan gerakan golput ini karena alasan-alasan diatas. Mereka khawatir kalau dipaksakan memilih akan lebih mempeburuk keadaan. Salah memilih dalam pemilu, baik partai atau figure akan berdampakbesar pada nasib bangsa. Kekhawatiran ini kemudian diapresiasikan dalam bentuk pipihan untuk tidak memilih.
Fatwa MUI yang mengharamkan golput ini perlu dipertanyakan, karena tidak semua orang golput karena ketidakpedulian terhadap nasib bangsa, tapi justru sebagai bentuk kehati-hatian dalam menentukan sikap dan pilihan.
Adapun alasan MUI yang mengatakan golput haram selama masih ada calon pemimpin yang baik, sangatlah rancu dan subyektif. Kata “baik” sangat luas dan bisa berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Baik menurut anda belum tentu baik menurut kami!
Dan yang paling penting adalah bahwa memilih adalah hak, bukan kewajiban, sehingga hak bisa di”ambil” atau tidak. Selama golput dilandasi oleh kesadaran dan pengetahuan maka itu menjadi sebuah pillihan.
Dengan semakin banyaknya masyarakat yang golput, maka penyelenggara pemilu dapat melakukan evaluasi dan introspeksi untuk memperbaiki system pemilu menjadi lebih baik, accountable dan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.
Toh seberapa besarnya angka golput tidak akan mempengaruhi legalitas formal sebagai anggota legislative maupun presiden. Hanya legalitas pemilu dan figure yang akan dipertanyakan secara moral. Oleh karena itu, rasanya fatwa MUI yang mengharamkan golput terasa kontraproduktif dalam system demokrasi yang sedang kita bangun.
Mari kita sukseskan pemilu sebagai media dan sarana memilih pemimpin yang baik untuk bangsa ini. Cari tahu figure dan visi dari semua pihak yang terlibat. Jangan ragu menetukan pilihan, memilih atau tidak memilih.
VALENTINE, MENGAPA DITOLAK?
Ah...masyarakat Indonesia memang selalu latah budaya dan gagap pendapat. Ketika televisi merebak dan menayangkan gegar budaya barat, maka kemudian masyarakat Indonesia pun meniru, dengan mentah dan tanpa saringan yang memadai. Kita tidak pernah sesaat untuk merenungkan setiap nilai dari budaya yang datang ke negeri ini. Makanan, pakaian, sistem sosial, perayaan dan lainnya begitu kentara dilakukan tanpa mampu melakukan penyesuaian dengan nilai dan budaya yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia. Misalnya dalam meniru gaya pakaian, tidak semua pakaian yang cocok dikenakan orang Amerika atau Eropa dapat cocok dipakai orang Indonesia, tapi dengan kecerdasan perancang busana, pakaian barat menjadi enak dipandang ketika dipakai di Indonesia. Tapi masih ada juga yang secara mentah meniru dan memaksakan dipakai di tengah masyarakat yang masih lekat dengan tata nilai kesopanan leluhur, sehingga terkesan jauh dan terpisah dalam tata pergaulan masyarakat.
Ada hal yang penting ketika berbicara masalah penetrasi dan hegemoni budaya barat ke Indonesia. Pertama adalah tidak semua budaya barat itu jelek dan buruk, itu jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Kedua, budaya bangsa Indonesia yang mana yang selalu disanjung memiliki nilai tinggi? pakaian, kepercayaan, tata kesopanan atau korupsi? Ketiga, yang dimaksud dengan menyaring budaya memilikidua unsur, yaitu kesadaran akan tindakan meniru dan pengetahuan tentang budaya baru tersebut, sehingga ketika kita meniru dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari, benar-benar atas kesadaran dan pengetahuan yang lengkap sehingga mampu melakukan penyesuaian dan tidak menjadi dan merasa terasing di dalam masyarakatnya sendiri.
