Minggu, 04 Juli 2010

SEMUANYA UNTUK KALIAN!

Teddy sudah siap berangkat kerja. Tas koper hitam yang berisi materi rapat untuk presentasi hari ini sudah yakin dia masukan dan dicek berulang kali. Hasil kerjanya semalam suntuk bisa dia banggakan kali ini. Semua kemampuannya dalam menjalankan berbagai program komputer telah maksimal dia keluarkan.
Hari ini dia harus menemui kliennya untuk sebuah proyek besar diperusahaannya. Sebuah tender pembangunan gedung pemerintah harus dia usahakan menjadi proyek diperusahaannya. Tender besar, pikir Teddy. Keberhasilannya meyakinkan klien menjadi batu loncatan baginya untuk menjejakkan karier yang lebih tinggi. 4 tahun dia menunggu kesempatan ini datang.
Dan akhirnya saat itu tiba!
Beberapa kali dia meyakinkan dirinya telah tampil luar biasa. Pakaian baru yang dibelinya kemarin semakin meneguhkan keyakinan dan tekadnya untuk tampil luar biasa. Materi yang harus dikuasainya telah dia persiapkan seminggu lamanya.
Kini dia siap keluar kamarnya.
“Wuih…papa cakep sekali…kaya waktu melamar mama…!” sindir Novi, isteri yang telah mendampinginya selama 15 tahun terakhir. Sambil membereskan meja makan, isterinya menunjukkan kekaguman luar biasa. Selain karena suaminya tampil sangat berbeda dengan sehari-hari, juga isterinya ingin menunjukkan dukungannya tehadap karier suaminya. Bahkan untuk hari ini, Novi meliburkan dirinya sekedar untuk memberikan dukungan moril terhadap suaminya.
Sarapan sudah tersaji lengkap dua macam minuman. Susu dan kopi cokelat telah menusuk hidung Teddy. Novi menyadari bahwa presentasi suaminya hari ini akan menjadi kesempatan langka bagi suaminya untuk meningkatkan karier diperusahaan kontraktor terbesar dikotanya. Bayangan untuk memiliki rumah yang lebih asri dan indah membayang dibenak Novi. Kendaraan yang sudah lebih dari 7 tahun dipakai, bisa jadi akan dijualnya karena perusahaan suaminya akan memberikan keringanan terhadap suaminya untuk mencicil mobil baru yang lebih bagus. Dan anak satu-satunya akan ikut les biola atau piano.

“Pokoknya Chacha ngga mau sekolaaaah!!!!” sebuah teriakan mengejutkan Teddy dan Novi pagi ini. Novi segera masuk ke kamar anaknya. Dia tidak mau tingkah anak semata wayang mereka akan mengganggu konsentrasi suaminya. Lalu Novi menyuruh pembantunya untuk pergi dan mengambil alih keadaan.
Kamar dengan warna merah muda disemua sisinya, kontras dengan warna barang dikamar itu yang didominasi warna kuning. Selama ini Novi berusaha untuk memaksakan anaknya untuk menyukai merah muda. Warna perempuan, pikirnya. Tapi ternyata Chacha lebih menyukai warna kuning.
“Chacha jangan bentak-bentak bi Inah dong…! Sini sama mama mandinya ya…”
Chacha membungkus dirinya dengan selimut kuning bergambar Winny The Pooh.
“Ngggggaaaaaaa mauuuuuuuuu! Chacha ngga mau sekolaaaaaah! TITIK!” teriak Chacha menggema dikamar kecil itu. Novi berusaha untuk tidak terbawa emosi menghadapi anaknya. Anak semata wayangnya kini telah sekolah di kelas 2.
7 tahun dirinya tidak memiliki anak sejak pernikahannya dengan Teddy. Kariernya menjadi pertimbangan saat itu. namun efek dari alat kontrasepsi yang dipakainya selama 4 tahun telah membuatnya sulit untuk memiliki anak.
“Ayo dong sayang…mandi ya…nanti mama antar kamu sekolah terus pulangnya mama belikan boneka berbie baru, yang bisa terbang dengan sayap bidadarinya….ya”
“Ngga mau…ngga mau…!”