Hal ini perlu dipaparkan mengingat, Valentine menjadi suatu "budaya" baru yang cukup menarik perhatian baik bagi yang merayakannya maupun yang menolaknya. sayangnya, semua itu hanya berlaku sesaat dan kemudian hilang lagi. Wacana dan langkah konkret melakukan perenungan bersama ini penting sehingga kita bisa lebih cerdas menyikapi perbedaan pendapat yang pro dan kontra tentang Valentine day ini.
Ketika menerima valentine day, masyarakat kita menerima dengan mentah dan begitu pula dengan sikap menolaknya. Beramai-ramai berbagai kalangan secara demonstratif menolak perayaan ini, tapi hanya sebatas menolak dengan alasan bukan budaya Indonesia. padahal kalau mau jujur sebetulnya, budaya mana yang benar-benar budaya bangsa ini? lalu ada yang beralasan karena dengan hari kasih sayang ini sering dijadikan kesempatan untuk mengumbar sex atas nama cinta. ada juga yang berpendapat bahwa budaya ini tidak Islami dan lebih bernuansa Kristiani.
Pakaian dengan dasi dan jas, dangdut, Maulid nabi dan hari Ibu juga bernuansa budaya barat. Bahkan Maulid Nabi pun merupakan peniruan dari perayaan Natal nya kaum Nasrani dengan maksud menanamkan dan mendakwahkan keteladanan Nabi Muhammad yang pada saat perang salib diperlukan untuk menumbuhkan semangat dan rasa solidaritas antara umat Islam. Lantas mengapa Valentine day ditolak karena semata-mata tidak Indonesia dan Islam? Free sex sebagai efek yang dikhawatirkan dari perayaan itupun hanyalah sebuah phobia. Karena tata pergaulan remaja dan orang dewasa saat ini benar-benar telah sedemikian permisif dengan tata pergaulan bebas akibat gempuran budaya dan ketidaktahanan budaya bangsa ini dalam mengantisipasinya. bukan semata-mata karena Valentine day. karena juga masih ada seorang anak yang menunjukkan kasih sayangnya kepada Ibu, seorang anak kepada sahabatnya, atau menggaungkan perdamaian dan kasih sayang justru di tanggal 14 Februari ini.
Tulisan ini bukan untuk membela atau menyatakan pro terhadap perayaan hari kasih sayang itu. itu tidaklah penting bagi penulis! yang terpenting adalah, menanamkan kesadaran yang utuh kepada siapapun yang merayakannya, untuk lebih memaknai hari itu dengan jernih dan memanfaatkannya secara cerdas dan sesuai dengan tata nilai yang berlaku di suatu masyarakat. Bagi yang menentangnya, semoga tulisan ini dapat merangsang untuk secara jeli dan cerdas mengajukan alasan yang dapat diakui sebagai pendapat logis dan argumentatif tanpa membawa sentimen-sentimen yang tidak laku di masyarakat.
SOLUSI
Siapapun yang memulai dan darimanapun suatu budaya itu muncul, pasti lahir dari sebuah kebutuhan. Indonesia memang menjadi pasar empuk bagi para kapitalis barat untuk menjual barang yang berhubungan dengan valentine tersebut. Kita menjadi tidak menyadari bahwa barang yang kita beli untuk perayaan itu adalah produk atau hanyalah hasil dari sebuah iklan para produsen di negara jauh sana. Kita hanya membeli tanpa mampu berkreasi untuk memanfaatkannya bagi bangsa ini.
Oleh karena itu, perlu kerjasama yang baik antar berbagai elemen untuk lebih cerdas menyaring dan menyesuaikan suatu budaya yang masuk sehingga dapat lebih mudah diterima tanpa ada penolakan yang berbau sentimen. Perayaan, pakaian, makanan atau apapun hasil budaya lain yang datang ke Indonesia dapat dijadikan momentum untuk memperkaya khazanah bangsa.
Misalnya dimulai dengan mensosialisasikan bagaimana seharusnya masyarakat Indonesia dalam menunjukkan rasa kasih sayangnya. buatlah sebuah tanggal dan waktu yang berbeda, warna dan ciri yang berbeda. akan lebih efektif melalui media massa ditumbuhkan sebuah budaya baru tersebut. sinteron atau acara musik dapat menghaluskan pesan yang disampaikan namun dapat diterima sebagai bagian dari budaya bangsa. tokoh agama menyaring dan menentukan rambu dari perayaan tersebut, psikolog dapat bersinergi dengan membuat sebuah sebuah landasan teori tentang perlunya sebuah momentum untuk menyatakan perasaan kasih sayang, sama halnya dengan orang yang meminta maaf disaat lebaran. Stasiun televisi lalu memulai sebuah kesadaran baru untuk tidak lagi menggembar-gemborkan 14februari sebagai hari valentine, tapi pada tatanan baru, bentuk dan simbol baru yang telah kita sesuaikan dengan khazanah bangsa.
sulit ya? bisa jadi, tapi itu jauh lebih bermanfaat ketimbang dua pihak hanya bisa berdemo tanpa memaknai peristiwa dari momentum, lalu melupakannya untuk kembali dipermasalahkan setiap tahun. dan yang penting hal ini tidak hanya berlaku untuk hari valentine saja tapi juga setiap perayaan lainnya, seperti Hallowen.
Semoga tulisan ini memberikan solusi dan tidak menjadi polemik baru.
Ada hal yang penting ketika berbicara masalah penetrasi dan hegemoni budaya barat ke Indonesia. Pertama adalah tidak semua budaya barat itu jelek dan buruk, itu jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Kedua, budaya bangsa Indonesia yang mana yang selalu disanjung memiliki nilai tinggi? pakaian, kepercayaan, tata kesopanan atau korupsi? Ketiga, yang dimaksud dengan menyaring budaya memilikidua unsur, yaitu kesadaran akan tindakan meniru dan pengetahuan tentang budaya baru tersebut, sehingga ketika kita meniru dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari, benar-benar atas kesadaran dan pengetahuan yang lengkap sehingga mampu melakukan penyesuaian dan tidak menjadi dan merasa terasing di dalam masyarakatnya sendiri.
Hal ini perlu dipaparkan mengingat, Valentine menjadi suatu "budaya" baru yang cukup menarik perhatian baik bagi yang merayakannya maupun yang menolaknya. sayangnya, semua itu hanya berlaku sesaat dan kemudian hilang lagi. Wacana dan langkah konkret melakukan perenungan bersama ini penting sehingga kita bisa lebih cerdas menyikapi perbedaan pendapat yang pro dan kontra tentang Valentine day ini.
Ketika menerima valentine day, masyarakat kita menerima dengan mentah dan begitu pula dengan sikap menolaknya. Beramai-ramai berbagai kalangan secara demonstratif menolak perayaan ini, tapi hanya sebatas menolak dengan alasan bukan budaya Indonesia. padahal kalau mau jujur sebetulnya, budaya mana yang benar-benar budaya bangsa ini? lalu ada yang beralasan karena dengan hari kasih sayang ini sering dijadikan kesempatan untuk mengumbar sex atas nama cinta. ada juga yang berpendapat bahwa budaya ini tidak Islami dan lebih bernuansa Kristiani.
Pakaian dengan dasi dan jas, dangdut, Maulid nabi dan hari Ibu juga bernuansa budaya barat. Bahkan Maulid Nabi pun merupakan peniruan dari perayaan Natal nya kaum Nasrani dengan maksud menanamkan dan mendakwahkan keteladanan Nabi Muhammad yang pada saat perang salib diperlukan untuk menumbuhkan semangat dan rasa solidaritas antara umat Islam. Lantas mengapa Valentine day ditolak karena semata-mata tidak Indonesia dan Islam? Free sex sebagai efek yang dikhawatirkan dari perayaan itupun hanyalah sebuah phobia. Karena tata pergaulan remaja dan orang dewasa saat ini benar-benar telah sedemikian permisif dengan tata pergaulan bebas akibat gempuran budaya dan ketidaktahanan budaya bangsa ini dalam mengantisipasinya. bukan semata-mata karena Valentine day. karena juga masih ada seorang anak yang menunjukkan kasih sayangnya kepada Ibu, seorang anak kepada sahabatnya, atau menggaungkan perdamaian dan kasih sayang justru di tanggal 14 Februari ini.