“Sini sayang…Papa gendong ya ke mara mandi…terus nanti kita keliling kompleks naik mobil” Suara Teddy cukup membuat Novi terkejut.
“Sudahlah Pa…Papa berangkat saja! Biar Chacha mama yang urus” sergah Novi. Dirinya tidak mau dikatakan takluk untuk meredakan manjanya Chacha. Selama ini dirinyalah yang hidup lebih banyak dengan Chacha, dan merasa telah tahu cara mengatasi kemanjaan Chacha.
“Ngga mau…Chacha ngga mau sekolah!”, Chacha bangkit dari tempat tidurnya dan berlari menuju ruang tamu.
Chacha menangis disana. Ditangga terbawah menuju gudang dilantai dua. Wajahnya disembunyikan diantara kedua lututnya. Dia menangis terisak seolah ketakutan terhadap amarah kedua orang tuanya.
“CHACHA MAMA MARAH KALAU KAMU TERUS MENANGIS BEGINI!” teriak Novi. Namun tangis Chacha semakin keras.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. 15 menit lagi Teddy harus berangkat ke kantor untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan presentasinya.
Disaat yang sama, dia melihat perempuan cantik buah hatinya tengah terisak dan siap di”terkam” oleh mamanya untuk meredakan tangisannya.
“Sudahlah Pa…berangkat sana! Nanti terlambat masuk kantor dan presentasi Papa akan terganggu. Chacha biasa begini kalau mau sekolah!” papar Novi meyakinkan suaminya untuk pergi.

Tapi Novi tidak melihat suaminya menunjukkan tanda-tanda akan berangkat. Teddy melonggarkan ikatan dasinya dan melintingkan tangan kemeja panjangnya dua lipatan.
Teddy menuju Chacha yang masih terisak ditangga. Dibelainya rambut Chacha dengan lembut.
“Chacha mau cerita ke Papa kenapa ngga mau sekolah sayang…!” katanya lembut. Diciumnya ubun-ubun anaknya dengan lembut.
Chacha mencoba mengangkat wajahnya. Namun tetap tidak mau memandang wajah ayahnya. Rasa takut masih menyelimuti hatinya.
“Chacha takut sekolah karena…” perkataannya terhenti sejenak.
“Papa ngga kerja…?” sambungnya.
Teddy menggelengkan kepalanya. Teddy merasa harus mendengar sejenak penjelasan anaknya mengapa dia tidak mau sekolah.
Chacha bangkit dan duduk dipangkuan Teddy. Teddy mengedipkan matanya kepada Novi. Dengan galau akhirnya Novi meninggalkan mereka berdua.
“Pa Chacha ngga mau sekolah karena….”

Satu jam berlalu. Setengah delapan dan dirinya masih mendengarkan curahan hati anaknya. Kini mereka duduk berdua dihalaman rumah. Teddy dengan secangkir kopi buatan isterinya tadi pagi dan Chacha dengan segelas susu ditangannya.
Teddy hanya mendengar ocehan anaknya yang takut sekolah karena khawatir binatang peliharaannya, Bunny sikelinci puith akan kabur dari rumah atau mati karena kelaparan. Kemudian bersambung tentang teman-teman laki-laki yang sering menganggu dirinya di kelas. Bersambung ke cerita berikut tentang pertemannya dengan Maria yang berakhir karena Maria pindah sekolah mengikuti papanya yang pindah bekerja ke luar kota.
Teddy terus mendengarkan anaknya berceloteh.
“Sekarang chacha mau sekolah…tapi Papa antar ya….!” Teriak chacha. Teddy mengangguk dan kemudian mengambil kunci mobil, tas dan membereskan kembali kemeja dan dasinya.
Kemudian menunggu Chacha beberapa saat untuk mandi dan berganti pakaian. Lalu dengan menggendong Chcha, Teddy memasuki mobilnya dan jam delapan, mereka berangkat diikuti oleh tatapan khawatir dari Novi.
Pergi melayang bayangannya akan rumah, mobil dan les piano anaknya.

Jam tiga sore, suara mobil suaminya terdengar memasuki garasi. Novi bergegas menjemput suaminya dengan mencium tangan dan mengambil tas koper hitam suaminya.
“Maaf ma…!”kata Teddy dengan tenang, mantap dan penuh arti.
Novi tersenyum. Dirinya kini tak lagi memikirkan angannya tentang semua materi yang akan hilang setelah mendengar permintaan maaf dari suaminya.
Kini Novi semakin mencintai suaminya melebihi cintanya dari 15 tahun yang lalu. Bahkan melebihi kekagumannya saat dia pertama kali bertemu dengan Teddy saat SMA dulu.
Dimeja makan, anak mereka tengah bermain dengan kelinci peliharaannya.
“Papaaaaaa…tadi Chacha ngga dimarahin bu guru lho. Makasih ya pa….” seraya berlari, melompat ke gendongan papanya.
Novi memeluk mereka berdua. Cukup sudah semua bayangannya. Kini dia menyadari, kedua manusia dalam dekapannya adalah harta terindah yang dimilikinya. Melebihi segalanya.

KALIAN KERJA UNTUK SIAPA?

“Pa… besok mama mau mengikuti international conference yang bertemakan tentang menolak kekerasan dalam rumah tangga dan perdagangan manusia di Makasar”. Aku tetap makan dan bertingkah seperti tak mendengar apa-apa. Acara makan malam ini adalah untuk yang kesekian kali selama aku merasakan pentingnya kehadiran mereka. Tiga bulan sekalipun belum tentu kami bisa makan malam lengkap sekeluarga seperti malam ini. Adikku malah tak ingin peduli dengan obrolan mereka.
“Hmmm…ya. Kebetulan bapak juga lusa harus ke Amerika untuk mengolah rancana bantuan kesehatan untuk penduduk Palestina dan Kirghistan. Pergolakan disana sudah keluar batas-bats kemanusiaan” sambut papa. Aku menyuapkan makanan terakhir yang ada dipiring, lalu pamit untuk masuk kamar.
Terdengarsayup-sayup suara mereka sedang membicarakan masalah yang sedang berdengung dikeramaian dunia ini. Dimata mereka, seolah masalah dunia ini akan selesai dengan kehadiran mereka dimana-mana. Kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan anak dan bullying sering aku dengar dari mamaku. Semuanya membuat aku bingung. Dan papa membicarakan tentang kelaparan dan kesehatan yang semakin memburuk di berbagai belahan dunia.
“Pa… besok mama mau mengikuti international conference yang bertemakan tentang menolak kekerasan dalam rumah tangga dan perdagangan manusia di Makasar”. Aku tetap makan dan bertingkah seperti tak mendengar apa-apa. Acara makan malam ini adalah untuk yang kesekian kali selama aku merasakan pentingnya kehadiran mereka. Tiga bulan sekalipun belum tentu kami bisa makan malam lengkap sekeluarga seperti malam ini. Adikku malah tak ingin peduli dengan obrolan mereka.
“Hmmm…ya. Kebetulan bapak juga lusa harus ke Amerika untuk mengolah rancana bantuan kesehatan untuk penduduk Palestina dan Kirghistan. Pergolakan disana sudah keluar batas-bats kemanusiaan” sambut papa. Aku menyuapkan makanan terakhir yang ada dipiring, lalu pamit untuk masuk kamar.
Terdengarsayup-sayup suara mereka sedang membicarakan masalah yang sedang berdengung dikeramaian dunia ini. Dimata mereka, seolah masalah dunia ini akan selesai dengan kehadiran mereka dimana-mana. Kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan anak dan bullying sering aku dengar dari mamaku. Semuanya membuat aku bingung. Dan papa membicarakan tentang kelaparan dan kesehatan yang semakin memburuk di berbagai belahan dunia.