Tulisan ini bukan untuk membela atau menyatakan pro terhadap perayaan hari kasih sayang itu. itu tidaklah penting bagi penulis! yang terpenting adalah, menanamkan kesadaran yang utuh kepada siapapun yang merayakannya, untuk lebih memaknai hari itu dengan jernih dan memanfaatkannya secara cerdas dan sesuai dengan tata nilai yang berlaku di suatu masyarakat. Bagi yang menentangnya, semoga tulisan ini dapat merangsang untuk secara jeli dan cerdas mengajukan alasan yang dapat diakui sebagai pendapat logis dan argumentatif tanpa membawa sentimen-sentimen yang tidak laku di masyarakat.
SOLUSI
Siapapun yang memulai dan darimanapun suatu budaya itu muncul, pasti lahir dari sebuah kebutuhan. Indonesia memang menjadi pasar empuk bagi para kapitalis barat untuk menjual barang yang berhubungan dengan valentine tersebut. Kita menjadi tidak menyadari bahwa barang yang kita beli untuk perayaan itu adalah produk atau hanyalah hasil dari sebuah iklan para produsen di negara jauh sana. Kita hanya membeli tanpa mampu berkreasi untuk memanfaatkannya bagi bangsa ini.
Oleh karena itu, perlu kerjasama yang baik antar berbagai elemen untuk lebih cerdas menyaring dan menyesuaikan suatu budaya yang masuk sehingga dapat lebih mudah diterima tanpa ada penolakan yang berbau sentimen. Perayaan, pakaian, makanan atau apapun hasil budaya lain yang datang ke Indonesia dapat dijadikan momentum untuk memperkaya khazanah bangsa.
Misalnya dimulai dengan mensosialisasikan bagaimana seharusnya masyarakat Indonesia dalam menunjukkan rasa kasih sayangnya. buatlah sebuah tanggal dan waktu yang berbeda, warna dan ciri yang berbeda. akan lebih efektif melalui media massa ditumbuhkan sebuah budaya baru tersebut. sinteron atau acara musik dapat menghaluskan pesan yang disampaikan namun dapat diterima sebagai bagian dari budaya bangsa. tokoh agama menyaring dan menentukan rambu dari perayaan tersebut, psikolog dapat bersinergi dengan membuat sebuah sebuah landasan teori tentang perlunya sebuah momentum untuk menyatakan perasaan kasih sayang, sama halnya dengan orang yang meminta maaf disaat lebaran. Stasiun televisi lalu memulai sebuah kesadaran baru untuk tidak lagi menggembar-gemborkan 14februari sebagai hari valentine, tapi pada tatanan baru, bentuk dan simbol baru yang telah kita sesuaikan dengan khazanah bangsa.
sulit ya? bisa jadi, tapi itu jauh lebih bermanfaat ketimbang dua pihak hanya bisa berdemo tanpa memaknai peristiwa dari momentum, lalu melupakannya untuk kembali dipermasalahkan setiap tahun. dan yang penting hal ini tidak hanya berlaku untuk hari valentine saja tapi juga setiap perayaan lainnya, seperti Hallowen.
Semoga tulisan ini memberikan solusi dan tidak menjadi polemik baru.
Kamis, 05 Februari 2009
RINDUKU TAK TERTAHAN
Rindu ku bersembunyi malu dibalik tirai angin mengalun dalam sepi…………
Tahukah kamu apa yang ada dalam sukmakku ?
Membayangkanmu lari dari dekapan birahi dan berganti dengan sejuta kasih?????
Kalau saja itu ada
Aku menjemput dengan sukacita
Kalu saja itu semua tak ada
Maka
Aku mati dalam nestapa
bandung, 23 Januari2006
Tahukah kamu apa yang ada dalam sukmakku ?
Membayangkanmu lari dari dekapan birahi dan berganti dengan sejuta kasih?????
Kalau saja itu ada
Aku menjemput dengan sukacita
Kalu saja itu semua tak ada
Maka
Aku mati dalam nestapa
bandung, 23 Januari2006
Langganan:
Postingan (Atom)