INI YANG KETIGA KALI

“Aku tahu ini sudah yang ketiga kali Mas marah padaku. Kemarahan karena lelaki itu…tapi Mas harus tahu aku tidak memiliki perasaan apapun pada dia…!” sergah Sarah. Tatapannya seolah ingin membuktikan tentang perasaan yang sebenarnya.
“Terserah…yang Mas tahu kamu terus melakukan sesuatu yang bisa membuatku cemburu besar. Mas ngga pernah mengerti apa yang ada dalam benak kamu ketika melakukan hal yang sama padahal kamu tahu itu semua akan membuat Mas marah kan?” jawab Surya. Ucapannya terasa sangat dingin. Suara seorang laki-laik yang sedang digempur rasa cemburu. Suara keputusasaan terhadap dirinya yang tidak bisa berbuat apapun.
Taman itu menjadi terasa sangat panas, padahal rimbunan pepohonan sanggup menahan terik matahari siang itu. Siang yang sangat cerah benar-benar tidak berpihak pada mereak berdua.
Sesaat mereka terdiam. Lalu lalang beberapa rekan kerja, mereka tidak pedulikan. Tatapan mereka jelas tidak menunjukkan sebuah keberpihakan.
“Massss…aku ngga bisa ngomong apa-apa lagi karena aku memang tidak bisa menjelaskan perasaanku tentang dia. Perasaanku hanya buat kamu Mas…!” tangannya berusaha meraih tangan Surya. Surya tidak bergerak. Juga tidak menarik tangannya yang dikait kedua tangan Sarah.
“Mas sayang ama kamu, karena sayang itu Mas cemburu. Sebesar apa Mas cemburu ke kamu waktu bulan kemarin seharusnya bisa menjadi bukti seberapa besar sayang Mas ama kamu…”
“Tapi Mas…aku benar-benar tidak berpikir semua itu akan membuat mas cemburu karena aku lakukan bersama teman-teman yang lain…main, ngobrol atau berphoto…kita lakukan bersama” teriak sarah.
“Sekarang Mas akan pergi agak lama dan jauh…dan Mas rasa apa yang sedang terjadi sekarang adalah batu loncatan kita untuk kembali memikirkan hendak sejauh apa kita melangkah” jawab Surya. Masih dengan nada dingin.
Sarah menangis. Surya menutup matanya untuk menahan genangan air mata. Siang itu melintas diatas kepala mereka begitu cepat sehingga harus berpisah tanpa kepastian.

Sarah sama sekali tidak pernah mengerti dengan kecemburuan kekasihnya, Surya. Baginya semua itu tidak masuk akal. Kebersamaannya dengan Tonny benar-benar karena faktor pertemanan. Kalaupun ada moment mereka terlihat nampak “berdua”, semuanya karena faktor kebetulan.
Dia tahu bahwa kecemburuan Surya lebii disebabkan karena telah beredar gosip tentang kedekatan dirinya dengan Tonny.
“Takkan ada asap kalau tidak ada api dong Saraaaah…” jelas Surya ketika membahas gosip itu. Sarah tidak pernah menyangka kalau gosip itu akan menjadi masalah besar. Karena bagi dirinya, Surya adalah segalanya.

Dikamar itu Surya menangis.
Pikirannya terus dikerubuti dengan sejuta ketakutan. Kenapa dirinya harus memikirkan gosip itu. mengapa dirinya tidak bisa berpikir logis kalau kedekatan Tonny dengan sarah adalah hubungan pertemanan.
Namun, pikiran gelapnya selalu mengatakan bahwa apa yang ditakutkannya-Tonny dan sarah saling menyimpan harapan dan rasa- benar-benar terjadi.
Kejadian yang berdekatan waktu dan selalu melibatkan Tonny telah benar-benar menyita energi dirinya. Bayangan ketakutan kehilangan perempuan yang disayanginya telah membutakan logikanya.
Dia tahu, kecil kemungkinan Sarah mengkhianatinya. Sarah terlalu mencintai dan menyayanginya. Namun justru itu yang membuatnya semakin tersiksa dengan cemburu itu.
Tonny adalah lelaki dewasa dan mapan, sementara dirinya tak lebih dari sarjana yang masih menganggur setelah dua tahun lulus kuliah. Rasa minder dan ketidakpercayaan akan membuat dirinya terpuruk semakin dalam.
Surya pun menyadari bahwa sarah bukan wanita bodoh ketika melakukan sesuatu yang bisa membuatnya cemburu atau marah. Bahkan Sarah pernah mengatakan bahwa dirinya sekarang takut membuatnya marah atau cemburu. Jadi perbuatannya terakhir bukanlah tanpa pertimbangan. Posisi photo yang terlihat menunjukkan semuanya terlihat spontan dan natural. Tanpa ada rasa takut atau pertimbangan.
Dan itu yang telah membuatnya semakin yakin, kalau Sarah sama sekali tidak mengingat dirinya ketika melakukan aktivitasnya saat itu.

Surya telah mengambil keputusan untuk menyerahkannya pada waktu.

INGIN DENGAN PAPA

Setelah mengganti pakaian kerjaku dengan kaos oblong, aku langsung mengambil rokok diatas televisi. Tadi pagi aku lupa membawanya ke kantor sehingga kini, ingin kulampiaskan semuanya.
“Bu, korek apinya mana? Selalu aja kalo mau dipakai ngilang tiba-tiba?” seruku kepada isteri yang sedang sibuk mencuci piring.
“Diatas buku yang ayah baca kemarin!” teriak isteriku. Untuk urusan barang dan kerapihan, isteriku nomor wahid. Bahkan setiap barang yang tak mampu aku temukan, dalam hitungan detik….ziiiip tiba-tiba sudah ada ditangannya. Ajaib!
Lalu aku menuju ruang tamu. Asbak sudah ada disana bekas tadi malam. Aku segera menyalakan rokokku. Baru dua hisapan, anakku yang laki-laki bangun.
“Ibuuuuuu….ayah udah pulang ya…?” teriaknya. Tanpa menunggu jawaban dari ibunya, Alby langsung menuju kerarahku.
“ayah…ayah tadi Alby Jatuh lho..!” sambil menunjukkan lututnya yang tertutup Tensoplast bergambar mobil kesukaannya.
“Iya udah, Alby sekarang ke ruang tengah dulu ya, khan ayah lagi ngerokok!” jawabku.
“Ngga ah, Alby pengen sama ayah” jawabnya. Dia langsung naik ke kursi disebelahku.
“Alby…asap rokoknya bahaya buat Alby, nanti kalau ayah sudah merokok Alby kesini lagi ya…!” timpalku.
“Ayah kenapa ngerokok ajah, kata ibu bahaya lho” lanjutnya tanpa memperdulikan asap rokok yang mengepul dari mulutku.
“Ayah tadi Alby ngga nangis da waktu jatuh” celotehnya sambil terus menunjukkan lututnya.
“albyyyyy…..ayah marah nih kalau Alby masih disini, nonton TV sana. Khan sekarang lagi ada si Bolang!”. Mataku sengaja ku pelototkan agar dia takut dan pindah ke ruang tengah.
Alby bergegas ke ruang tengah. Dengan isakan tangis dia pergi.
“Kenapa Alby? Apa kata ibu juga, jangan ganggu ayah nanti marah” suara isteriku terdengar dari ruang tengah.
“Si ayah baong ibu, masa Alby ngga boleh duduk sama ayah!” isaknya.
“Khan ayahnya lagi ngerokok” jawab isteriku.
“Susah Alby disini aja dulu main kereta api ya!” bujuk isteriku.

“ayah udah ngerokoknya?” tanya Alby sambil kembali kearah tempat ku duduk. Lengka dengan seprangkat mainan kesukaannya. Kereta api.
“Udah…kenapa By?” jawabku. Aku pun berusaha untuk memangkunya.
“Alby pengen main kereta api sama ayah…” lanjutnya. Kembali dia naik kepangkuanku.
“Aduh Alby, mainnya sendiri dulu ya. Ayah kan baru pulang kerja” sergahku.
“Si ayah mah pasti mau bobo!” lanjutnya. Dengan wajah murung dia kembali ke ruang tengah, menangis dipangkuan ibunya.

Tengah malam setelah selesai menonton bola. Aku memasuki kamar tidur. Aku pandangi isteriku, Tiara dan Alby.
Terhenyak ketika kupandangi Alby tertidur sambil memeluk photoku yang sedang berdiri di bawah menara kembar Petronas. kulihat pelukannya erat sekali.
Aku ciumi Alby yang sehari ini kehilangan pelukanku.
Tiba-tiba isteriku terbangun.
“Ayah, dari siang tadi Alby bilang pengen main sama ayah” kata isteriku. Kutatap kembali Alby. Dengan pipinya yang tembem dan bulu matanya yang centik, aku melihat sebuah keajaiban TUHAN. Dan…
Aku menangis!

Bandung 25 Juni 2010

Laman